Preloader logo

SIAPA PENGGAGAS AGAMA SYIAH?

 

Siapa Penggagas Agama Syiah

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kesetiaan Ahlus Sunah terhadap Rasulullah adalah monoloyalitas (kesetiaan tunggal). Kesetiaan itu terwujud dalam bentuk memberikan perhatian sepenuh hati terhadap sunah-sunah beliau, sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka berusaha keras untuk memeliharanya dari berbagai dusta dan kesalahan yang dapat menodai kemurniannya.

Dalam hal kesetiaan ini, kelompok Sy’iah berbeda dengan Ahlus Sunah, kesetiaan mereka terhadap Rasulullah Saw. tidak monoloyalitas, karena kesetiaan mereka terbagi kepada para imam yang dipandang ma’shum. Bahkan kecintaan mereka kepada para imam melebihi kencintaan kepada Nabi.

1Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna ‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) meyakini para imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang ini, tapi dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]

Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.

2Imam al-Kulaini telah menuliskan dalam kitabnya al-Kafi berbagai karakteristik kedua belas imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan Tuhan.

Seandainya kita hendak menampilkan berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab besar.

Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi, di antaranya sebagai berikut:

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ وَ الرُّسُلِ عليهم السلام

Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.” [2]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ

“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri.” [3]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ

Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]

بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ أَلْسِنَتِهَا

”Bab: Bahwa Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.” [5]

بَابُ أَنَّهُ لَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ

”Bab: Bahwa Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwa Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.” [6]

بَابُ مَا عِنْدَ الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام

”Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]

بَابُ أَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ فَهُوَ بَاطِلٌ

”Bab: Bahwa Tidak Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil.” [8]

بَابُ أَنَّ الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه السلام

Bab: Bahwa Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam.” [9]

3Keyakinan akan keistimewaan para imam sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis atau sunah, baik berkaitan dengan kriteria terminologis maupun metodologisnya, bahkan sumber syariat itu sendiri.

Dalam konteks ini dapat kita maklumi jika hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata bersumber dari Nabi Saw. melainkan juga dari para imam dua belas tesebut. Demikian itu dinyatakan oleh ulama Syi’ah, antara lain:

Syekh Muhammad Baha’uddin al-‘Amili (w. 1031 H) berkata:

عُرِّفَ الْحَدِيْثُ بِأَنَّهُ كَلاَمٌ يَحْكِيْ قَوْلَ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ

Hadis didefinisikan yaitu perkataan yang menceritakan perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.[10]

Pengertian hadis menurut mereka berbeda dengan Sunah. Menurut mereka, sunah secara istilah adalah:

نَفْسُ قَوْلِ الْمَعْصُوْمِ، وَفِعْلِهِ،وَتَقْرِيْرِهِ

“Hakikat perkataan orang yang ma’shum, perbuatannya atau ketetapannya.” [11]

Dalam redaksi Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim:

فَهِيَ كُلُّ مَا يَصْدُرُ عَنِ الْمَعْصُوْمِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ

“Dan sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari al-ma’shum, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [12]

Sayyid Muhammad Taqiy al-Hakim berkata:

وَأَلْحَقَ الشِّيْعَةُ الإِمَامِيَّةُ كُلَّ مَا يَصْدُرُ عَنْ أَئِمَّتِهِمْ الإِثْنَي عَشَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ بِالسُّنَّةِ الشَّرِيْفَةِ

“Syi’ah imamiyah menghubungkan dengan sunah segala sesuatu yang bersumber dari para imam mereka yang dua belas, berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.” [13]

4Latar belakang pembentukan istilah dan sumber sunah di kalangan Syi’ah, lebih jauh diterangkan oleh Syekh Muhammad Ridha al-Muzhaffar—Pakar Ushul Fiqih Syi’ah kontemporer—sebagai berikut:

السُّنَّةُ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ: (قَوْلُ النَّبِيِّ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)… أَمَّا فُقَهَاءُ الإِمَامِيَّةِ بِالْخُصُوْصِ فَلَمَّا ثَبَتَ لَدَيْهِمْ أَنَّ الْمَعْصُوْمَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ يَجْرِيْ قَوْلُهُ مَجْرَى قَوْلِ النَّبِيِّ مِنْ كَوْنِهِ حُجَّةً عَلَى الْعِبَادِ وَاجِبَ الإِتِّبَاعِ فَقَدْ تَوَسَّعُوْا فِي اصْطِلاَحِ السُّنَّةِ إِلَى مَا يَشْمُلُ قَوْلَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْصُوْمِيْنَ أَوْ فِعْلَهُ أَوْ تَقْرِيْرَهُ، فَكَانَتِ السُّنَّةُ بِاصْطِلاَحِهِمْ: (قَوْلُ الْمَعْصُوْمِ أَوْ فِعْلُهُ أَوْ تَقْرِيْرُهُ)

As-Sunah menurut istilah fuqaha’ adalah “Sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya”…Adapun menurut fuqaha Syi’ah Imamiyah—setelah  kokoh keyakinan mereka bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahlul Bait setingkat dengan perkataan Nabi Saw. sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba—sungguh mereka memperluas batasan Sunah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahlul Bait). Sehingga Sunah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan atau taqrir al-Ma’shum.”

