Preloader logo

MUKJIZAT AL-QUR’AN MEMANG UNIK

Bicara soal kemukjizatan Qur’an, mungkin emang gaakan pernah ada akhirnya. Sebab, Qur’an ini ciptaan Dzat Yang Maha Sempurna. Sementara kita adalah “Dzat yang Maha Terbatas”. Akal dan indera kita gaakan mampu buat menjangkau semua yang ada dan (mungkin) ada. Setiap kita berusaha untuk menghayati Qur’an setiap itu pula taburan mutiara Qur’an akan terus bertebaran. Selalu aja ada hal baru, yang bisa kita dapat. Selalu ada hal yang buat kita terkagum-kagum.

Kali ini kita bakal coba bahas mukjizat Qur’an dari segi proses turunnya. Yes, dari proses turunnya. Sebab ternyata mukjizat Qur’an itu bukan cuma dari segi isi kandungannya aja, tapi dari proses penurunan nya juga.

Kalo kitab suci yang lain seperti kitab Zabur, Injil, ataupun Taurat, itu turun langsung sekaligus dari langit kepada para nabi yang bersangkutan. Tapi Qur’an itu beda. Proses turunnya, engga sekaligus, melainkan terjadi melalui beberapa tahapan. Dan secara umum proses itu bisa dibagi jadi tiga tahapan.

Pertama: dari Allah ke Lauhul mahfudz.

Jadi di tahapan pertama, Qur’an ini turun langsung dari Allah, terus di simpen di sebuah tempat perbendaharaan, dimana seluruh kehidupan ada dalam catatan Allah, tempat itu bernama Lauhul mahfudz. Jadi dari Allah di kesanain dulu prosesnya itu. Sebagaimana yang disebutkan di dalam surat Al-Buruj ayat 21-22:

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ

“Bahkan yang di dustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauhul mahfudz.

Ayat ini sedang menjelaskan Qur’an dalam tahap awal, tahap pertama ini. Jadi ada proses transit dulu, kalo kitab lain kan engga. Yang lain itu langsung.

Kedua: dari Lauhul mahfudz ke langit dunia

Setelah transit di Lauhul mahfudz, Qur’an ini turun ke Baitul Izzah atau langit dunia. Di proses kedua inilah yang dimaksud oleh Qur’an surat Al-Qadr ayat pertama:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”

Jadi baru sampe ke langit dunia, belum ke Nabi.

Ketiga: dari langit dunia ke Nabi Muhammad saw.

Nah di proses yang ketiga, barulah Qur’an sampe ke Nabi Muhammad, lewat perantara malaikat Jibril, untuk kemudian disampaikan pada umat. Dan perlu diketahui, kalau di proses yang ketiga ini, engga hanya berlangsung dalam satu waktu, melainkan turun secara berangsur selama 23 tahun risalah kenabian. Jadi engga sekaligus, tapi sebagian-sebagian.

Dan urutan turunnya surat-surat yang diterima Nabi, engga sama kaya urutan mushaf Qur’an yang kita terima hari ini. Coba kita liat lagi. Nabi kan, pertamakali dapet wahyu itu surat Al-Alaq ayat 1-5, tapi kenapa di Qur’an yang ditulis paling pertama sebagai surat pembuka itu surat Al-Fatihah bukan Al-Alaq? Surat Al-Alaq malah adanya di surat ke-96.

Inilah yang kemudian harus kita hayati. Ada apa maksud Allah “mengacak-acak” Qur’an? Di tahap pertama, turun rapih. Di tahap kedua, turun rapih juga. Tapi di tahap ketiga, seakan-akan “diacak”, turunnya engga sekaligus, semacam dikasih dosis atau takaran, sedikit-sedikit dan engga berurutan. Dan hari ini, setelah Nabi wafat, Qur’an nya rapih lagi.

Jadi kenapa beda antara urutan turun dan urutan di mushaf, itu bukan kreasi Nabi apalagi sahabat. Tapi adalah bagian dari mukjizat itu sendiri. Jadi rahasia dan hak prerogatif-nya Allah.

Begitulah bagaimana Qur’an turun, begitu rumit dan menyimpan banyak rahasia. Mungkin perlu juga ya, dibuat Qur’an sesuai urutan turunnya. Agar lebih terasa bagaimana proses yang dialami Nabi saat menerima wahyu, saat kita mencoba menghayati kandungan Qur’an nantinya. Jadi penting sekali lagi ditekankan, kalau mukjizat Qur’an itu bukan cuma dari kandungan aja, ternyata proses turunnya pun memiliki nilai yang lebih dibanding dengan yang lain.

 

By Azmi Fathul Umam

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

There is 1 comment
  1. Mudzakkir

    Alhamdulillah bagus pak ustadz memang perlu sehingga kita tahu memgapa auat tersebut turun.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}