Preloader logo

PENGOBATAN ALA RUQYAH (Bagian ke-2)

Pada edisi sebelumnya telah disampaikan kriteria Ruqyah, baik dalam pengertian at-ta’wiidz atau al-isti’aadzah (berlindung kepada Allah) maupun jampi atau mantera. Pada edisi itu juga telah dibahas Ruqyah yang dibenarkan syariat. Pada edisi ini akan dibahas ruqyah yang dilarang dan berbagai penyakit yang dapat diruqyah.

 

Ruqyah Ghair Masyru’ (yang dilarang)

Telah terbiasa di kalangan jahiliyyah untuk meruqyah dalam menangkal atau mengobati sesuatu penyakit, mereka mengantungkan harapan kepada jampi-jampi itu sendiri, kepada berhala, jin dan setan. Demikian itu dilakukan karena mereka berkeyakinan bahwa jin mempunyai kekuatan untuk menangkal penyakit, bahaya, dan hal-hal lain yang ingin dihindari atau disembuhkan.

Terkadang orang-orang jahiliyyah berlindung kepada sesuatu yang sebenarnya tidak ada, tetapi dengan tahayul mereka seolah sesuatu itu merupakan makhluk gaib yang ada dan dapat memberikan perlindungan. Seiring dengan munculnya khurafat-khurafat atau cerita-cerita gaib dari orang yang tidak bertanggng jawab, yang pada waktunya menyebar di kalangan masyarakat. Jelas ruqyah seperti ini penuh dengan syirik dan dalam prakteknya senantiasa diikuti adanya tamimah (jimat).  Keyakinan dan cara ini  jelas merupakan pilihan kaum atau masyarakat jahiliyah. Oleh karena itu Rasulullah saw. melarangnya, beliau bersabda :

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَالَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” H.r. Abu Dawud dan Ibnu Majah[1]

Bahkan beliau mengancam orang yang melakukannya dengan sabdanya:

مَنِ اكْتَوَى أَوِ اسْتَرْقَى فَقَدْ بَرِئَ مِنَ التَوَكُّلِ

“Barangsiapa mencos (menandai  badannya dengan besi panas) atau meruqyah, maka ia telah melepas diri dari tawakal.” H.r. At-Tirmidzi[2]

Diceritakan bahwa Ibnu Masud mendapatkan istrinya berkalungkan sesuatu yang telah diberi jampi-jampi oleh seorang nenek Yahudi. Kemudian setelah itu, rasa sakit pada matanya hilang. Apa yang dilakukan oleh istri Ibnu Mas’ud ini selain ruqyah juga tamimah. Ibnu Masud mengatakan bahwa yang demikian itu perbuatan dan dorongan setan.

Beberapa contoh lain dapat dikemukakan di sini, misalnya seorang pedagang yang ingin beruntung menyimpan sesuatu di tempat penjualannya sebagai jimat. Petani yang ingin tanamannya subur dan tidak diganggu oleh hama, ia menanam jimat di sudut-sudut pematang sawahnya. Orang-orang yang dianggap intelek menanamkan kepala kerbau lalu memecahkan kendi yang telah diberi air dan bunga-bungan yang telah dijampi oleh orang pintar agar bangunan yang diresmikan itu kuat dan tidak mudah roboh. Menggantungkan ayat-ayat di pintu-pintu atau tempat-tempat khusus lainnya agar pengisi rumah tidak digoda setan atau diganggu jin dan lain sebagainya yang seperti itu. Maka jelaslah perbuatan itu justru mengundang setan dan meminta bantuannya.

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa Ruqyah yang dilarang adalah ruqyah yang mengandung unsur kemusyrikan di dalamnya seperti jampi dan mantera, bahkan ayat Quran sekalipun jika diyakini sebagai faktor penyembuhnya.

