Preloader logo

PROPAGANDA KARBALA I: AMBISI SYIAH “BERTUMBAL” HUSEIN

Apabila membicarakan tentang hari Asyura (10 Muharam) maka kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembicaraan tentang peristiwa Karbala yang begitu menyayat hati, yang terjadi pada tahun 61 Hijriah (9-10 Oktober 680 Masehi). Peristiwa tersebut merupakan kisah di mana Husen Ra.—cucu  Rasulullah saw. dan anak Ali Ra.—telah dibunuh dengan kejam di sebuah tempat yang bernama Karbala, di Irak. Rentetan dari peristiwa ini terdapat upacara-upacara khusus yang diadakan pada Hari Asyura dengan cara yang amat bertentangan dengan syariat Islam. Lebih jauh dari itu itu, kelompok Syiah juga telah mempergunakan peristiwa Karbala ini demi meraih simpati umat Islam kepada kelompok mereka bahwa merekalah satu-satunya kelompok yang membela Ahlul Bait (keluarga Rasulullah), tentu saja Ahlu Bait dalam konsep mereka.

Karena itu, tragedy Karbala merupakan persoalan yang memberi peluang kelompok Syi’ah mempermainkan opini banyak orang. Pada peluang yang sama mereka pun berupaya merancukan sejarah umat ini. Pergulatan yang terjadi antara tokoh yang dilambangkan sebagai Syi’ah, yaitu Husen, di satu pihak, dengan Yazid yang dilambangkan sebagai tokoh Ahlus Sunah di pihak yang lain. Seperti itulah opini yang hendak dibangun kelompok Syi’ah berkaitan pergulatan tersebut.

Padahal, sejatinya Husen Ra., juga termasuk salah seorang pimpinan Ahlus Sunah. Keyakinan Ahlus Sunah terhadap beliau, ialah bahwa beliau mati sebagai syahid, beliau dimuliakan oleh Allah dengan mati sebagai syuhada, dan Allah menghinakan orang yang membunuh beliau. Jadi, kasus pembunuhan beliau itu merupakan musibah besar. Dalam kondisi demikian Ahlus Sunah pun merujuk kepada firman Allah ‘Azza wa Jalla:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ, الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raa-ji`uun” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS: Al-Baqarah 155-157).

Sehubungan dengan itu, ketika kita membicarakan peristiwa Karbala kita dituntut setidaknya untuk melakukan dua hal:

Pertama, kita perlu selektif terhadap berbagai riwayat yang mengisahkan tragedi itu—yang bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah), karena sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadis yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadis, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka. Dalam konteks inilah, Syekh Islam Ibnu Taimiyyah telah mengingatkan:

والذين نقلوا مصرع الحسين زادوا أشياء من الكذب كما زادوا في قتل عثمان وكما زادوا فيما يراد تعظيمه من الحوادث وكما زادوا في المغازي والفتوحات وغير ذلك والمصنفون في أخبار قتل الحسين منهم من هو من أهل العلم كالبغوي وابن أبي الدنيا وغيرهما ومع ذلك فيما يروونه اثار منقطعة وأمور باطلة وأما ما يرويه المصنفون في المصرح بلا إسناد فالكذب فيه كثير

“Orang-orang yang meriwayatkan kematian Husen Ra. telah memberikan tambahan dusta, sebagaimana juga mereka telah menambahkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap Usman Ra, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, penaklukan dan lain sebagainya. Para penulis berita tentang pembunuhan Husen Ra, ada di antara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak.” [1]

Kedua, fokus peristiwa tidak hanya pada peristiwa pembunuhan itu saja, melainkan harus mengikuti episode sejarah sebelumnya yang memberi kita gambaran utuh tentang bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada umumnya, episode sebelum peristiwa Karbala terjadi sangat jarang diulas, mereka yang selalu mengulas dan menganalisa kisah Karbala jarang menyinggung peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang mengakibatkan cucu Nabi ini dibunuh. Ini menimbulkan tanda tanya, dan kesan yang ditangkap adalah episode ini sengaja untuk tidak terlalu dibahas panjang lebar.  (Bandingkan dengan versi Syiah tentang peristiwa itu di sini)

