Preloader logo

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-28)

Pada beberapa edisi sebelumnya telah disebutkan konsep bada’ dalam keyakinan Syiah—yang identik dengan keyakinan Yahudi—diartikan sebagai penyesalan Tuhan karena telah terlanjur mengerjakan hal-hal yang kurang tepat. Selanjutnya dikupas masa kemunculan konsep bada’—dalam keyakinan Syiah—yang awalnya tidak dikenal di kalangan Islam. Kemudian, dibedah pula usaha Syiah dalam mencari dalil pembenaran keyakinan bada’. Pada edisi terakhir, topik bada’, ini akan dikupas usaha ulama Syiah dalam meyakinkan masyarakat agar meyakini kebenaran bada’.

Beragam Cara Syiah Menjajakan “Produk” Bada’

Diakui atau tidak, bada’ mempunyai pengaruh besar di kalangan intelektual Syiah. Kenyataan bahwa bada’ bertentangan dengan ayat-ayat suci al-Qur’an, dasar-dasar Uluhiyyah (ketuhanan) dan akal sehat, membuat mereka mencoba membikin penafsiran agar bada’ dapat diterima masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Babawaih al-Qummi. Dalam salah satu karyanya, at-Tauhid, ia menjelaskan:

لَيْسَ الْبَدَاءُ كَمَا يَظُنُّهُ جُهَّالُ النَّاسِ بِأَنَّهُ بَدَاءُ نَدَامَةٍ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ، وَلَكِنْ يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُقِرَّ للهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَنَّ لَهُ الْبَدَاءَ، مَعْنَاهُ أَنَّ لَهُ أَنْ يَبْدَأَ بِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ فَيَخْلُقُهُ قَبْلَ شَيْءٍ، ثُمَّ يَعْدِمُ ذَلِكَ الشَّيْءَ وَيَبْدَأَ بِخَلْقِ غَيْرِهِ.

Bada’ (yang diyakini Syiah) bukanlah seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh, (yang mengira) bahwa bada’ adalah timbulnya penyesalan, Maha Suci Allah dari semua itu, akan tetapi wajib bagi kita mengakui bahwa Allah boleh memiliki bada’, artinya adalah Dia berhak untuk memulai menciptakan makhluk-Nya sebelum menciptakan sesuatu, lalu meniadakannya, dan menciptakan yang lain.[1]

Usaha al-Qummi dalam menafsirkan bada’ tampaknya telah melenceng dari pembahasan, karena yang dijelaskannya bukanlah kata bada’, melainkan bad’ (memulai). Kita semua sependapat dengannya kalau dikatakan bahwa Allah SWT berhak menciptakan atau meniadakan apa saja yang dikehendaki-Nya, bukanlah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an:

وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ

Dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS. As-Sajdah [32]: 7)

إِنَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali. (QS. Yunus [10]: 4)

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. (QS. Al-Qashash [28]: 68)

Sebagaimana al-Qummi, ath-Thusi juga berusaha menafsirkan bada’ dengan caranya sendiri. Dia mengatakan:

قَوْلُهُ: بَدَا للهِ فِيْهِ مَعْنَاهُ بَدَا مِنَ اللهِ فِيْهِ، وَهَكَذَا الْقَوْلُ فِيْ جَمِيْعِ مَا يُرْوَي مِنْ أَنَّهُ بَدَا للهِ فِيْ إِسْمَاعِيْلَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ بَدَا مِنَ اللهِ، فَإِنَّ النَّاسَ كَانُوْا يَظُنُّوْنَ فِيْ إِسْمَاعِيْلِ بْنِ جَعْفَرَ أَنَّهُ الْإِمَامُ بَعْدَ أَبِيْهِ، فَلَمَّا مَاتَ عَلِمُوْا بُطْلَاَن ذَلِكَ.

