Preloader logo

Separatis dalam Pusaran Kapitalis

Pembantaian terhadap 31 pekerja PT Istaka Karya menambah daftar panjang  bahwa wilayah Nduga, Papua, adalah zona merah. Mereka diberondong senjata saat tengah mengerjakan pembangunan jembatan jalan Trans Papua di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua. Data terbaru menyebutkan jika empat orang berhasil menyelamatkan diri saat hendak dieksekusi menggunakan timah panas dan kini telah dievakuasi ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Keempat orang yang selamat tersebut lantas menjelaskan, jumlah pekerja saat itu mencapai 25 orang. Dari 25 orang itu, 4 orang berhasil kabur, 2 masih dinyatakan hilang, dan 19 dipastikan oleh saksi korban meninggal dunia. (serambinews.com, 6/12/2018).

Potensi Separatisme di Papua

KKB/OPM sebagai pelaku pembantaian pekerja tidak menginginkan adanya pembangunan di wilayah Papua Barat. Gerakan separatis di wilayah ini cukup kuat. Hal itu tidak terlepas dari beberapa faktor yang menyebabkan Papua tersimpan potensi gelombang separatisme.

Pertama, faktor geografis. Wilayah Papua dikelilingi pegunungan, perbukitan, jalan terjal, dan rawa-rawa. Melihat medan yang berat menjadikan OPM seakan tak tersentuh dan sulit dipantau pergerakannya. Sarana dan prasarana di wilayah ini sangat minim. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga sangat sedikit jumlahnya. Kabupaten Nduga hanya memiliki 56 sekolah. Dikutip dari tirto.id, Distrik Yigi hanya mempunyai dua Poliklinik dan satu Puskesmas. Tenaga kesehatannya sangat terbatas dengan satu dokter, satu bidan, 14 mantri kesehatan, dan 15 dukun anak. Tidak sulit menghitung kerja keras dokter di Yigi. Perbandingan dokter dengan penduduk setempat ada di angka 1: 19.251 orang.

Kedua, faktor politis. Gerakan separatis OPM sebenarnya sudah lama terjadi. Hingga saat ini mereka bersembunyi di wilayah pedalaman yang sulit dijangkau aparat keamanan. Kondisi geografis Papua sangat menguntungkan bagi kelompok ini. Pertanyaanya, mengapa gerakan ini begitu sulit diberantas hingga ke akar? Karena mereka mendapat simpati dan dukungan dari internasional. Terutama bangsa Melanesia. Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini memiliki kedekatan kultural dengan bangsa Melanesia. Negara pendukung Papua merdeka juga berasal dari bangsa yang sama.

Pada Maret 2017, atas nama 7 negara pasifik (Vanuati, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru, dan Kepulauan Slomon) Menteri Kehakiman Vanuatu, Ronald Warsal menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM serius terhadap orang asli Papua di sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Berlanjut di bulan Mei tahun 2017, 11 anggota parlemen Selandia Baru menyatakan dukungan untuk kemerdekaan Papua Barat dengan menandatangani Deklarasi Westminster.

Ketiga, faktor sosial. Konflik Papua masih memanas karena problem kesejahteraan  yang tidak pernah tuntas. Mereka merasa terdiskriminasi dan termarjinalkan. Kurang mendapat perhatian dari negara. Di sisi lain, kekayaan alam yang ada di wilayah ini nyatanya tidak berdampak apapun bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat Papua. Freeport menjadi salah satu buktinya. Eksploitasi yang dilakukan Freeport McMoran, perusahaan tambang emas terbesar itu tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat Papua sendiri.

Selain itu, pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan di masa lalu tidak pernah diusut. Akibatnya, perasaan traumatis atas kekerasan yang mereka alami diturunkan pada anak cucu mereka. Isu inilah yang senantiasa digaungkan oleh negara pendukung Papua merdeka.

Indonesia Patut Waspada

Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan beberapa negara sangat berpotensi terjadi gerakan separatis. Terlebih di wilayah – wilayah yang memiliki kerawanan terjadinya konflik vertikal maupun horizontal. Apalagi kekayaan alam yang dimiliki negeri ini selalu menjadi incaran bangsa lain untuk menguasai.

Lepasnya Timor Timur di masa lalu cukup menjadi pelajaran berharga. Saat itu, desakan melepas Timor Timur datang dari Australia yang memiliki kedekatan kultural dengan Timor Timur yang berasal dari ras melanesia. Diketahui, dukungan kuat Australia terhadap Timor Timur disinyalir adanya ketertarikan Australia pada kandungan minyak yang ada di Timor Leste.

Akankah Papua akan bernasib sama seperti halnya Timor Leste? Kita tentu tidak berharap demikian. Keinginan kuat Papua Barat untuk melepaskan diri dari Indonesia begitu tampak nyata. Hal ini bisa dilihat munculnya petisi yang dipimpin Benny Wenda, pimpinan gerakan Papua Barat merdeka. Petisi itu ditandatangani oleh sekitar 1,8 juta masyarakat di Papua Barat. Namun, petisi itu ditolak oleh PBB pada 30 September lalu.

Lepas tidaknya Papua dari Indonesia akan memberikan keuntungan dan kerugian dari pihak yang berkepentingan di atas tanah Papua. Jika Papua lepas dari Indonesia, tentu sangat merugikan bagi Indonesia. Sebab, Papua memiliki kekayaan alam luar biasa, baik itu hasil pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Diantaranya kepulauan Raja Ampat, Taman Nasional Teluk Cendrawasih, hingga tambang emas terbesar di dunia.

Bila Papua lepas dari Indonesia juga akan berdampak pada posisi tambang emas yang dikelola Freeport. Berdampak pula pada AS sebagai pemegang saham terbesar di Freeport. Lepasnya Papua juga akan memberikan keuntungan bagi negara – negara pendukung Papua merdeka. Perlu diketahui, negara pendukung papua merdeka adalah negara – negara anggota persemakmuran bangsa-bangsa yang berafiliasi dengan Britania  Raya (Inggris). Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo pernah mengatakan posisi geopolitik Indonesia berada di tengah negara-negara Five Power Defence Arrangement (FFDA) yang beranggotakan Britania Raya, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura. Beliau menjelaskan, FFDA merupakan perjanjian negara-negara persemakmuran Inggris menyimpan kerawanan yang patut menjadi perhatian serius Indonesia.

Jadi, siapa yang diuntungkan dan dirugikan atas isu ini? Mereka yang memiliki kepentingan politik terhadap Papua. Indonesia memang wajib waspada. Sebab, nafsu kapitalisme yang rakus selalu mencari celah dengan memanfaatkan konflik suatu negara. Demi tercapainya kepentingan mereka.

Penulis: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

sigabah.com | kiblat.net

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}