Perlu dipahami oleh kita bersama, bahwa satu peristiwa tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya sebagai satu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, tentunya tidak bisa dipisahkan begitu saja, apa yang terjadi saat ini adalah bagaikan memisahkan ayat dan sabab nuzulnya. Memisahkan peristiwa Karbala dengan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi, yang akhirnya ikut menyebabkan terjadinya pembantaian Karbala. Tapi sayang peristiwa itu seolah terkubur di telan bumi, jarang kita mendengar tentang peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan merangkai pembantaian Karbala. Barangkali bisa kita mulai dari pertanyaan penting, yang sayangnya jarang kita dengar. Barangkali akal sehat kita sering tertutupi oleh “kesedihan mereka yang mendalam”, yang barangkali dibuat-buat oleh mereka sendiri, dengan mendengarkan kisah-kisah sedih pembunuhan Husein, dengan diberi bumbu suara yang menyayat hati, dan lain- lain akhirnya kita lupa bertanya: Mengapa peristiwa itu terjadi? Peristiwa apa yang menjadi latar belakang peristiwa itu? mengapa Husen berangkat ke Karbala? Barangkali pertanyaan terakhir ini menjadi titik awal bagi perjalanan kita kali ini untuk menelusuri peristiwa-perstiwa yang melatarbelakangi peristiwa Karbala.

Untuk memenuhi tuntutan di atas, di dalam pembahasan menentang Syi’ah ini, sedapat mungkin kami mempergunakan riwayat-riwayat mereka sendiri yang tersusun di dalam kitab-kitab sumber utama mereka, baik ortodoks maupun modern, yang dianggap terpercaya dan dijadikan pegangan serta diklaim sebagai dalil di kalangan mereka sendiri.

Latar Belakang Peristiwa

Peristiwa ini diawali ketika Yazid menggantikan Muawiyah (602 – 680 M) yang wafat dan segera meminta agar Husen berbaiat. Namun Husen menolak bersama Abdullah bin Zubair, dan keduanya pergi diam-diam ke kota Mekah. Seperti kita ketahui bahwa Husen Ra. adalah salah satu figur umat Islam karena hubungan kekerabatannya dengan Nabi, seluruh umat Islam mencintainya, dari dulu hingga hari ini, hanya orang menyimpang dan menyimpan penyakit di hatinya bisa membenci keluarga Nabi. Hingga ketika dia menolak berbaiat maka kabar beritanya tersebar ke segala penjuru, di antara mereka yang mendengar kabar berita mengenai Husen Ra. adalah warga Kufah. Lalu mereka mengirimkan surat-surat kepada Husen Ra.mengajaknya untuk datang ke kufah dan memberontak pada Yazid. Surat-surat itu begitu banyak berdatangan kepada imam, hingga jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Dr. Ahmad Rasim an-Nafis—seorang penulis syiah—menerangkan: “Surat-surat penduduk Kufah kepada Husen a.s. menyatakan: ‘Kami tidak memiliki Imam, oleh karena itu datanglah, semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas kebenaran.’ Surat-surat itu mengandung berbagai tanda tangan menghimbau kedatangan untuk menerima bai’at dan memimpin umat untuk gerakan menghadapi para pendurhaka Bani Umayah. Begitulah, kian sempurnalah unsur-unsur dasar bagi gerakan Huseniyah, antara lain, adanya hasrat mayoritas masyarakat yang menuntut reformasi dan mendorong Husen Ra. untuk segera memegang tampuk kepemimpinan bagi gerakan tersebut. Juga peristiwa dorongan-dorongan di Kufah ini diungkapkan di dalam surat-surat baiat dari penduduk Kufah.” [2]

Muhammad Kazhim al-Qazwaini—seorang ulama syiah—menyatakan: “Penduduk Irak menulis surat kepada Husen, mengirim utusan, dan memohon agar beliau berangkat ke negeri mereka untuk menerima baiat sebagai khalifah, sehingga terkumpul pada Husen sebanyak 12.000 surat dari penduduk Irak yang semuanya berisikan satu keinginan. Mereka menulis: ‘Buah sudah ranum, tanaman sudah menghijau, Anda hanya datang untuk menjumpai pasukan anda yang sudah bersiaga. Anda di Kufah memiliki 100.000 (seratus ribu) pedang. Apabila Anda tidak bersedia datang, maka kelak kami akan menuntut Anda di hadapan Allah’.” [3]

Seorang ulama syiah, Abbas Al Qummi menerangkan: “Melimpah ruahlah surat-surat sehingga terkumpul pada beliau di dalam satu hari sebanyak 600 surat berisikan janji hampa. Dalam pada itu pun beliau menunda-nunda dan tidak menjawab mereka. Sehingga terkumpul pada beliau sebanyak 12.000 surat.” [4]

Ribuan—tepatnya puluhan ribu—surat yang berdatangan berhasil meyakinkan Husen mengenai kesungguhan penduduk Kufah.  Husen mengutus Muslim bin Aqil untuk mengecek keadaan kota Kufah dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Dan ternyata benar, sesampainya Muslim di sana ternyata banyak orang berbaiat pada muslim untuk “membela” Husen Ra. melawan penguasa zhalim. Mereka menunggu kedatangan sang Imam untuk memimpin mereka.