“Tampak pada Allah” artinya adalah “Tampak dari Allah.” Begitulah arti dari semua yang diriwayatkan. Tampak pada Allah dalam diri Isma’il, artinya adalah tampak dari Allah. Karena sebelumnya orang-orang menyangka bahwa Isma’il bin Ja’far-lah yang akan menjadi Imam, namun setelah kematiannya tampaklah pada mereka (bahwa perasangka mereka itu salah).[2]

Jadi, jika al-Qummi menafsirkan bada’ (tampak) dengan mengartikannya sebagai bad’ (memulai), maka ath-Thusi menafsirkan kalimat Bada lillahi (tampak kepada Allah) dengan Bada min Allahi (tampak dari Allah). Di sini berarti ath-Thusi telah menisbatkan bada’ kepada manusia, bukan pada Allah SWT. Sebab Bada min Allahi artinya adalah: dia mengetahui dari Allah SWT. tentang…

Penafsiran yang dilakukan ath-Thusi ini diikuti oleh tokoh Syiah kontemporer, Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha. Dalam bukunya ad-Dinu wa al-Islam, dia menyatakan sebagai berikut:

الْبَدَاءُ وَإِنْ كَانَ فِيْ جَوْهَرِ مَعْنَاهُ هُوَ ظُهُوْرِ الشَّيْءِ بَعْدَ خَفَائِهِ، وَلَكِنْ لَيْسَ المُرَادُ بِهِ هُنَا ظَهُوْرُ الشَّيْءِ للهِ جَلَّ شَأْنُهُ وَأَيُّ ذِيْ حَرِيْجَةٍ وَمَسْكَةٍ يَقُوْلُ بِهَذِهِ الْمُضِلَّةِ، بَلْ المُرَادُ ظُهُوْرُ الشَّيْءِ مِنَ اللهِ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ خَلْقِهِ بَعْدَ إِخْفَائِهِ عَنْهُمْ، وَقُلْنَا بَدَا للهِ أَيْ بَدَا حُكْمُ اللهِ أَوْ شَأْنُ اللهِ.

Bada’, kendati makna asalnya adalah “tampaknya sesuatu setelah kesamarannya,” namun bada’ di sini bukanlah tampaknya sesuatu kepada Allah, Maha Suci Dia. Siapakah kiranya yang mengatakan hal yang menyesatkan ini? Akan tetapi maksud bada’ adalah tampaknya sesuatu dari Allah pada orang yang dikehendaki-Nya setelah disembunyikan dari mereka. Kami mengatakan Bada lillahi artinya adalah tampak hukum Allah atau pekerjaan Allah.[3]

Dari pemaparan tokoh-tokoh Syiah dalam menafsirkan bada’ di atas, muncul beberapa keganjilan dan pertanyaan di benak kita: adakah arti bada’ yang dikehendaki dalam ajaran Syiah sejatinya memang demikian? Apakah suara sebagian tokoh-tokoh Syiah itu sudah mewakili suara bulat Syiah dan tidak bertentangan antara satu pernyataan dengan pernyataan yang lain? Ataukah tafsir dan takwil itu hanya dijadikan sebagai tameng untuk menutupi keyakinan yang sesungguhnya (taqiyyah)?

Untuk mengetahui jawaban dari semua keganjilan itu, maka kita mesti menelaah secara seksama akan hadis bada’ yang ditafsirkan oleh para tokoh Syiah itu, yakni hadis yang telah kemukakan di atas, yang diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi dan diafiliasikan kepada Imam Ali at-Taqi AS sebagai berikut:

نَعَمْ يَا اَبَا هَاشِمْ بَدَا للهِ فِيْ أَبِيْ مُحَمَّدْ بَعْدَ أَبِيْ جَعْفَرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَالَمْ يَكُنْ يَعْرِفُ لَهُ…

“Benar wahai Abu Hasyim, tampak kepada Allah dalam diri Abu Muhammad setelah kematian Abu Ja’far AS. sesuatu yang belum diketahui-Nya.[4]

