Preloader logo

SYARIAT ADZAN DAN QAMAT

adzan-dan-iqamat-lengkap

Adzan dan shalat merupakan dua ibadah yang agung. Shalat merupakan rukun Islam yang kedua. Shalat merupakan pembeda antara keimanan dan kekafiran. Sementara adzan, selain sebagai ibadah juga merupakan syiar Islam yang agung. Dengan terdengarnya kumandang adzan di suatu tempat, paling tidak sudah membuat orang maklum bahwa di situ terdapat orang Islam. Rangkaian kalimat adzan bukanlah sesuatu yang tidak memiliki makna, ia merupakan cerminan akidah seseorang, yang ia yakini dan pegang teguh. Tidak sedikit orang-orang kafir yang tertarik dan bergetar hatinya ketika mendengar seruan adzan kemudian memeluk Islam.

Pengertian Adzan dan Qomat

 

Azan secara etimologis (bahasa) berarti memberitahukan sesuatu. Makna ini digunakan dalam firman Allah Swt.:

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Dan (Inilah) suatu pemberitahuan dari Allah dan rasul-Nya”. (QS. At-Taubah : 3 )

 

Dan juga firman Allah ta’ala :

آذَنْتُكُمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Aku Telah menyampaikan kepada kamu sekalian (ajaran) yang sama (antara kita)”. ( QS. Al-Anbiya’ : 109 )

 

Maksud ayat di atas bahwa “aku telah memberitahukan kepada kalian, jadi pengetahuan kita sekarang sama.”[1]

 

Sedangkan secara terminologis (istilah syariat) Azan berarti pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafal-lafal tertentu sesuai dengan syari’at.[2] Disebut demikian karena orang yang azan memberitahukan orang lain tentang waktu-waktu shalat. Dinamakan pula dengan An-Nida (panggilan/seruan) karena muadzinnya memanggil orang untuk melaksanakan shalat.[3] Hal ini sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. Al-Maidah: 58)

 

Dan juga firman Allah ta’ala :

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

 

Adapun Qomat (Iqamah) secara etimologis berarti mendirikan sesuatu apabila dia telah menjadi lurus.

 

Sementara secara terminologis Qomat berarti memberitahukan tentang pendirian atau pelaksanaan shalat fardhu dengan dzikir (lafal) tertentu yang disyariatkan.[4] Jadi azan adalah pemberitahuan tentang waktu shalat, sedangkan Qomat adalah pemberitahuan tentang pekerjaan (shalat). Qomat disebut juga Adzan kedua atau panggilan kedua. [5]

 

Tarikh Tasyri’ (Sejarah Penetapan Syariat) Adzan & Qamat

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa salat lima waktu disyariatkan pada malam Mi’raj tiga tahun sebelum hijrah sebanyak 11 rakaat, masing-masing 2 rakaat kecuali salat maghrib 3 rakaat, baik bagi musafir maupun muqim (tinggal di tempat). Setelah hijrah, masing-masing ditambah 2 rakaat kecuali Maghrib dan subuh. Namun setelah turun ayat 101 surat an-Nisa tahun 4 hijriah, maka bagi musafir salat itu dapat dilakukan 2 rakaat. [6]

 

Sementara salat Jumat disyariatkan—dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah—ketika beliau berada di tengah perjalanan menuju Madinah, yaitu di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf. [7]

 

Adapun penetapan syariat adzan dan qamat terjadi pada tahun pertama hijriah setelah Nabi tiba di Madinah. [8]

 

Berdasarkan data sejarah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penetapan syariat salat tidak bersamaan dengan adzan-Qamat. Karena itu dapat dimaklumi apabila pelaksaan salat lima waktu dan salat Jumat di awal penetapannya tanpa disertai adzan dan qamat. Dengan perkataan lain, Nabi dan kaum muslimin melaksanakan salat fardhu selama 3 tahun di Mekah tanpa didahului oleh adzan & qamat.