وَالسِّرُّ فِي ذلِكَ أَنَّ الأَئِمَّةَ مِنْ آلِ الْبَيْتِ عليه السلام لَيْسُوْا هُمْ مِنْ قَبِيْلِ الرُّوَاةِ عَنِ النَّبِيِّ وَالْمُحَدِّثِيْنَ عَنْهُ لِيَكُوْنَ قَوْلُهُمْ حُجَّةً مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ ثِقَاتٌ فِي الرِّوَايَةِ بَلْ لِأَنَّهُمْ هُمُ الْمَنْصُوْبُوْنَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ لِتَبْلِيْغِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعَةِ، فَلاَ يَحْكُمُوْنَ إِلاَّ عَنِ الأَحْكَامِ الْوَاقِعِيَّةِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى َكَمَا هِيَ، وَذلِكَ مِنْ طَرِيْقِ الإِلْهَامِ كَالنَّبِيِّ مِنْ طَرِيْقِ الْوَحْيِ أَوْ مِنْ طَرِيْقِ التَّلَقِّيْ مِنَ الْمَعْصُوْمِ قَبْلَهُ…

Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahlul Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi—hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya—namun mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham—seperti Nabi melalui jalur wahyu—atau  melalui penerimaan dari (imam) ma’shum sebelumnya…

وَعَلَيْهِ فَلَيْسَ بَيَانُهُمْ لِلأَحْكَامِ مِنْ نَوْعِ رِوَايَةِ السُّنَّةِ وَحِكَايَتِهَا، وَلاَ مِنْ نَوْعِ الإِجْتِهَادِ فِي الرَّأْيِ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِنْ مَصَادِرِ التَّشْرِيْعِ، بَلْ هُمْ أَنْفُسُهُمْ مَصْدَرٌ لِلتَّشْرِيْعِ فَقَوْلُهُمْ سُنَّةٌ لاَ حِكَايَةُ السُّنَّةِ

Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan Sunah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. Maka perkataan mereka adalah sunah, bukan hikayat sunah.” [14] 

Dengan demikian, Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa wahyu tidak terhenti sepeninggal Rasulullah. Karena itu, imam-imam Syi’ah dapat mengeluarkan hadis dan Sunah. Jadi, tidak heran jika surat-surat dan khutbah para imam serta hal-hal lain yang disangkut pautkan dengan ajaran agama diposisikan sebagai hadis dan Sunah. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Ahlus Sunah. Itulah yang menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Ahlus Sunah.

5Dari sini dapat dimaklumi, jika di kalangan Syi’ah jumlah hadis yang bersumber dari para imam itu jauh lebih banyak dibanding dengan hadis Nabi Saw., bahkan hadis Ali sendiri. Demikian itu tampak jelas terlihat jika kita merujuk kepada empat kitab standar hadis Syi’ah (al-Kafi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam, al-Istibshar). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan hadis dalam empat kitab tersebut sebanyak 43.850 hadis. Jika kita merujuk kepada angka itu, akan didapatkan hasil bahwa kapasitas hadis Nabi Saw. dalam empat kitab itu hanya sebesar 11.30 % (4.956 hadis). Sementara kapasitas hadis Ja’far ash-Shadiq (Imam Syi’ah ke-6) sebesar 25 %  (10.967 hadis).

Berangkat dari fakta ini, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sumber ajaran Syi’ah itu bukan Sunah Rasulullah, melainkan Sunah Ja’fariyyah, sehingga mereka disebut pula kelompok Syi’ah Ja’fariyyah dan fikihnya disebut fikih Ja’fari. Jika demikian halnya, apakah benar Imam Ja’far ash-Shadiq, yang diklaim Syiah sebagai Imam ke-6 itu, sebagai penggagas agama Syiah? Apakah benar beliau mengajarkan doktrin-doktrin Syiah, yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran moyangnya Ahlul Bait (Nabi saw.)? Hakikatnya Imam Ja’far berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Kajian lebih lanjut tentang itu akan ditayangkan pada edisi khusus sigabah.com

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

[1] Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, terbitan ormas Syiah (ABI), hal. 22-23.

[2] Lihat, al-Kafi,  jilid 1, hal. 255, pada kitab al-Hujjah.

[3] Ibid., hal. 258.

[4] Ibid., hal. 260.

[5] Ibid., hal. 227.

[6] Ibid., hal. 228.

[7] Ibid., hal. 231.

[8] Ibid., hal. 339.

[9] Ibid., hal. 407.

[10]Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 268 dan al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 2. Lihat pula keterangan  Syekh Abdullah bin Muhammad Hasan al-Mamqani dalam Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 57; Syekh Hasan ash-Shadr, dalam Nihayah ad-Dirayah, hal. 80.

[11]Lihat keterangan Syekh Hasan ash-Shadr, Nihayah ad-Dirayah, hal. 85; Syekh I’dad Abu al-Fadhl al-Babuli, Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 2, hal. 530; Syekh Muhammad Husen al-Anshari, al-Ma’ayir al-’Ilmiyyah li Naqd al-Hadis, hal. 20; Syekh Muhammad Kazhim al-Khurasani, Kifayah al-Ushul, hal. 8; Syekh al-Anshari, Fara’id al-Ushul, hal. 365; Syekh Hasan bin Ali Asghar al-MuSawi, Muntaha al-Ushul, Juz 2, hal. 117; Sayyid Muhsin al-Hakim, Haqa’iq al-Ushul, hal. 12.

[12]Lihat, al-Ushul al-’Ammah li al-Fiqh al-Muqaran, hal. 122. Lihat pula keterangan Syekh Abu Thalib at-Tajlil at-Tibrizi dalam Tanzih ay-Syi’ah al-Itsna ’Asyariyah ’an asy-Syubuhat al-Wahiyah, hal. 57.

[13]Lihat, Sunah Ahl al-Bait, hal. 9.

[14]Lihat, Ushul al-Fiqh, hal. 331-332.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}