Dari hadis ini, kita mengajukan pertanyaan, bisakah kata Bada lillahi dan ma lam yakun ya’rif lahu (tampak pada Allah SWT apa yang belum diketahui-Nya) diartikan Bada min Allahi (tampak dari Allah)? Masihkah kata Bada lillahi dan ma lam yakun ya’rif lahu membutuhkan takwil untuk memahami arti yang sesungguhnya? Lihat pula ‘perkataan’ Nabi Luth AS dalam riwayat dari Imam Baqir AS berikut:

قَالَ: تَأْخُذُوْنَهُمْ السَّاعَةَ، فَإِنِّيْ اَخَافُ أَنْ يَبْدُوَ لِرَبِّيْ فِيْهِمْ…

Artinya: “Siksalah mereka saat ini juga! Karena aku takut muncul pada diri Tuhan pemikiran lain (yang belum ada sebelumnya) pada mereka…

Jika memang bada’ dalam Syiah ini memiliki arti sebagaimana yang disampaikan ath-Thusi, maka sudah pasti bada’ tidak akan menjadi jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. Bukankah para Imam mengetahui hal-hal yang ghaib? Tidakkah mereka telah mendapatkan informasi langsung dari Allah SWT. mengenai peristiwa yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi? Bagaimana mungkin Imam Ja’far AS. atau Imam Ali at-Taqi AS. yang maksum bisa menentukan putra tertuanya sebagai pengganti, kalu beliau-beliau sudah tahu bahwa tak lama kemudian putra pertamanya ini akan meninggal? Tidakkah ini menunjukan bahwa sebenarnya kedua Imam ini tidak tahu pasti siapa yang akan menjadi penggantinya? Di sini tampak jelas bahwa doktrin bada’ bertentangan dengan akidah Syiah yang disebut ‘Ishmah al-Imam’ (kemaksuman Imam), sebab jika para Imam telah maksum, maka seharusnya bada’ tak lagi diperlukan.

Takwil yang dilakukan ath-Thusi terhadap kata-kata bada lillahi (yang berarti menisbatkan bada’ kepada Allah) dengan mengartikannya sebagai bada min Allahi (yang berarti menisbatkan bada’ kepada manusia) adalah pentakwilan yang sangat jauh dan bahkan bertentangan. Di sini dapat kita lihat bahwa rupanya ath-Thusi terjebak dalam lingkaran kebingungan. Kebingungan itu pada gilirannya mendorong dia untuk mengingkari keberadaan bada’ dalam sekte Syiah Imamiyah alias Itsna Asyariyah. Hal ini ia ungkapkan dalam bukunya yang lain, Talkhis al-Mufashshal. Dia menyatakan:

إِنَّهُمْ لَا يَقُوْلُوْنَ بِالْبَدَاءِ، وَإِنَّمَا الْقَوْلُ بِالْبَدَاءِ مَا كَانَ إِلَّا فِيْ رِوَايَةٍ رَوَوْهَا عَنْ جَعْفَر الصَّادِقْ أَنَّهُ جَعَلَ إِسْمَاعِيْلَ الْقَائِمَ مَقَامَهُ، فَظَهَرَ مِنْ إِسْمَاعِيْل مَالَمْ يَرْتَضِهِ مِنْهُ، فَجَعَلَ الْقَائِمَ مُوْسَى فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: بَدَا للهِ فِيْ أَمْرِ إِسْمَاعِيْلَ، وَهَذِهِ رِوَايَةٌ، وَعِنْدَهُمْ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ لَا يُوْجِبُ عِلْمًا وَلَا عَمَلاً.

