Preloader logo

Rupiah Terus Naik, Pengamat: Ini Akan Berdampak pada Elektabilitas Jokowi

 

Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar disebabkan adanya kebijakan yang salah. Ada kebijakan pembangunan infrastruktur yang tidak tepat.

Hal ini terkuak di acara diskusi dan buka puasa bersama Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Jakarta Raya (Kahmi Jaya) di kantor Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra, PKS dan PAN, The Kemuning, Taman Amir Hamzah, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/6/2018) malam.

Diskusi bertajuk ‘Imbas Kenaikan Dolar Terhadap Perekonomian Indonesia’ tersebut menghadirkan pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noorsy.

Pengamat yang mengenyam pendidikan di berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi tersebut, mengungkapkan potensi krisis besar dapat terjadi di Indonesia menyusul nilai kurs rupiah yang sudah mencapai Rp14 ribu per Dolar Amerika Serikat (AS).

“Nilai tukar rupiah tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2015,” ujar Noorsy di hadapan ratusan anggota Kahmi Jaya yang memenuhi diskusi tersebut.

Menurut dia, jika krisis tahun 1997 yang melanda Indonesia disebabkan oleh faktor moneter, sementara krisis tahun 2008 pemicunya adalah perdagangan, maka krisis yang akan terjadi di tahun 2018 lebih berbahaya.

“Karena, krisis yang akan dihadapi di 2018 ini, pemicunya sekaligus dua. Ada moneter dan perdagangan,” papar alumni doktoral ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya.

Noorsy mengaku sudah memprediksi jika perekonomian Indonesia akan mengalami stagnasi sejak tiga tahun lalu. Seharusnya dengan kondisi yang makin parah seperti saat ini, Pemerintah harus mulai lepas dari investasi dan tenaga kerja asing.

“Kesalahan utama Jokowi menyandarkan kekuatan ekonomi kita dari luar. Padahal di luar negeri lagi ‘perang’, sehingga kita kena dampaknya” kata Noorsy

Menurut dia, kondisi ekonomi ini pun mulai berdampak pada elektabilitas Presiden Jokowi yang akan kembali berhasrat maju di Pilpres 2019.

“Menurut saya #2019GantiPresiden salah satunya dipicu oleh kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan,” papar Noorsy yang juga menyandang gelar sarjana hukum dan sarjana ilmu sosial.

“Dollar bisa seperti saat ini karena kebijakan yang salah oleh menteri Jokowi. Mereka asal melakukan pembangunan infrastruktur, padahal bisa saja pembangunan itu tidak tepat,” katanya.

Rencana cair pinjaman dari bank dunia pada bulan ini dianggap belum dapat mengatasi semua persoalan.

Kata dia, pinjaman tersebut bahkan lebih menjadikan negara semakin terpuruk. Saat ini menurutnya pinjaman luar negeri sudah mencapai Rp.5041 triliun.

“Kita jangan main-main soal dollar. Jokowi harus membenarkan surplus. Rencana pinjaman bank dunia dalam waktu dekat 300 juta USD bukan jaminan. Bahkan pinjaman itu bisa menjadikan Indonesia makin hancur. Indonesia dikasih darah tapi tidak menolong,” tegasnya

“Utang luar negeri sekarang Rp.5941 miliar. Untuk mengatasi sedikit persoalan ini seharusnya satu dollar sebesar Rp.13700,” tambahnya.

Sementara bicara soal imigran gelap dan tenaga kerja asing (TKA), yang banyak masuk ke tanah air. Ichsanudin menilai hal itu jelas keputusan salah.

Pasalnya, disaat negara-negara lain tengah sibuk melakukan pengetatan untuk melindungi kesejahteraan warganya, seperti Inggris dengan brexitnya serta Amerika dengan proteksionisme, Indonesia sebaliknya. Bahkan terbaru Presiden Jokowi memperbolehkan warga negara asing duduki jabatan strategis di BUMN.

Situasi impor TKA saat ini, menurut Ichsanudin, gejalanya mirip dengan situasi di Amerika tahun 2004 silam. Dimana George Walker Bush yang merupakan sosok incumbent kala itu berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan menggaet para imigran melalui kebijakan pemberian kredit murah rumahan.

“Kita lihat dalam perspektif ekonomi. Saya mengambil contoh paling menarik adalah ketika perbandingan nyata di Amerika, George Walker Bush waktu kampanye 2004, ia memberdayakan imigran dengan kredit murah rumahan. Saya ulangi lagi, Bush ketika melawan John Kerry, ia memenangkan pemilihan dengan cara memberikan kredit murah rumahan,” ungkapnya.

Menurut Ichsanuddin, Trump pada intinya ingin melakukan proteksionisme. Yakni melakukan perlindungan terhadap kesejahteraan warganya di dalam negeri Amerika sendiri.

“Ini juga saya tanyakan ke Sri Mulyani. Ketika saya berdiskusi di PTIK dengan Sri Mulyani dan Agus Martowardojo (bankir yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Bank BI), apakah kebijakan Donald Trump dengan proteksionismenya itu adalah kebijakan deglobalisasi atau globalisasi?” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Presidium Kahmi Jaya, Mohamad Taufik menilai, rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar tidak lain gambaran mundurnya pemerintahan dalam ekonomi nasional.

Karenanya, dia menyebut, untuk memperbaiki perekonomian di Indonesia, dan khususnya DKI Jakarta, tiada lain Presidennya harus diganti.

“KAHMI Jaya siap mendukung Sekber Gerindra, PKS dan PAN untuk mewujudkan harapan rakyat tentang pergantian Presiden pada Pilpres 2019,” ujar Taufik pada acara yang dilanjutkan sholat tarawih berjamaah itu.

Ketua DPD Partai Gerindra DKI menjelaskan, kejadian ini menggambarkan adanya ketidakpercayaan asing pada pemerintah.

“Dollar sampai menguat terus berpengaruh pada masyarakat. Saya kira persoalan faktanya bahwa rupiah sudah melemah. Padahal sudah pakai ilmu interpensi,” tegas Taufik.

“Nah inikan menunjukan adanya ketidakpercayaan asing pada pemerintah,” pungkas Wakil Ketua DPRD DKI itu. (Alf)

sigabah.com | teropongsenayan.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}