 

Kronologis Penetapan Kalimat Adzan & Qamat

Kalimat-kalimat adzan dan iqomat bukan hasil kreasi (ijtihad) Rasulullah saw., melainkan ditetapkan berdasarkan wahyu. Beberapa orang muadzin yang diangkat oleh Nabi saw. di berbagai tempat yang berbeda, yakni Bilal dan Ibnu Ummi Maktum—sebagai muadzin—di Madinah; Abu Mahdzurah di Mekah, dan Saad Al-Qarzhi di Kuba, semuanya mengumandangkan adzan berdasarkan redaksi yang diajarkan oleh Nabi saw. meskipun cara dan proses penerimaannya tidak sama. Bilal menerimanya dari Abdullah bin Zaid, sedangkan Abu Mahdzurah menerima langsung dari Nabi saw.

 

Adapun proses pengajaran redaksi adzan versi Abdullah bin Zaid yang diterima oleh Bilal sebagaimana diterangkan oleh Abdullah bin Zaid bin Abdu rabbih sebagai berikut:

لَمَّا أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالنَّاقُوْسِ لِيَضْرِبَ بِهِ لِلنَّاسِ فِي الْجَمْعِ لِلصَّلاَةِ أَطَافَ بِيْ وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوْسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ لَهُ : يَا عَبْدَ اللهِ أَتَبِيْعُ النَّاقُوْسَ فَقَالَ : وَمَا تَصْنَعُ بِهِ قَالَ: قُلْتُ نَدْعُوْ بِهِ لِلصَّلاَةِ قَالَ: أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلىَ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذلِكَ قُلْتُ: بَلَى قَالَ: تَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الفَلاّحِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

“Ketika Rasulullah saw. memerintah memukul naqus (lonceng) agar orang-orang berkumpul untuk melakukan salat, saya tidur, bermimpi datang seorang laki-laki membawa naqus di tangannya, maka saya bertanya kepadanya, ‘Ya Abdallah ! apakah engkau mau jual naqus itu ?’ Orang itu menjawab, ‘Engkau mau gunakan naqus itu buat apa ?’ Saya jawab, ‘Untuk memanggil salat’. Ia berkata, ‘Maukah aku unjukan kepadamu cara yang lebih baik ?’ Saya jawab, ‘Ya’ Lalu ia berkata, ‘Kamu ucapkan Allahu Akbar (empat kali) … (dan seterusnya hingga akhir Adzan).’

Kemudian Abdullah bin Zaid menghadap Rasulullah untuk melaporkan adzan yang didapatkannya dari mimpi, dan beliau membenarkan hal itu. Kemudian beliau menyuruh agar adzan itu diajarkan kepada Bilal, karena suara Bilal lebih baik daripada Abdullah bin Zaid. Dalam riwayat itu ditegaskan:

إِنَّ هذَا رُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلاَلٍ فَجَعَلْتُ أُلْقيْهِ عَنْهُ وَيُؤَذِّنُ بِهِ

“Sesungguhnya mimpi itu mimpi yang benar, insya Allah, pergilah beserta Bilal, dan ajarkan kepadanya seperti yang kamu terima dalam mimpi itu, sesungguhnya dia lebih bagus suaranya daripadamu. Maka aku pergi bersama Bilal, lalu aku mengajarkan kepadanya, dan ia beradzan dengan itu.”

 

Pada riwayat lain ditegaskan:

يَا بِلاَلُ قُمْ فَانْظُرْ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ زَيْدٍ فَافْعَلْهُ, قَالَ: فَأَذَّنَ بِلاَلٌ

“Hai Bilal berdirilah, perhatikanlah apa yang Abdullah bin Zaid perintahkan kepadamu maka lakukanlah.” Abdullah berkata, “Lalu Bilal azdan.”

 

Hadis di atas diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Ibnu Majah tanpa diterangkan adanya qomat. Sedangkan pada riwayat Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan Ibnu Abdil Barr, setelah kalimat-kalimat adzan terdapat redaksi sebagai berikut:

قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ غَيْرَ بَعِيْدٍ قَالَ: ثُمَّ تَقُوْلُ إِذَا أُقِمَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ …

“Kemudian ia mundur tidak berapa jauh dan ia berkata, ‘Kalau kamu mau salat (qomat) ucapakan, ‘Allahu Akbar (dua kali) …. (dan seterusnya hingga akhir Iqomat).”