Sesungguhnya mereka (Syiah Imamiyah alias Itsna Asyariyah) tidak mempunyai bada’. Bada’ hanya ada dalam riwayat yang diambil dari Ja’far ash-Shadiq, karena dia terlanjur menjadikan Isma’il sebagai penggantinya. Kemudian tampak pada diri Isma’il sesuatu yang tidak disukainya, akhirnya dia menjadikan Musa sebagai penggantinya. Ketika dia ditanya tentang hal ini, dia menjawab “Tampak pada Allah dalam diri Isma’il” Begitulah riwayat (yang ada). Menurut mereka (Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah) bahwa Khabar Wahid tidak perlu diketahui dan tak wajib diamalkan.[5]

Apa yang disampaikan ath-Thusi ini jelas bertentangan dengan kenyataan sejarah awal lahirnya doktrin bada’. Dalam al-Kafi terekam jelas bahwa kisah Imam Ja’far Shadiq dan dua putranya serta terpecah belahnya Syiah Imamiyah menjadi beberapa golongan, merupakan akibat dari peristiwa kekeliuran ramalan Imam Ja’far tersebut. Jadi, dari kebingungan ath-Thusi dalam melakukan takwil, lalu tanpa sadar akhirnya ia terpeleset pada pengingkaran doktrin bada’, menunjukan bahwa tampaknya doktrin tersebut merupakan momok Syiah yang sulit ditutup-tutupi.

Selanjutnya, pengingkaran ath-Thusi terhadap doktrin bada’ ini membuat pemuka Syiah yang lain geram. Al-Majlisi, salah satu ulama Syiah terkemuka, mengatakan bahwa ath-Thusi “kurang mengerti tentang ilmu hadis!” Padahal sebelumnya al-Majlisi menyebut ath-Thusi sebagai al-Muhaqqiq (ulama yang ‘mumpuni’ di bidangnya). Karena rumitnya permasalahan bada’ ini pula, Sulaiman bin Jarir (pemuka Syiah Sulaimaniyah-Zaidiyah) keluar dari Madzhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Dia berkata:

إِنَّ أَئِمَّةَ الرَّافِضَةِ وَضَعُوْا لِشِيْعَتِهِمْ مَقَالَتَيْنِ، لَا يُظْهِرُوْنَ مَعَهُمَا مِنْ أَئِمَّتِهِمْ عَلَى كَذَبٍ أَبَداً وَهُمَا الْقَوْلُ بِالْبَدَاءِ وَإِجَازَةِ التَّقِيَّةِ.

Sesugguhnya para Imam Rafidhah (Syiah Imamiyyah) membuat dua konsep untuk pengikut-pengikutnya, yang dengan keduanya mereka bisa melepaskan para Imam dari kedustaan selamanya, kedua konsep itu adalah bada’ dan kebolehan taqiyyah.[6]

Sulaiman bin Jarir juga mengungkapkan pengalamannya saat ia masih aktif dalam madzhab Syiah Imamiyah alias Itsna Asyariyah, sekaligus menyingkap kebatilan para tokoh Syiah di balik doktrin bada’ yang mereka agung-agungkan. Dia mengatakan:

إِنَّ أَئِمَّتَهُمْ لَمَّا أَحَلُّوْا أَنْفُسَهُمْ مِنْ شِيْعَتِهِمْ مَحَلَّ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ رَعِيَّتِهَا فِيْ الْعِلْمِ فِيْمَا كَانَ وَيَكُوْنُ وَالْأَخْبَارِ لِمَا يَكُوْنُ فَيْ غَدٍ، وَقَالُوْا لِشِيْعَتِهِمْ إِنَّهُ سَيَكُوْنُ غَدًا وَفِيْ غَابِرِ الْأَيَّامِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنْ جَاءَ ذَلِكَ الشَّيْءُ عَلَى مَا قَالُوْهُ، قَالُوْا لَهُمْ: أَلَمْ نُعْلِمْكُمْ أَنَّ هَذَا يَكُوْنُ فَنَحْنُ نَعْلَمُ مِنْ قِبَلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا عَلِمَتْهُ الْأَنْبِيَاءُ، وَبَيْنَنَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِثْلَ تِلْكَ الْأَسْبَابِ الَّتِيْ عَلَمَتْ بِهَا الْأَنْبِيَاءُ عَنِ اللهَ مَا عَلِمَتْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الشَّيْءُ الَّذِيْ قَالُوْا إَنَّهُ يَكُوْنُ عَلَى مَا قَالُوْهُ، قَالُوْا لِشِيْعَتِهِمْ: بَدَا للهِ فِيْ ذَلِكَ فَلَمْ يُكَوِّنْهُ.

