Preloader logo

RAHMAT ALAM SEMESTA (RAS-1)

Belakangan ini, terjadi tarik ulur kepentingan “proyek tafsir” atas konsep agung ajaran Islam: Rahmat Alam Semesta (RAS), pengindonesiaan dari Rahmatan Lil ‘Alamin.  RAS, disematkan oleh berbagai pihak untuk beragam kepentingan, antara lain membangun kehidupan berbasis Islam yang khas ala Indonesia, yaitu sudah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Sementara pada “musim PILKADA”, RAS dijadikan jargon demi memuluskan jalan bagi seorang kafir untuk memimpin negeri, di samping jargon:  ”Pemimpin Kafir yang Adil Lebih Baik dari Pemimpin Muslim yang Zalim.”

Dalam konteks kepentingan ini, RAS “ditafsirkan” sebagai konsep agama cinta kasih, perdamaian, dan toleransi. RAS semata-mata dimaknai sebagai ‘say no to violence and hostility’ (katakan tidak pada kekerasan dan permusuhan). Kekerasan dan permusuhan, terhadap “penyakit kehidupan” sekalipun, dipandang bukan bagian dari ajaran Islam. Padahal, sejatinya dalam hidup ini terdapat berbagai macam “penyakit kehidupan” yang harus dijadikan musuh dan dilawan serta dilenyapkan agar tidak merembet dan menggerogoti bagian tubuh lain yang sehat.  Bisa jadi demi menyelamatkan tubuh secara keseluruhan, salah satu organ tubuh terinfeksi mesti diamputasi dengan terpaksa.

Penafsiran RAS model ini akan menggiring dan membentuk imaji Islam semata-mata obat penenang atas berbagai penyakit kehidupan itu, seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme agama, dan komunisme. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Pluralisme berbeda dengan pluralitas, di mana  pluralitas adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Selanjutnya, liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuaid engan akal pikiran semata. Terakhir, sekulerisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Penafsiran RAS semacam ini menghendaki legitimasi (1) keterlibatan muslim dalam acara-acara ritual orang kafir dan pengucapan selamat atasnya; (2) pembiaran kemunkaran dan kemaksiatan, seperti pelacuran dan perjudian merajalela; pamer aurat di depan umum; praktek-praktek kemusyrikan, karena akan menyinggung perasaan para pelaku; (3) toleransi terhadap penyimpangan paham keagamaan, padahal telah nyata bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Dalam konteks “musim PILKADA”, penafsiran RAS serupa itu menghendaki agar umat Islam tidak berfikir dan bertindak berdasar sentimen SARA. Jadi, dalam urusan memilih pemimpin tidak usah bawa-bawa agama.

Dalam pandangan MUI, pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. Sementara bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Cek di sini.

Jadi, Islam tidak boleh berdamai dan bertoleransi dengan berbagai “penyakit kehidupan” semacam ini atas nama Rahmat Alam Semesta, karena berbagai penyakit itu adalah musuh, dan umat Islam harus melawannya.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}