Preloader logo

Nelayan Butuh Kehadiran Negara

Jakarta – Nelayan adalah kelompok masyarakat yang mendiami dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya kelautan dan perikanan. Mereka berprofesi sebagai penangkap dan pembudidaya ikan, sekaligus mengolahnya. Pola hidup mereka dijalani sepanjang tahun. Jika sumber daya ikan melimpah otomatis mereka bakal meraup keuntungan lewat penangkapan, budidaya, dan olahan tradisional. Sebaliknya, bila paceklik atau gagal panen mereka tak punya sumber penghidupan. Jalan pintasnya mereka mengutang pada juragan atau rentenir. Imbasnya, mereka tak pernah naik kelas dari kemiskinannya. Pasalnya, mereka tak punya alternatif sumber kehidupan lain kala paceklik dan gagal panen ikan. Makanya, nelayan dikategorikan masyarakat rentan.

Di Indonesia, nelayan penangkap ikan berjumlah 2,73 juta jiwa, pembudidaya 3,35 juta jiwa, sehingga totalnya 6,08 juta jiwa. Merekalah yang menopang kebutuhan penyediaan pangan protein di Indonesia sebesar 80 persen ketimbang perikanan komersial. Mereka menangkap ikan dengan menggunakan armada kecil berjumlah 550.310 unit (98,77 Persen), sedangkan sisanya kapal > 30 GT (1,239 persen). Daya jangkauannya pun tak lebih dari 4 mil laut dengan ukuran kapal 30 GT (1,23 persen).

Realitas

Secara sosial ekonomi, kondisi nelayan Indonesia masih tergolong miskin. Kondisi nelayan ini jadi realitas yang tak terbantahkan. Meskipun parameter nilai tukar dan indeks kesejahteraan masyarakat pesisir (IKMP) mengungkapkan hal berbeda. Pertama, sejak tahun 2015-2017, IKMP berturut-turut 40,5, 42, dan 45. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan peningkatan IKMP tahun 2018 senilai 47,5 dan 2019 sebesar 51 (Katadata, 2018). Dengan perkataan lain, tahun 2019 masyarakat pesisir kian makmur.

Kedua, nilai tukar nelayan (NTN) naik dari 108,24 (2016) menjadi 109,86 (2017). Nilai tukar usaha nelayan (NTUN) naik dari 117,57 (2016) menjadi 123, 01 (2017). Nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) naik dari 98,96 menjadi 99,09. Terakhir, nilai tukar usaha pembudidaya ikan (NTUPi) naik dari 108,62 menjadi 110,23. Apakah indikator ini mengungkap ukuran kemakmuran nelayan secara empiris? Ataukah, parameter ini hanya di atas kertas yang berkebalikan dengan realitasnya? Pasalnya, hingga kini kemiskinan struktural dan perampasan laut (ocean grabbing) masih mencengkram kehidupan nelayan. Ingat, angka ketimpangan Indonesia (rasio gini) masih tinggi, 0,39 (amat timpang).

Memang, pemerintah hingga tahun 2017 telah menggelontorkan beragam kebijakan berupa bantuan sarana prasarana (kapal dan alat tangkap, cold storage), asuransi nelayan, hingga pemberantasan illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF). Akan tetapi, kasus perampasan laut dan kurangnya perlindungan terhadap mereka masih terjadi. Di antaranya; pertama, mereka ditangkap di negara lain akibat menangkap ikan di perairannya. Tahun 2017, nelayan tertangkap di Australia 16, dan Malaysia satu orang.

Kedua, nelayan kita berperan dalam penyeludupan pencari suaka politik, trafficking, dan obat terlarang ke negara tetangga. Meski sebatas sebagai penyedia jasa transportasi. Para pelakunya berkamuflase sebagai nelayan. Ketiga, nelayan Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing (Taiwan, Jepang dan Korea Selatan) tidak mendapatkan jaminan keselamatan kerja, hingga sosial yang memadai. Bahkan ada yang diperbudak dan gajinya tidak dibayar.

Keempat, nelayan jadi korban pembangunan lewat pembangunan pulau reklamasi (Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, Bali), wisata bahari yang merampas hak kelola dan akses di pulau Pari Jakarta, dan pertambangan di Pulau Bangka Sulawesi Utara. Bukti empiris, perampasan pesisir dan laut (coastal and ocean grabbing) yang mengalienasi nelayan dari habitusnya.

Kelima, nelayan pembudidaya ikan kita kurang mendapatkan perhatian serius. Mungkinkah kita menyaingi Tiongkok yang kini jadi penguasa perikanan ikan budidaya dunia, hingga Israel yang mengandalkan teknologi budidaya yang ramah lingkungan berupa aquamoaf, dengan kita mendongkrak produksi, daya saing dan efisiensi usahanya?

Keenam, pencemaran lingkungan yang merusak habibat dan ekosistem pesisir yang berimbas pada matinya biota laut hingga mengurangi kelimpahan sumber daya ikan. Kasus teranyar ialah kebocoran pipa minyak di Teluk Balikpapan seluas 12.987,2 hektar telah mencemari ekosistem pesisirnya dan membunuh ikan endemik, pesut mahakam. Kasus semacam ini tidak berdampak langsung bagi kehidupan nelayan. Akan tetapi, pencemaran ini otomatis akan mematikan ikan, ekosisistem pesisirnya (mangrove), dan metabolisme alam Teluk Balikpapan. Imbasnya, hasil tangkapan nelayan pasti merosot. Apakah negara hadir tatkala nelayan mengalami kasus semacam ini?

Berbagai problem tersebut, mengisyaratkan bahwa negara belum memiliki instrumen proteksi dan perlindungan sosial bagi nelayan yang berperan sebagai “jaring pengaman sosial” kala mengalami kasus perampasan laut, bencana pencemaran, dan kecelakaan laut. Mereka juga minim mendapatkan perlindungan hukum dan proses diplomasi memadai kala melintasi batas maritim negara lain dan tertimpa bencana di kapal ikan asing.

Kehadiran Negara

Menelisik problem struktural yang menghinggapi nelayan hingga kini, mau tidak mau negara mesti hadir buat merekonstruksi dan memikirkan ulang soal pembangunan kelautan dan perikanan. Nelayan tidak butuh retorika “poros maritim dunia”. Nelayan butuh kehadiran all out negara untuk melindungi dan menjaga sumber daya perikanan yang jadi tumpuan hidupnya. Sebab itu perintah konstitusi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu “negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Lalu, ayat (2) pasal 27, berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Inilah jaminan hak hidup dan kelola nelayan untuk tidak dirampas oleh pemilik modal maupun negara.

Terakhir, ayat (2) pasal 33 UUD 1945 ialah “cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” salah satunya perikanan. Negara lewat perpanjangan tangannya, BUMN dan swasta bermitra setara dengan Koperasi Nelayan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan. Polanya, BUMN yaitu BRI menyediakan modal usaha, Pertamina mensuplai BBM, dan Perusahaan Perikanan Indonesia (Perindo) menjamin pasar dan harga ikan.

Swasta mensuplai sarana produksi perikanan dan teknologi versi terbaru, utamanya budidaya perikanan. Koperasi nelayan pun mesti didukung manajemen profesional dan informasi teknologi (IT). Koperasi nelayan juga harus memiliki saham BUMN dan swasta sehingga anggotanya tidak hanya jadi produsen semata. Inilah perwujudan Sistem Ekonomi Pancasila di bidang kelautan dan perikanan untuk menyelesaikan problem struktural nelayan.

Muhamad Karim dosen Agribisnis Universitas Trilogi, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

sigabah.com | detik.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}