Preloader logo

OLEH-OLEH DARI TASIK, BUAT PERSIS YANG LEBIH BAIK (Bagian Ke-1)

Pendahuluan

Sebagai anggota Persis, saya cemas ketika merasa banyak isu seputar Persis yang tidak terkover secara luas. Banyak sikap Persis yang tidak diketahui publik secara utuh. Baik yang disampaikan secara personal maupun organisasi.

Saya berusaha untuk bisa mafhumi keadaan ini. Sebab, Persis sampai sekarang belum bisa merealisasikan kebutuhan informasi secara layak buat umatnya. Kebutuhan informasi yang benar-benar sejalan dengan visi dan misi Persis. Media massa yang berperan menyosialisasikan gagasan dan pikiran untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Media massa yang berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik.

1Harapan datangnya angin segar perubahan ke arah itu seakan-akan terwujud meski sesaat, ketika Muktamar XIV Persis, 25-27 September 2010, di Kota Tasikmalaya 5 tahun yang lalu, bertabur “bintang”. Selain dibuka RI 1, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu II juga hadir. Jusuf Kalla pun turut memberikan pembekalan dalam muktamar ini. Perhelatan ini menjadi istimewa karena setelah 87 tahun berdiri, baru kali ini dibuka oleh Presiden.

Lebih istimewa lagi fenomena Muktamar XIV dengan taburan “bintang” itu cukup memberikan efek positif terhadap “nilai jual” jam’iyyah Persis dalam perkembangan media massa di Indonesia. Kenyataan ini dapat dirasakan secara lebih transparan setelah saya mengamati berbagai media itu dalam kurun 1 bulan, sepanjang September 2010.

Agar event muktamar yang telah menyita tenaga dan pikiran serta menelan biaya miliaran itu tidak mubazir, berbagai berita dan opini hasil liputan berbagai media itu saya liput ulang beberapa hari pasca muktamar di Tasikmalaya itu, dalam tulisan yang sederhana serta jauh dari kesempurnaan, khususnya di mata kaum profesional yang paham tentang ilmu komunikasi dan dunia jurnalistik.

Tulisan ini dimaksud tiada lain agar kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman muktamar kali ini bahwa Persis harus concern dengan keberadaan dan pengembangan media massa dan bersikap cerdas dalam memanfaatkan media yang ada sehingga pembentukan citra jam’iyyah Persis tidak hanya “sesaat”, hanya 5 tahun 1 kali Persis punya “nilai jual” di mata media.

Hasil liputan 5 tahun itu saya keupeul (genggam erat)—karena saat itu tidak punya media untuk mintonkeun (mempublikasikan)—hingga akan saya purak (buka) suatu saat. Menjelang muktamar XV 20-23 Nopember 20015 mendatang dirasa sebagai moment yang tepat untuk membuka catatan liputan itu yang saya sebut sebagai “oleh-oleh Tasik”.

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat dijadikan bahan renungan oleh keluarga besar Persis dan tambahan energi bagi “imam baru” Persis, periode 2015-2020, dalam upaya merevitalisasi dan memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk kemaslahatan jam’iyyah dan juga demi kebajikan seluruh bangsa, sehingga Persis tetap memiliki daya tawar dalam perkembangan media massa meskipun tanpa dihadiri “para bintang”, karena Persis semakin nyata menjadi kekuatan besar yang telah dioptimalkan potensinya.

Persis dalam Perkembangan Media Massa

Sebagaimana dimaklumi bahwa Media massa, termasuk televisi, menjadi ikon pembentuk konstruksi sosial. Media pun menjadi pembentuk kuasa kebenaran dalam realita sosial. Norma-norma kehidupan cenderung dipegang oleh media.

2Peran media dalam pembentukan opini semakin masif dalam beberapa dekade terakhir. Semakin pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik tidak terlepas dari pesatnya peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Jika pada 10 tahun sebelumnya seseorang masih sulit untuk dapat mengakses internet, namun hari ini setiap orang dapat mengakses internet secara mobile. Jika 10 tahun sebelumnya jumlah stasiun televisi sangat terbatas, namun hari ini jumlah stasiun televisi semakin banyak dan dengan tingkat coverage yang lebih luas. Bahkan, hari ini kita dapat mengakses jaringan internasional, sesuatu yang mustahil dilakukan pada beberapa puluh tahun yang lalu.

Walaupun tidak semasif beberapa tahun terakhir, media di masa lalu juga memiliki peran yang besar dalam membentuk opini publik. Contohnya adalah bagaimana publik melihat Sukarno sebagai seorang pemimpin besar Indonesia. Lewat radio pada saat itu, Sukarno berhasil membangun citra pemimpin kharismatik di masyarakat Indonesia, walaupun sebagian masyarakat beranggapan bahwa dalam praktek Sukarno adalah pemimpin yang otoriter. Namun sekali lagi, peran media telah menggeser opini publik terhadap citra Sukarno dari seorang pemimpin diktator menjadi pemimpin yang kharismatik dan dibanggakan oleh masyarakat Indonesia.

Peranan media masa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, maka media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, maka media menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial.