Sesugguhnya para Imam Rafidhah (Syiah Imamiyyah) ketika menjadikan dirinya seperti para nabi di hadapan para pengikut-pengikutnya, dengan mengaku mengetahui hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang, serta mengetahui kabar hari esok, mereka berkata kepada para pengikutnya: akan terjadi suatu kejadian pada hari esok atau hari ini kejadian seperti ini dan seperti ini. Bila itu benar-benar terjadi seperti yang mereka katakan, mereka akan berkata: bukankah aku telah memberitahu kalian bahwa itu akan terjadi. Kami mengetahui dari Allah apa-apa yang diketahui oleh para Nabi. Antara kami dan Allah ada semacam sebab yang dengannya para Nabi mengetahui sesuatu. Tapi bila apa yang mereka kabarkan tidak menjadi kenyataan, mereka akan berkata pada para pengikutnya: tampak pada Allah dalam hal itu (sesuatu yang sebelumnya belum jelas) hingga dia meninggalkannya.[7]

Ibnu Babawaih al-Qummi dalam kitabnya at-Tauhid malah mengutip perkataan Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) AS. sebagai berikut:

عَنْ مَنْصُوْر بن حَازِمْ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عليه السّلام: هَلْ يَكُوْنُ الْيَوْمَ شَيْءٌ لَمْ يَكُنْ فِيْ عِلْمِ اللهِ تَعَالَى بِالْأَمْسِ؟ قَالَ: لَا، مَنْ قَالَ هَذَا فَأَخْزَاهُ اللهُ، قُلْتُ: أَرَأَيْتَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَلَيْسَ فِيْ عِلْمِ اللهَ؟ قَالَ: بَلىَ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ.

Dari Manshur bin Hazim, dia berkata: “Aku bertanya pada Abu Abdillah AS, apakah ada pada hari ini sesuatu yang belum diketahui oleh Allah kemarin? Beliau menjawab: “Tidak ada, siapa pun yang mengatakan ini, mudah-mudahan Allah SWT. menghinakannya. Aku bertanya lagi “Bagaimana pendapatmu, bukankah semua yang terjadi dan yang akan terjadi sudah diketahui oleh Allah SWT?. Beliau menjawab: “Benar, (bahkan) sebelum menjadikan makhluq.[8]

Dalam riwayat ini jelas Imam Ja’far ash-Shadiq menolak bada’. Beliau menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT. tidak mungkin belum mengetahui segala hal yang akan diperbuat-Nya. Namun, apakah tidak mungkin riwayat semacam ini hanya dibuat-buat untuk menutup-nutupi akidah Syiah yang sebenarnya, sebagaimana yang sering mereka lakukan dengan alasan taqiyyah? Walhasil, riwayat ini bertentangan dengan riwayat al-Kulaini sendiri, padahal dia juga meriwayatkan hadis di atas dalam al-Kafi-nya. Lalu riwayat manakah yang benar?[9] Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga.

 

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

[1] Lihat, At-Tauhid, hlm. 335.

[2] Al-Ghaibah, hlm. 55.

[3] Ad-Dinu wa Islam, hlm. 173.

[4] Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 327.

[5] Lihat, Talkhis al-Mufasshal, hlm. 250.

[6] Lihat, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1139-1140, al-Qummi, Al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 78, dan an-Nubakhti, Firaq asy-Syi’ah, hlm. 64.

[7] Lihat, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1140, al-Qummi, Al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 78, dan an-Nubakhti, Firaq asy-Syi’ah, hlm. 64-65.

[8] Lihat, at-Tauhid, hlm. 334, dan Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 148.

[9] Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1150.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}