Kedatangan Muslim di Kufah

Ridha Husen Shabaah al-Husaini—seorang penulis Syi’ah—mengatakan: “Lalu Muslim berangkat dari Mekah pada pertengahan bulan Sya’ban, dan tiba di Kufah selepas lima hari bulan Syawal. Orang-orang Syi’ah berdatangan berbaiat kepadanya, sehingga jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya’bi, jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 40.000 orang. [5]

Dari situ ia mulai menerima masyarakat dan menyebarluaslah seruan agar berbaiat kepada Husen As., sehingga jumlah orang-orang yang “bersumpah setia sampai mati” mencapai 40.000 orang. Ada juga yang mengatakan, kurang dari jumlah tersebut. Gubernur Yazid yang berada di Kufah ketika itu adalah an-Nu’man bin Basyir. Sebagaimana disifatkan oleh para sejarawan, gubernur ini seorang muslim yang tidak menyukai perpecahan dan lebih mengutamakan kesejahteraan.” [6]

Seorang ulama Syi’ah, Abdur Razaq al-Musawi al-Muqarram menerangkan: “Orang-orang Syi’ah menjumpai Muslim di rumah al-Mukhtar dengan sambutan hangat dan menampilkan sikap taat dan patuh. Sikap yang membuat ia lebih gembira dan lebih bersemangat…, selanjutnya orang-orang Syi’ah pun datang saling berbaiat kepadanya sampai tercatat sejumlah 18.000 orang. Bahkan ada yang mengatakan sampai sejumlah 25.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya’bi dinyatakan, orang-orang yang berbaiat kepadanya berjumlah 40.000 orang. Kemudian Muslim menulis surat kepada Husen bersama Abis bin Syabib asy-Syakiri, memberitakan kepada beliau tentang kesepakatan penduduk Kufah untuk patuh dan mereka yang menanti-nanti. Di dalamnya ia menyatakan: ‘Seorang penunjuk jalan tidak akan mendustai keluarganya sendiri. Bahkan sudah terdapat 18.000 orang penduduk Kufah yang berbaiat kepadaku…’.” [7]

Seorang tokoh mereka bernama Abbas al-Qumi mengatakan: “Al-Mufid dan mereka yang lain menerangkan: ‘Masyarakat berbaiat kepadanya (kepada Muslim bin Uqail) sampai jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Lalu Muslim menulis surat kepada Husein As. memberitahukan kepada beliau tentang 18.000 orang yang berbaiat kepadanya dan memerintahkan agar beliau datang’.” [8]

Abbas Al Qummi juga menerangkan: “Melalui riwayat yang lalu, membuktikan bahwa orang-orang Syi’ah secara diam-diam menjumpai Muslim di rumah Hani, secara rahasia. Lalu mereka pun saling mengikutinya, dan Muslim menekankan kepada tiap-tiap orang yang berbaiat kepadanya agar tutup mulut dan merahasiakan hal itu, sampai jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 25.000 laki-laki. Sementara Ibnu Ziyad masih belum mengetahui posisinya.[9]

Sampai sesi ini, kita membayangkan bagaimana puluhan ribu orang bersiap siaga untuk menyambut kedatangan Husen. Bagaimana mereka mempersiapkan persenjataan untuk “melawan penguasa zhalim” di bawah pimpinan sang Imam. Namun, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, karena ternyata ending kisah tak seindah yang dibayangkan. telusuri kisah selanjutnya dalam tema: PROPAGANDA KARBALA II: SYIAH BERKHIANAT PADA MUSLIM BIN ‘AQIL.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, IV:556.

[2] Lihat, ‘Alaa Khuthaa al-Husain, hlm. 93-94.

[3] Lihat, Faaji’ah ath-Thaff, hlm. 4.

[4] Lihat, Muntahaa al-Aamaal fi Tawarikh an-Nabiy wa al-Aali, I:430.

[5] Lihat, asy-Syii’ah wa Asyuura’, hlm. 167.

[6] Lihat, Siirah al-A’immah al-Itsna ‘Asyar, II:57-58.

[7] Lihat, Maqtal al-Husain, hlm. 147-148.

[8] Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:436.

[9] Ibid., I:437.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}