 

Jenis penyakit yang Diruqyah

Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ruqyah hanya dapat dilakukan pada jenis-jenis penyakit tertentu saja.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : رَخَّصَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرُّقْـيَـةِ مِنَ العَيْنِ وَالـحُمَةِ وَالنَّمْلَةِ رواه أحمد و مسلم  والترمذي

Dari Anas, ia mengatakan, ”Rasulullah saw memberikan rukhshah tentang ruqyah pada penyakit ain (tilik mata), alhumah (disebabkan binatang berbisa, dan annamlah (cacar).” H.r. Ahmad, Muslim, dan At-Tirmidzi.[3]

Penyakit al-’ain adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pandangan manusia yang jahat. Al-huma adalah penyakit yang ditimbulkan oleh racun atau bisa binatang. Sedangkan an-Namlah adalah cacar.

Demikian pula ketika Aisyah ummul mu’minin ditanya mengenai ruqyah beliau menjawab:

 رَخَّصَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِلأأَهْلِ بَيْتٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي الرُّقْـيَـةِ  مِنْ كُلِّ ذِي حُمَةٍ

Rasulullah saw. memberikan rukhshah (dispensasi) untuk Ahlu Bait dari kaum Anshar tentang ruqyah karena setiap sengatan atau patukan binatang berbisa.” H.r. Muslim[4]

Sedangkan di dalam riwayat An Nasai, masih dari Aisyah, beliau hanya menerangkan satu macam penyakit saja:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ أَنْ أَسْتَرْقِيَ فِي العَيْنِ

Rasulullah saw memerintah aku untuk meruqyah disebabkan penyakit ‘ain.” H.r. An-Nasai[5]

Hadi-hadis rukhshah (dispensasi) tentang ruqyah untuk penyakit-penyakit yang tersebut di atas juga diriwayatkan oleh mukharrij-mukharij (pencatat hadis) lainnya. Jika diperhatikan secara sepintas lalu, perkataan Rusulullah saw. memberikan rukhshah pada jenis-jenis penyakit yang tersebut di atas seolah-olah membatasinya untuk jenis penyakit tertentu saja, sehingga timbul pandangan tidak boleh dilakukan ruqyah untuk jenis penyakit lainnya. Apalagi jika diperhatikan keterangan-keterengan di bawah ini.

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْنٍ أَوْحُمَةٍ

Dari Buraidah, ia mengatakan,”Telah bersabda Rasulullah saw,’Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan ain atau humah.” H.r. At-Tirmidzi[6]

Sedangkan al-Bukhari meriwayatkannya secara mauquf (keterangan dari Imran bin Hushain sendiri), bukan sabda Rasul.

Dengan memperhatikan sepintas lalu, tampak terlihat bahwa hadis-hadis tentang ruqyah untuk jenis penyakit itu bertentangan satu dengan yang lain. Di satu sisi Rasulullah membatasi hanya dua penyakit: A’in dan huma. Namun di sisi lain beliau memberi keringanan pada tiga penyakit: ‘ain, huma dan namlah. Bahkan, pada riwayat lain disebutkan Rasulullah saw. meruqyah dan memerintahkan ruqyah pada penyakit lainnya, seperti meruqyah orang yang gila, yang dilakukan oleh pamannya Kharijah bin Ash-Shalt. Ia meruqyahnya dengan Al-Fatihah, lalu ruqyah untuk sakit kepala dan penyakit-penyakit lainnya.

Sehubungan dengan itu perlu ditemukan jalan keluar, sesuai dengan kaidah ilmu, agar hadis-hadis tentang Ruqyah yang tampak bertentangan ini dapat terselamatkan hingga diketahui duduk persoalan yang sebenarnya.

Semua ulama sepakat bahwa hadis-hadis yang kontradiktif harus “diselesaikan”, sehingga hilanglah kontradiksi itu, tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian itu. Jika kita merujuk kepada tawaran metode dari Ibnu Hajar dan beberapa ulama lain, maka penyelesaian itu dapat dilakukan melalui empat tahap, yakni, (1) al-jam’u; (2) an-nasakh; (3) at-tarjih; dan (4) at-tawaqquf (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya) (Lihat, Nuzhatun Nazhar, hlm. 24-25). Adapun penjelasan teknisnya sebagai berikut:

  • al-Jam’u berarti mengkompromikan hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sehingga sama-sama diamalkan dengan melihat aspek atau segi masing-masing.
  • at-tarjih berarti penelitian untuk mencari yang memiliki argumen yang terkuat.
  • an-nasakh berarti hadis yang muncul belakangan menghapuskan petunjuk hadis yang datang terdahulu.
  • at-tawaqquf berarti menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya)

Dalam hal ini kami lebih memilih metode Ibnu Hajar karena tahap-tahap penyelesaian yang ditawarkannya lebih akomodatif. Dinyatakan demikian karena dalam praktik penelitian matan, keempat tahap atau cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan.