 

Peristiwa ini terjadi pada tahun pertama hijriah setelah Nabi tiba di Madinah, sebagaimana dikukuhkan oleh para sejarawan Islam, antara lain Ibnu Hisyam dalam karyanya as-Sirah an-Nabawiyyah, dan Ibnu Katsir, dalam karyanya as-Sirah An-Nabwiyyah juga al-Bidayah wan Nihayah.

 

Di sini perlu diberikan catatan tersendiri agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam memahami proses penetapan syariat kalimat adzan dan qomat versi Abdullah bin Zaid, yaitu meski kalimat-kalimat adzan ini berasal dari mimpi Abdullah bin Zaid, namun yang menjadi dalil syariatnya bukanlah mimpi Abdullah melainkan sikap Nabi terhadap mimpi itu. Artinya, Nabi membenarkan kalimat adzan yang didapat dari mimpi itu. Dalam ilmu hadis, keterangan syariat melalui proses demikian itu disebut hadis taqriri (berupa persetujuan), yaitu jenis hadis yang tidak diucapkan atau tidak dilakukan oleh Nabi secara langsung, tetapi bersumber dari sahabat Nabi yang disetujui atau direkomendasikan oleh Nabi saw. sebagai ketetapan syariat.

 

Berbeda dengan Bilal, Abu Mahdzurah menerima redaksi adzan dan qomat langsung dari Nabi sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini:

 

…فَعَلَّمَهُ الأَذَانَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ

“… maka Rasulullah saw. telah mengajarinya adzan: Allahu Akbar… (dan seterusnya hingga akhir Adzan).” H.r. Ad-Darimi.

 

Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah kembali dari perang Hunain. [9] Sementara perang Hunain terjadi pada bulan syawwal tahun 8 hijriah. [10]

 

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan redaksi adzan sejak pertama kali dikumandangkan oleh Bilal pada tahun pertama hijriah, kecuali pada adzan Abu Mahdzurah terdapat tarji’, yakni setelah mengucapkan kalimah syahadat dengan suara yang tidak nyaring, ia ulangi dengan suara nyaring.

 

Meski tidak berbeda dalam redaksi adzan, namun dalam qomat ternyata terdapat perbedaan redaksi antara satu dengan lainnya, sebagai berikut:

 

A.     Iqomat Abu Mahdzurah

 

Imam Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبَا مَحْذُوْرَةَ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ

“Rasulullah saw. memerintah Abu Mahdzurah agar menggenapkan adzan dan mewitirkan qomat.”

 

Dan pada riwayat Ad-Daraquthni ditegaskan dengan redaksi:

وَأَمَرَهُ أَنْ يُقِيْمَ وَاحِدَةً وَاحِدَةً

“Dan Beliau memerintahnya agar qamat satu kali-satu kali.” [11]

 

Dalam riwayat Abu Nu’aim diterangkan bahwa lafal iqamat itu dua kali dua kali kecuali redaksi Hayya ‘alas shalah dan Hayya ‘alal falah. Adapun hadisnya sebagai berikut:

وَالإِقَامَةُ مَثْنَى اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

“Dan iqamat dua kali dua kali. Allahu akbar Allahu akbar… (dan seterusnya hingga akhir qomat).” [12]

 

Sementara dalam riwayat Ibnul Jarud dan Ibnu Hiban disebutkan bahwa redaksi iqamat itu dua kali dua kali kecuali takbir pada awal iqamat sebanyak empat kali. Adapun hadisnya sebagai berikut:

أَنَّ أَبَا مَحْذُورَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَهُ الأَذَانَ تِسْعَ عَشَرَةَ كَلِمَةٍ وَالإِقَامَةَ سَبْعَ عَشَرَةَ كَلِمَةٍ الأَذَانُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ … وَالإِقاَمَةَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

Sementara pada riwayat Al-Baihaqi disebutkan bahwa takbir pada iqamat itu dua kali, sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مَحْذُوْرَةَ قَالَ: لَمَّا خَرَجَ النَّبِيُ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى حُنَيْنٍ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ: فِي التَّكْبِيْرِ فِي صَدْرِ الأَذَانِ أَرْبَعًا قَالَ: وَعَلَّمَنِي   الإِقَامَةَ مَرَّتَيْنِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أِكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan redaksi iqomat yang diajarkan oleh Nabi kepada Abu Mahdzurah, padahal Nabi mengajarkan hal itu pada waktu yang sama, yaitu ketika kembali dari perang Hunain pada bulan syawwal tahun 8 hijriah.

