Preloader logo

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-22)

 

Selain imamah, ‘ishmah imam, dan Mahdiyyah, yang telah dikupas tuntas pada beberapa edisi sebelumnya, Syiah meyakini doktrin lain sebagai ajaran mereka yang disebut Raj’ah (inkarnasi) [1].

 

Raj’ah

raj’ah adalah salah satu pokok ajaran Syiah. Syiah Imamiyah sepakat meyakini doktrin ini sebagai salah satu ajaran mereka.[2] Dalam Syiah, raj’ah merupakan kelanjutan dan episode kehadiran al-Mahdi, di mana menurut keyakinan mereka, semua Imam Ahlul Bait dan orang-orang yang memusuhinya pasca kedatangan al-Mahdi akan dibangkitkan kembali dari kematian, mereka akan berhadap-hadapan dalam suatu medan pertempuran.

Pada saat itu, konon Allah SWT. akan memberi kesempatan kepada Ahlul Bait dan pengikutnya untuk membalas dendam kepada orang-orang yang selama ini tidak menyukai ajaran Syiah. Mereka akan membunuh Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah berikut para sahabat Nabi yang lain radhiyallahu ‘anhum, yang dianggap telah merampas kursi khilafah yang seharusnya dipegang oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Digambarkan oleh Syiah, bahwa dalam pertempuran itu Imam Ali AS. akan menjadi pimpinan Ahlul Bait dengan didukung oleh orang-orang Syiah yang lain. Tidak hanya orang Syiah yang akan membela Imam Ali AS. waktu itu, namun juga para Nabi dan Rasul akan ikut berperang di bawah bendera Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.. Dalam kitab tafsir Syiah yang otoritatif, Tafsir al-Ayasi, dijelaskan:

لاَ يَبْعَثُ اللهُ نَبِيّاً وَ لاَ رَسُلاً إِلَّا رَدَّ إِلَى الدُّنْيَا مِنْ آدَمَ فَهَلُمَّ جَرَا حَتَّى يُقَاتِلَ بَيْنَ يَدَيْ عَلِيِّ ابْنِ أَبِيْ طَالِبٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Tidaklah Allah SWT. mengutus seorang nabi maupun rasul, kecuali ia akan dikembalikan (oleh Allah) ke alam dunia mulai dari Nabi Adam dan seterusnya sehingga berperang di hadapan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu.[3]

Raj’ah yang dikehendaki oleh Syiah di sini bukanlah kebangkitan dari kubur pada hari kiamat, sebagaimana keyakinan kaum Muslim pada umumnya, namun raj’ah versi Syiah ini adalah kebangkitan dari alam kubur ke alam dunia, untuk melaksanakan prosesi balas dendam. Kemudian mereka yang telah dibangunkan akan mati kembali, dan setelah itu hari kiamat akan tiba.

Jadi, anggapan sementara kalangan yang mengira bahwa raj’ah (inkarnasi) ala Syiah, secara substansial sama dengan kebangkitan kembali dari alam kubur versi umat Islam dan umat Islam non-Syiah, adalah anggapan yang salah. Maka dari itu, di sini perlu diketengahkan, bagaimana sebenarnya pemahaman Syiah mengenai raj’ah (kehidupan kembali di alam dunia setelah kematian). Mengenai hal ini, Ibnu Babawaih al-Qummi meriwayatkan hadits yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS.. Katanya, beliau mengatakan:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُؤْمِنُ بِكَرَّتِنَا – رَجْعَتِنَا – وَيَسْتَحِلَّ مُتْعَتَنَا

Bukan dari golongan kami orang yang tidak percaya pada adanya raj’ah dan tidak menghalalkan mut’ah.[4]

Senada dengan pernyataan Ibnu Babawaih al-Qummi barusan, dalam kitab Hayat al-Qulub, al-Majlisi mengatakan:

وَيَرْجِعُ لِلدُّنْيَا يَوْمَ ظُهُوْرِ حَضْرَةِ الْقَائِمِ عليه السلام مَنْ مَحَضَ الْإِيْمَانَ مَحْضاً أَوْ مَحَضَ الْكُفْرَ مَحْضاً، فَيَرْجِعُ أَعْدَاؤُهُ لِيَنْتَقِمَ مِنْهُمْ فِي هَذَا الْعَالِمِ وَيُشَاهِدُوْنَ مِنْ ظُهُوْرِ كَلِمَةِ الْحَقِّ وَعُلُوِّ كَلِمَةِ أَهْلِ الْبَيْتِ مَا أَنْكَرُوْهُ عَلَيْهِمْ، فَتَكُوْنُ رَجْعَةُ الْكُفَّارِ لِيَنَالَهُمْ عِقَابٌ شَدِيْدٌ.

Setelah tampaknya Imam Mahdi, maka orang yang memurnikan imannya dan orang yang memurnikan kafirnya akan dikembalikan (dihidupkan) ke alam dunia, musuh-musuh al-Mahdi akan hidup kembali supaya al-Mahdi dapat membalas dendam kepada mereka di alam ini, agar mereka menyaksikan kebenaran Ahlul bait yang dahulu mereka ingkari. Maka, tujuan dibangkitkannya orang kafir adalah agar mereka merasakan siksa yang pedih.[5]

Dalam dunia Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, raj’ah merupakan salah satu akidah yang disepakati eksistensi dan urgensitasnya. Hal ini antara lain dinyatakan secara tegas oleh Syarif al-Murtadha, seorang ulama Syiah yang digelari Alam al-Huda dikalangan pengikutnya. Ketika menjawab pertanyaan seputar raj’ah, Syarif al-Murtadha mengatakan:

بِأَنَّ الَّذِيْ تَذْهَبُ إِلَيْهِ الشِّيْعَةُ الْإِمَامِيَةُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُعِيْدُ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْمَهْدِيْ قَوْماً مِمَّنْ تَقَدَّمَ مَوْتُهُ مِنْ شِيْعَتِهِ وَقَوْماً مِنْ أَعْدَائِهِ.

Sesungguhnya Syiah Imamiyah menyepakati bahwa setelah kedatangan al-Mahdi, Allah SWT. akan menghidupkan kembali pendukung dan musuh-musuh al-Mahdi yang telah mati.[6]

Ungkapan senada juga diucapkan oleh Imamu Mutakallimi asy-syi’ah wa Fuqaha’iha (pemuka pakar teologi dan ahli fikih Syiah), Muhammad bin an-Nu’man al-Mufid, sebagai berikut:

اِتَّفَقَتْ الْإِمَامِيَةُ عَلَى وُجُوْبِ رَجْعَةِ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَمْوَاتِ إِلَى الدُّنْيَا قَبْلَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Syiah Imamiyah sepakat mewajibkan (keyakinan) bahwa sebelum hari kiamat, banyak orang-orang yang mati akan hidup kembali ke dunia.[7]

Ibnu Babawaih al-Qummi, pemuka pakar hadits Syiah (Ra’isu Muhaddits as-Syi’ah), atau yang biasa disebut sebagai ash-Shaduq (yang terpercaya) di kalangan Syiah, juga meluncurkan pernyataan senada:

اِعْتِقَادُنَا يَعْنِي مَعْشَرَ الْإِمَامِيَةِ فِي الرَّجْعَةِ أَنَّهَا حَقٌّ.

Keyakinan kita, yakni golongan Syiah Imamiyah, bahwa keyakinan akan raj’ah merupakan keyakinan yang haq.[8]

Lebih lanjut, al-Majlisi dalam karya besarnya, Bihar al-Anwar, juga memberikan penegasan yang serupa. Setelah menyebutkan hadits-hadits tentang raj’ah, ia menyatakan sebagai berikut:

اِعْلَمْ يَا أَخِيْ أَنِّي لَا أَظُنُّ أَنَّكَ قَدْ تَرْتَابُ بَعْدَ مَا مَهَّدْتُ وَأَوْضَحْتُ لَكَ بِالْقَوْلِ فِي الرَّجْعَةِ الَّتِيْ أَجْمَعَتْ عَلَيْهِ الشِّيْعَةُ فِي جَمِيْعِ الْأَعْصَارِ وَاشْتَهَرَتْ بَيْنَهُمْ كَالشَّمْسِ فِي رَابِعَاتِ النَّهَارِ.. وَكَيْفَ يَشُكُّ مُؤْمِنٌ بِأَحْقِيَةِ الْأَئِمَّةِ الْأَطْهَارِ فِيْمَا تَوَاتَرَتْ عَنْهُمْ مِنْ مِائَتَيْ حَدِيْثٍ رَوَاهَا نَيْفٌ وَأَرْبَعُوْنَ مِنَ الثِّقَاتِ الْعِظَامِ وَالْعُلَمَاءِ الْأَعْلَامِ فِي أَزْيَدَ مِنْ خَمْسِيْنَ مِنْ مُؤَلَّفَاتِهِمْ.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa aku kira kau tidak akan ragu-ragu setelah ku jelaskan panjang lebar tentang raj’ah yang telah disepakati oleh Syiah dalam setiap kurun, dan sangat jelas sejelas sinar matahari di seperempat siang. . . Bagaimana mungkin seorang mukmin ragu-ragu akan berhaknya para Imam suci (atas anugerah ini), yang diabadikan dalam dua ratus hadits, diriwayatkan oleh empat puluh lebih ulama besar terpercaya, dan ditulis di lima puluh lebih karangan mereka.[9]

Dari pemaparan di atas, agaknya cukup jelas bagaimanakah yang sebetulnya pandangan Syiah terhadap akidah raj’ah, baik berkenaan dengan wujud nyata atau proses kejadiannya kelak, kepercayaan sekaligus kesepakatan mereka terhadap doktrin tersebut. Karena itulah, maka perlu dimaklumi jika kemudian Syiah amat kesulitan untuk menyembunyikan keyakinan yang ganjil ini, baik dengan taqiyyah atau yang lain. Akhirnya, Syiah mencari jalan keluar, bagaimana sekira doktrin raj’ah dalam Syiah tidak terkesan demikian ekstrem dan mengerikan. Hal ini mereka tempuh dengan melakukan penafsiran ulang terhadap raj’ah, dengan menjauh dari dan bahkan bertolak belakang dengan penafsiran dan pendefinisian raj’ah yang telah paten dan dipatok baku oleh para ulama Syiah, sebagaimana kami kemukakan di atas.

Dr. Quraish Shihab termasuk salah satu di antara penulis yang berupaya memberikan ‘arti baru’ bagi raj’ah. Hal tersebut beliau tempuh dengan cara berupaya mempopulerkan arti raj’ah pinggiran yang dimunculkan oleh segelintir orang-orang Syiah, dan berusaha mengecilkan suara mayoritas dan kesepakatan para ulama Syiah akan arti, maksud dan tujuan dari akidah raj’ah yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Dr. Quraish Shihab menulis:

Perlu dicatat bahwa kendati ulama-ulama Syiah memahami ayat-ayat dari riwayat-riwayat yang berbicara tentang akan adanya orang-orang tertentu yang akan dihidupkan Allah SWT. di pentas bumi ini setelah kematian mereka, namun tidak semua penganut aliran tersebut memahaminya dalam arti kehidupan sosok-sosok tertentu setelah kematian mereka. Ath-Thabarsi juga menulis setelah uraiannya yang penulis kutip sebelum ini, bahwa: “Ada sekelompok dari penganut Imamiyah yang mentakwilkan apa yang diriwayatkan dari berita-berita dalam arti kembalinya kekuasaan Negara, wewenang memerintah dan mencegah bukan kembalinya sosok manusia dan kehidupan setelah kematian.”[10]

Syekh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ juga mengisyaratkan hal serupa. Dia menulis dalam menampik kecaman sementara orang menyangkut kepercayaan raj’ah. Bahwa “Apakah orang yang menggebu-gebu tanpa kontrol menyerang Syiah berkaitan dengan persoalan raj’ah – dahulu dan sekarang – apakah mereka mengetahui makna raj’ah bagi siapa yang berpendapat demikian dari kelompok Syiah?[11]