Adapun dalam kasus hadis-hadis ruqyah di atas, kita dapati beberapa ulama yang menggunakan al-jam’u sebagai metode penyelesaian kontradiksi itu. Sebut saja Imam an-Nawawi dan Ibnu Qoyim Al-Jauziyah.

An-Nawawi mengatakan,”kata rakkhasha (dispensasi) dan laa ruqyata (tidak ada rukyah) bukan berarti mengkhususan kebolehan ruqyah pada tiga penyakit ini saja, tetapi maknanya adalah ‘Nabi ditanya tentang ketiga perkara ini, maka beliau mengijinkannya, dan jika beliau ditanya tentang meruqyah disebabkan penyakit lainnya tentulah akan mengizinkannya pula,’ buktinya beliau telah mengizinkan untuk yang lain dan beliau sendiri melakukan ruqyah pada selain dari tiga ini.”[7]

Ibnu Qoyim Al-Jauziyah mengatakan, ”Jika dikatakan apa jawabnya tentang hadis yang diriwayatkan Abu Dawud (Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan ‘ain dan humah), maka jawabnya adalah ”Bukan dimaksudkan meniadakan bolehnya ruqyah pada yang lainnya, tetapi maksudnya tidak ada ruqyah yang lebih utama dan bernanfaat dari pada disebabkan ‘ain dan humah.” [8]

Demikian pula komentar-komentar ulama lainnya seperti Muhamad Syamsul Haq dalam ‘Aunul Ma’bud syarh Sunan Abu Dawud. [9]

Berdasarkan pendekatan metode al-jam’u dan sikap para ulama yang menggunakan metode itu dalam penyelesaian kasus pertentangan hadis-hadis ruqyah, dapat ditetapkan suatu keputusan bahwa kebolehan meruqyah itu tidak terbatas hanya pada penyakit-penyakit tertentu selama maksudnya al-‘isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah.

Setelah kita mengkaji berbagai dalil dan pandangan para ulama tentang ruqyah—yang telah diterangkan pada edisi sebelumnya dan edisi ini—kita dapat mengambil kesimpulan:

  • Ruqyah dalam pengertian doa atau permohonan dan melindungkan diri, dengan kalimat-kalimat yang ma’tsur (tersurat dalam riwayat) maupun susunan sendiri hukumnya boleh.
  • Ruqyah dalam pengertian jimat dan jampi-jampi, baik dengan menggunakan ayat Alquran maupun kalimat lain hukumnya syirik.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1] Sunan Abu Dawud, juz 3, hal. 224, No. 2883; Sunan Ibnu Majah, IV:128, No. 3530

[2] Sunan at-Tirmidzi, IV:344, No. 2055

[3]Musnad al-Imam Ahmad, XIX:212 No 12.173, Shahih Muslim II:357, No. 2.196 dan Sunan at-Tirmidzi, IV:344, No. 2.056.

[4] Shahih Muslim II:356, No. 2193.

[5] Sunan an-Nasai, IV:365, No. 7536.

[6] Sunan at-Tirmidzi, IV:245 No. 2057.

[7]Syarah Muslim an-Nawawi, juz XIV, hal. 148.

[8]Zadul Ma’ad,IV: 175.

[9]Lihat, ‘Awnul Ma’bud, X:369.

There is 1 comment
  1. Sahabatku, banyak yang beranggapan bahwa Ruqyah Syari’ah ini merupaka bagian dari mistik dan tabu, padahal ia adalah senjata bagi kaum muslimin untuk menghadapi jin-jin kafir, setan dan sihir yang membelenggu umat manusia, Ruqyah Syari’ah bukanlah hal yang baru didalam Islam, namun ia adalah Sunnah yang hampir punah dikalangan umat Islam sendiri

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}