 

  1. Iqomat Abdullah bin Zaid

 

Dalam riwayat Abu Dawud, Al Baihaqi, dan Ibnu Abdil Barr disebutkan bahwa takbir iqamat itu dua kali.

لَمَّا أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالنَّاقُوْسِ لِيَضْرِبَ بِهِ لِلنَّاسِ فِي الْجَمْعِ لِلصَّلاَةِ أَطَافَ بِيْ وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوْسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ لَهُ يَا عَبْدَ اللهِ أَتَبِيْعُ النَّاقُوْسَ فَقَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ قَالَ قُلْتُ نَدْعُوْ بِهِ لِلصَّلاَةِ قَالَ أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلىَ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذلِكَ قُلْتُ: بَلَى قَالَ: تَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللهُ أِكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَالَ: ثُمَّ اسْتَأْخَرَ غَيْرَ بَعِيْدٍ قَالَ: ثُمَّ تَقُولُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ …

Sedangkan dalam riwayat Ahmad, At-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Ibnu Majah tanpa diterangkan adanya iqomat. Demikian pula dalam kitab-kitab Sirah Rasulullah saw pada umumnya.

 

  1. Iqomat Bilal

 

Di atas telah disebutkan bahwa Bilal mendapatkan pengajaran adzan dari Abdullah bin Zaid, namun tidak ditegaskan bahwa Bilal mendapatkan pengajaran iqomat darinya. Hal ini berbeda dengan Abu Mahdzurah yang secara tegas mendapatkan pengajaran adzan dan iqomat dari Rasul. Bahkan dengan kalimat:

  1. فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ dan   وَيُؤَذِّنُ بِهِ
  2. فَأَذَّنَ بِلاَلٌ

menunjukkan bahwa dari Abdullah bin Zaid itu Bilal hanya mendapatkan pengajaran adzan (empat kali takbir) tidak dengan iqomatnya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui lafal iqomat Bilal kita perhatikan keterangan-keterangan di bawah ini.

عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتِ الصَّلاَةُ إِذَا حَضَرَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- سَعَى رَجُلٌ فِي الطَّرِيْقِ فَنَادَى الصَّلاَةُ الصَّلاَةُ فَاشْتَدَّ ذلِكَ عَلَى النَّاسِ فَقَالُوْا: لَوِ اتَّخَذْنَا نَاقُوْسًا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَالَ: ذلِكَ لِلنَّصَارَى فَقَالُوْا: لَوِ اتَّخَذْنَا بُوْقًا قَالَ: ذلِكَ لِلْيَهُوْدِ قَالَ فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ

“Dari Abu Qilabah, dari Anas, ia berkata, “Pada masa Rasulullah, bila tiba waktu salat seseorang berjalan lalu menyeru: as-solah as-solah. Hal itu dirasakan berat oleh orang-orang, maka mereka mengusulkan, ‘Bagaimana kalau kita pakai lonceng wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Itu untuk Nashrani’ Mereka mengusulkan yang lain, ‘Bagaimana kalau terompet?’ Beliau menjawab, ‘Itu untuk Yahudi’ Anas berkata, ‘Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mewitirkan iqomat.” H.r. Al-Jamaah, Al-Baihaqi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Jarud, dan Abu Awanah. Redaksi di atas versi riwayat Al-Baihaqi.

 

Sedangkan pada riwayat Ibnu Khuzaimah dengan redaksi:

فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

“Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mewitirkan iqomat kecuali perkataan qod qomatis solah.”

