Preloader logo

PKI, INDONESIA, DAN CHINA [2]

Oleh: Beggy Rizkiyansyah

Sambungan artikel PERTAMA

China saat ini membangun salah satu proyek terbesarnya yang kontroversial di Sri Lanka, yang menyebabkan kerusuhan (http://www.forbes.com/sites/wadeshepard/2017/01/08/violent-protests-against-chinese-colony-in-hambantota-sri-lanka-rage-on/#7b50efc829ed).

Sejak 2008 setidaknya ada 30 ribu pekerja China di Sri Lanka. Sedangkan di China, sejak menurunnya gelombang ekspor China dua tahun lalu, kini setidaknya ada 37 juta pengangguran di China. Maka menjadi hal yang logis bagi pemerintah China untuk membuka lapangan pekerjaan bagi warga mereka di proyek-proyek di negara-negara satelit seperti Sri Lanka, dan tampaknya termasuk di Indonesia, yang saat ini dihebohkan dengan gelombang pekerja dari China (https://www.theguardian.com/world/2015/feb/06/sri-lanka-approves-chinese-port-project-to-avoid-misunderstanding-with-beijing).

Ekspansi China dengan perangkap hutang mereka juga menjerat Kamboja, di mana China menghapus hutang Kamboja sebesar 90 juta dollar dan ditukar dengan dukungan Kamboja atas perselisihan China dengan negara-negara ASEAN soal Laut China Selatan.

Di Afrika, Angola, Nigeria dan Zimbabwe juga dalam genggaman China. Di Zimbabwe, hutang Zimbabwe dibatalkan dan ditukar dengan kebijakan berlakunya mata uang Yuan.

Melihat semua kasus-kasus di mana banyak negara terjerat dalam Debt Trap (perangkap hutang), harusnya membuat kita berpikir agar Indonesia jangan sampai terjerat hal yang sama. Belum lagi masukya gelombang tenaga kerja baik legal maupun ilegal yang melukai rasa keadilan bagi pekerja di Indonesia. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang dilalui Jalur Sutra Maritim China (Maritime Silk Road) yang amat ambisius, Dari Shanghai melalui Indonesia, Sri Lanka, Nepal, Maladewa Hingga Kenya dan seterusnya menembus ke Eropa. Maka melihat persoalan kecondongan pemerintah Indonesia dengan China tak tepat jika dilihat dengan kacamata (isu) PKI atau komunis.

Indonesia saat ini jelas-jelas mengidap liberalisasi ekonomi (dan hal lainnya) secara akut. Penguasaan sumber daya, mekanisme pasar yang mencekik rakyat miskin, membuat jurang ketimpangan di Indonesia semakin lebar. Bank Dunia, tahun 2015 lalu merilis laporan yang mencengangkan. Laporan itu menyatakan ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin melebar. Menurut laporan tersebut, Pada tahun 2002, 10% warga terkaya Indonesia mengonsumsi sama banyaknya dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin, sedangkan pada tahun 2014 mereka mengonsumsi sama banyaknya dengan 54% warga termiskin. Rasio Gini yang mengukur tingkat ketimpangan meningkat dari 30 (tahun 2000 ) menjadi 41 (tahun 2014), yaitu angka tertinggi yang pernah tercatat.

Penguasaan kekayaan yang memusat di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, di bawah Rusia dan Thailand. Di Indonesia, 10% orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77% dari seluruh kekayaan di negeri ini. Satu persen orang terkaya bahkan memiliki separuh dari seluruh kekayaan. (World Bank, Ketimpangan yang Semakin Lebar, Executive Summary: 2015).

Sepak terjang gubernur Ahok pun semakin mempertajam kesenjangan, ketimpangan dan ketidakadilan di Jakarta. Reklamasi adalah salah satu proyek yang akan mengukuhkan ketimpangan di Jakarta. Sudah saatnya kita fokus mempersoalkan hal ini ketimbang terbawa arus isu komunis(me) atau PKI.

Bagi rakyat Indonesia sudah jelas komunisme menimbulkan trauma mendalam. Namun seringkali kita melihat komunisme sebagai hantu. Disebut berbahaya, namun alih-alih ditelaah dan dikaji untuk diketahui segala keburukannya dan kekurangannya, kita hanya merasa cukup mengenal komunisme lewat film G30S-PKI. Tidak heran jika sekarang ada jurang pengertian yang menganga antara generasi muda yang tak cukup tahu tentang komunisme (dan akhirnya menganggap sepele) dengan generasi lebih tua yang menolak komunisme tapi tak cukup menjelaskan.

Jika kita memang menolak komunisme dan mengkhawatirkan keburukannya, maka sebaiknya kita menuruti saran Bung Hatta, salah satu orang yang dibenci oleh PKI dan dianggap provokator pemberontakan Madiun. Menurut Bung Hatta, selama masih ada kemiskinan dan ketimpangan, di situlah komunisme akan tumbuh subur. Memerangi liberalisasi ekonomi (neo-liberalisme), menghapus ketimpangan, ketidakadilan terhadap rakyat kecil, dan fokus mengawal kasus penistaan agama oleh Ahok lebih bermanfaat ketimbang membuang-buang energi soal isu PKI dan komunisme.*

Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Sumber: hidayatullah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}