Preloader logo

NILAI PROKLAMASI SHAUM RAMADHAN (Bagian Ke-2-Tamat)

Dibalik penurunan “ayat primadona Ramadhan” di Madinah ini terdapat tiga nilai, meliputi aspek historis, Implikasi hukum, dan kronologis tasyri’. Ketiga aspek itu, secara sederhana, dapat dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Aspek Historis “Ayat Primadona”

Ayat “Kutiba” diturunkan kepada Nabi saw. pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H., bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 624 M.[1] Bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di Madinah, berarti beliau sempat melaksanakan ibadah shaum sebanyak sembilan kali, sebelum beliau wafat pada Senin (menurut pendapat lain Sabtu) 12 Rabi’ al-Awwal 11 H., bertepatan dengan 6 Juni 632 M.

Shaum pertama berawal pada hari Ahad, 1 Ramadhan tahun 2 H./26 Februari 624 M. Sementara Idul Fithrinya jatuh pada hari Senin, 1 Syawwal tahun 2 H./26 Maret 624 M. Ini berarti shaum Ramadhan perdana dilaksanakan oleh Nabi saw.  selama 29 hari.

Beberapa orang shahabat Nabi saw. melaporkan bahwa Rasulullah saw. semasa hidupnya lebih banyak menjalankan shaum Ramadhan selama 29 hari daripada 30 hari. Ibnu Mas’ud menyatakan:

مَا صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرَ مِمَّا صُمْنَا مَعَهُ ثَلاثِينَ

“Shaum yang kami laksanakan bersama Rasulullah saw. selama 29 hari lebih banyak daripada shaum yang kami laksanakan bersama beliau selama 30 hari.” HR. Ad-Daruquthni dan ath-Thabrani. [2]

Keterangan Ibnu Mas’ud di atas diriwayatkan pula oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani, dengan sedikit perbedaan kata ganti kami (صمنا) dengan saya (صمت). [3]

Shaum Ramadhan yang diamalkan Rasulullah pada periode Madinah ini menarik perhatian astronom muslim untuk dibuktikan dengan hisab astronomi. Dr. T. Djamaluddin, peneliti bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, Lapan, Bandung, telah menghisab posisi hilal awal Ramadhan dan Syawwal semasa Rasulullah hidup dari tahun ke-2 hingga ke-10 H. Analisis astronomi memang menunjukkkan selama sembilan tahun itu enam kali Ramadhan panjangnya 29 hari, hanya tiga kali yang 30 hari.

Dari analisis astronomi diketahui bahwa pada zaman Nabi, shaum dilakukan pada musim semi dan musim dingin dengan waktu shaum mulai sekitar pukul 04:30 sampai sekitar 16:40 pada musim dingin.

Salah satu Idul Fithri pada zaman Nabi terjadi pada hari Jumat, 1 Syawwal 3 H., bertepatan dengan 15 Maret 625. Inilah satu-satunya Idul Fithri yang jatuh pada hari Jumat sepanjang hayat Nabi saw. di Madinah dalam masa 10 tahun.

Pada saat itulah Rasulullah saw. menetapkan beberapa syariat Jumat jika Ied jatuh pada hari Jumat, antara lain dibolehkan meninggalkan shalat Jumat bagi laki-laki apabila pagi harinya telah mengikuti salat Ied. Di dalam khutbah Ied waktu itu Rasulullah bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ

“Pada hari ini telah bersatu dua ied, maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.” HR. Ibnu Majah. [4]

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Siapa yang mau yang merasa cukup (tidak melaksanakan salat Jum’at), maka salat ied ini mencukupkan dari (salat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan salat Jum’at.” HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu al-Jarud. [5]

Kedua, Implikasi Hukum Turun “Ayat Primadona”

Penurunan ayat “Kutiba” sebagai “primadona Ramadhan” di Madinah telah merubah tatanan hukum selama 13 tahun pada periode Mekah plus 1 tahun periode Madinah. Semula, shaum yang wajib dilaksanakan adalah shaum Asyura (10 Muharram) dan shaum tiga hari setiap bulan (tanggal 13,14, dan 15) yang disebut Ayyamul bidh. Namun, sejak ayat ini diturunkan kedua shaum tersebut status hukumnya berubah menjadi sunat. Demikian sebagaimana dinyatakan Aisyah:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy dijaman jahiliyah. Rasulullah Saw. pun menshauminya. Tatkala beliau tiba di Madinah, beliau shaum dan memerintah (para sahabatnya). Ketika difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak shaum). Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa yang hendak berbuka, maka berbukalah.” [6]

Ketiga, Kronologis Penetapan Hukum Shaum Ramadhan

Kewajiban shaum Ramadhan ditetapkan melalui dua tahap:

Tahap pertama, dengan turunnya surat al-Baqarah : 183-184. Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan masih berbentuk takhyir atau pilihan alternatif antara shaum dan fidyah.

Tahap kedua, Allah menurunkan ayat selanjutnya

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS. Al-Baqarah : 183-184

Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan sudah tidak berbentuk takhyir atau pilihan alternatif lagi, tetapi sudah berbentuk ta’yin (pilihan satu-satunya) kecuali bagi mereka yang dibolehkan secara syariat, mereka terkena kewajiban qadha atau fidyah

Setelah ayat ini turun timbul pemahaman yang keliru pada mayoritas sahabat dalam masalah ketentuan pelaksanaan shaum, yaitu para shahabat Nabi saw. menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan selama mereka belum tidur, di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi saw. untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.” hingga firman-Nya: “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam. (QS. Al-Baqarah: 187).  Dengan turunnya ayat tersebut kaum muslimin merasa bergembira. [7]

Dari paparan fakta sejarah di atas terdapat ibrah (pelajaran) yang patut kita renungkan guna mempertebal keyakinan kita bahwa Al-Quran merupakan salah satu bukti kebenaran aturan Allah Swt. Bagaimana tidak, kaum muslim di seluruh dunia, yang sudah 14 abad hidup setelah Rasul, masih mengakui ayat “Kutiba” sebagai acuan shaum Ramadhan. Demikian itu menunjukkan bahwa aturan Allah bersifat kekal abadi tidak mengalami masa kadaluwarsa, tanpa revisi atau diamandemen, selain oleh Allah sendiri. Hal ini tentu saja berbeda dengan aturan produk manusia.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

[1] Lihat, Fiqh as-Sunnah, I: 366

[2] Lihat, HR. Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, II: 198, No. hadis 94, ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, X: 82, No. 10.021; al-Mu’jam al-Awsath, III: 212, No. 2948, VI: 307, No. 6486, al-Mu’jam ash-Shagir, I: 149, No. 228

[3] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:397, No. 3776, I: 408, No. 3871, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV: 250, No. 7991, ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, X: 222, No. 10.536; al-Mu’jam al-Awsath, IV: 109, No. 3735.

[4] Lihat, Sunan Ibnu Majah, I: 416, No. 1312

[5] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:281, No. 1073, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, III: 318, No. 6082, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, I: 425, No. 1064, Ibnu al-Jarud, al-Muntaqa, I: 84, No. 302

[6] Lihat, Shahih Al-Bukhari, III: 1393, No, hadis 3619.

[7] Lihat, Shahih al-Bukhari, II: 676, No. hadis 1816, Musnad Ahmad, V: 246, No. 22.177; Shahih Ibnu Khuzaimah, III: 200, No. 1904.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}