 

Berdasarkan hadis di atas, Imam Al-Bukhari membuat dua bab dengan judul

بَابٌ اَلأِذَانُ مَثْنَى مَثْنىَ dan باب الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat matsna matsna adalah marratain marratain (dua kali, dua kali). (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, II:100)

 

Memperhatikan keterangan-keterangan di atas, maka kami tidak mendapatkan satu pun muadzin pada masa Rasulullah yang mengamalkan kalimat-kalimat iqomat Abdullah bin Zaid. Oleh Sebab itu, pada beberapa riwayat disebutkan:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : اِنَّمَا كَانَ الاَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُو لِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَالاِقَامَةُ مَرَّةً مَرَّةً غَيْرَ اَنَّهُ يَقُولُ : قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ وَ كُنَّا اِذَا سَمِعْنَا الاِقَامَةَ نَتَوَضَأُ ثُمَّ خَرَجْنَا اِلَى الصَّلاَةِ .

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Sesungguhnya adzan di zaman Rasulullah saw. itu. tiada lain dua kali dan iqamatnya satu kali-satu kali, kecuali ucapan Qad qamatis shalat-Qad qamatis shalat Dan kami (para shahabat) apabila mendengar iqamah, kami berwudhu, kemudian kami keluar untuk shalat.” H.r. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Hiban, dan Al-Hakim.

 

Dalam riwayat Al-Baihaqi dengan lafal

كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ فُرَادًى

“Adzan di jaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali.”

Sedangkan pada riwayat Abu Awanah dengan lafal

كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ مَرَّةً مَرَّةً غَيْرَ أَنَّ الْمُؤَذِنَ إِذَا قَالَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ مَرَّتَيْنِ

“Adzan di zaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali-satu kali. Hanya muadzin apabila mengucapkan Qad qamatis salah dua kali.”

 

Sementara dalam riwayat ad-Daraquthni diterangkan oleh Salamah bin al-Akwa’ sebagai berikut:

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ قَالَ: كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ فَرْدًا رواه الدارقطني

Dari Salamah bin Al Akwa, ia mengatakan adzan pada jaman Rasulullah saw. dua kali-dua kali dan iqamah satu kali. H.r. Ad-Daruquthni

 

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa:

  1. Penetapan syariat Adzan dan Qamat tidak bersamaan dengan penetapan Syariat salat. Dengan perkataan lain, Salat lebih dahulu disyariatkan daripada adzan dan qamat.
  2. Dilihat dari aspek periwayatan, iqomat dengan takbir (Allahu Akbar) satu kali lebih kuat.
  3. Dilihat dari aspek pengamalan iqomat dapat dilakukan dengan satu kali takbir (Allahu Akbar) dan dua kali takbir.

 

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1]) Lihat, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits, karya Ibnu Atsir, juz 1, hlm. 34; Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, Juz 2, hlm. 53

[2]) Lihat, Al-Mughni, Juz 2, hlm. 53; Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya as-Shan’ani, Juz 2, hlm. 55

[3]) Lihat, Syarah Al-‘Umdah, karya Ibnu Taimiyah, Juz 2, hlm. 95

[4]) Lihat, Ar-Rawdhu Al-Murbi’ Ma’a Hasyiyah Ibnu Qasim, Juz 1, hlm. 428; Asy-Syarhu Al-Mumti’, karya Syekh Ibnu Utsaimin, Juz 2, hlm. 36.

[5]) Lihat, Syarh Al-‘Umdah, Juz 2, hlm. 95

[6]) Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 1, hlm. 554; Taudhihul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, Juz 1, hlm. 469

[7]) Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz 3, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz 18, hal. 98

[8]) Lihat, As-Sirah An-Nabwiyyah, karya Ibnu Hisyam, Juz 2, hlm. 154-155; As-Sirah An-Nabawiyyah, karya Ibnu Katsir, Juz 2, hlm. 334-335; Al-Bidayah Wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, Juz 3, hlm. 231-232.

[9]) Lihat, Al-Fathur Rabbani, Juz 3, hlm. 19.

[10]) Lihat, Qadatun Nabiyyi, hlm. 648.

[11]) Sebagaimana dikutip Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 2, hlm. 100.

[12]) Lihat, Al-Musnad Al-Mustakhraj alas Shahih al-Imam Muslim, Juz 2, hlm. 4-5.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}