Dengan peran tersebut, media massa menjadi sebuah agen dalam membentuk citra di masyarakat. Pemberitaan di media massa sangat terkait dengan pembentukan citra, karena pada dasarnya komunikasi itu proses interaksi sosial, yang digunakan untuk menyusun makna yang membentuk citra tersendiri mengenai dunia dan bertukar citra melalui simbol-simbol. Dalam konteks tersebut, media memainkan peranan penting untuk konstruksi realitas sosial.

Sebagai seorang praktisi media massa, Direktur Pemberitaan TV One, Karni Ilyas atau biasa disebut ”Bang One”, telah menunjukan betapa strategisnya peran media dalam pembentukan realitas sosial. Berbagai contoh seperti pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004, kasus Manohara yang mengkonstruksi opini masyarakat bahwa dia sebagai orang yang perlu dilindungi, dan terakhir adalah citra terhadap KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi; tidak dapat dilepaskan dari peran media dalam membentuk opini publik.

Namun, Karni Ilyas menyatakan bahwa pembentukan opini publik tidak sepenuhnya menjadi monopoli media massa. Masyarakat juga memiliki peran dalam mencerna informasi yang didapat dari media. Dalam hal itu, maka faktor relativisme budaya3 masyarakat menjadi hal yang penting dalam proses keberterimaan sebuah opini publik.

Dengan perannya yang sangat besar dalam pembentukan opini publik, maka sudah sejatinya Persatuan Islam (Persis) dapat memanfaatkan keran-keran media massa dalam melakukan pencitraan ke tengah-tengah publik agar mereka mengenal lebih dekat jam’iyyah Persis. Penyebaran diskursus-diskursus dalam public sphare inilah yang seharusnya lebih dimaksimalkan oleh jam’iyyah Persis agar gerakan dakwah Persis lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya.

Kenyataan ini akan lebih transparan apabila kita menonton tayangan info terkini/breaking news atau membaca yellow paper (koran kuning), media cetak dan cyber media tentang Event Muktamar Persis XIV, 25-27 September 2010 di Tasikmalaya dan Garut 5 tahun lalu, jika dibanding dengan event yang sama lima tahun ke belakang serta menjadi tolok ukur event Muktamar XV yang akan datang, dilihat dari kepentingan yang namanya rating (untuk acara televisi) dan tiras (untuk media cetak).

Pengalaman-pengalaman itu agaknya memberikan pelajaran, jika Persis harus concern dengan keberadaan dan pengembangan media massa dan bersikap cerdas dalam memanfaatkan media yang ada sehingga dapat memberikan efek pembentukan citra jam’iyyah Persis.

Citra Persis akan terbentuk berdasarkan informasi yang terima oleh masyarakat kemudian media massa bekerja untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. Informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra Persis. Dengan demikian, Peranan citra menjadi penting bagi Persis mengingat dalam situasi tertentu Opini Publik merupakan kekuatan dahsyat yang dapat mempengaruhi baik atau buruk sebuah citra.

Jika dihubungkan dengan media massa yang setiap hari kita nikmati, dari mulai media cetak yang mulai provokatif dan media elektronik yang semakin atraktif, perkembangan tentang Persis akan senantiasa menarik. Hingga di usia 87 tahun—di Muktamar XIV 2010, sekarang (2015) memasuki usia 92 tahun—Persis belum punya media massa yang dikelola secara profesional dan mandiri. Media massa yang mampu menandingi kekuatan media-media publik lainnya.

Posisi Persis dalam media massa memang cenderung tidak menggembirakan. Cenderung tidak terwakili secara layak. Media massa yang diharapkan bisa menyosialisasikan fikrah (pemikiran) dan kiprah Persis kepada masyarakat luas, selama ini masih kurang sensitif.

Media massa dengan jargon kebebasan ternyata tidak lepas dari semangat kapitalis yang tentunya memberikan implikasi pada kebijakan redaksional, baik disengaja atau tidak. Bahkan, media massa dengan dunia jurnalistiknya dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling kentara memposisikan objek berita dalam konteks nilai bisnisnya. Di media massa, citra Persis terasa “tidak meriah”, ia belum mampu menyita sebagian besar produk jurnalistik, mulai dari cover majalah, pajangan utama hotnews, iklan televisi sampai berita-berita yang berkenaan dengan organisasi massa. Bahasa yang digunakan media massa ketika menulis tentang Persis seakan-akan ia sedang menulis sebuah obyek yang baru kemarin berdiri.

Lantas, apakah kita berhak membebankan semua kesalahan ini kepada pengelola media massa? Sepertinya kurang bijak apabila kita hanya menyalahkan realitas ini pada media massa, meskipun media massa punya saham dalam patologi sosial ini, tetapi bukankah media massa punya dua peran sebagai cermin (mirror) dan juga pembentuk (moulder) persepsi dan selera masyarakat? Di samping itu, media juga harus hidup dari iklan yang akan meningkat ketika tiras dan rating menanjak? Lalu bagaimana dengan saham masyarakat sebagai “penikmat” isi media massa?

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

 

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}