Komentar ulama besar Syiah di atas yang menyatakan bahwa ‘bagi siapa yang berpendapat demikian dari kelompok Syiah” mengisyaratkan bahwa ada orang di kalangan Syiah pun yang tidak berpendapat demikian.[12]

Mengamati kata demi kata dari tulisan Dr. Quraish Shihab ini, akan sangat tampak pada kita bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab sendiri tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa raj’ah, dengan arti yang telah disepakati oleh umat Syiah, memang menjadi keyakinan mereka secara umum. Sementara sagilintir pendapat yang dikutip oleh Dr. Quraish Shihab tetaplah tidak dapat mewakili arti doktrin raj’ah yang diyakini dengan sepenuh hati oleh para pengikut Syiah.

Setelah diuraikan secara jelas, bagaimana sebenarnya keyakinan dan komitmen Syiah terhadap doktrin raj’ah, maka selanjutnya perlu dipaparkan pula, bagaimanakah proses raj’ah menurut keyakinan Syiah itu tejadi. Rupanya, literature-literatur Syiah yang memaparkan tentang proses terjadinya raj’ah ini, semakin memperkukuh pernyataan semula,bahwa raj’ah versi Syiah memang punya arti dan kepentingan tersendiri, yang sejalan dengan doktrin-doktrin mereka yang lain. Mengenai hal ini antara lain dinyatakan sebagai berikut:

إِذَا آنَ قِيَامُ الْقَائِمِ وَمُطِرَ النَّاسُ فِي جُمَادِى الْآخِرَةِ وَعَشْرَةِ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ مَطَرًا لَمْ يَرَ النَّاسُ مِثْلَهُ ,فَيُنْبِتُ اللهُ بِهِ لُحُوْمَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي أَبْدَانِهِمْ فِي قُبُوْرِهِمْ ,فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ مِنْ قَبْلِ جُهَيْنَةَ يَنْفَضُّوْنَ رُؤُوْسَهُمْ مِنَ التُّرَابِ.

Bila telah tiba saatnya al-Mahdi keluar dari kegaibannya, dan turun hujan yang tak pernah ada hujan seperti itu sebelumnya pada bulan Jumadal akhirah serta sepuluh hari di bulan Rajab, maka Allah SWT. akan mengembalikan lagi daging-daging orang mukmin ke dalam tubuh mereka di alam kubur. Seakan-akan aku melihat mereka datang dari Juhainah, sambil membersihkan abu dari kepala mereka.[13]

Sementara itu, penjelasan proses terjadinya raj’ah dalam kitab al-Anwar an-Nu’maniyah diilustrasikan sebagai berikut:

إِنَّ الْحُسَيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَرْجِعُ إِلَى الدُّنْيَا مَعَ خَمْسَةٍ وَسَبْعِيْنَ أَلْفاً مِنَ الرِّجَالِ.

Sesungguhnya Imam al-Husain akan kembali lagi ke dunia bersama 75.000 (tujuh puluh lima ribu) laki-laki.[14]

Selanjutnya, al-Jaza’iri mengutip riwayat yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq AS.. Konon, beliau berkata sebagai berikut:

إِنَّ أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَرْجِعُ مَعَ ابْنِهِ الْحُسَيْنِ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَجْعَةً، وَتَرْجِعُ مَعَهُ بَنُوْ أُمَيَّةَ، مُعَاوِيَةُ وَآلُ مُعَاوِيَةَ، وَكُلُّ مَنْ قَاتَلَهُ، فَيُعَذِّبُهُمْ بِالْقَتْلِ وَغَيْرِهِ، وَيُرْجِعُ اللهُ مِنْ أَهْلِ الْكُوْفَةِ ثَلَاثِيْنَ أَلْفاً، وَمِنْ سَائِرِ النَّاسِ سَبْعِيْنَ أَلْفاً، وَيَتَلَاقُوْنَ فِي الْحَرْبِ مَعَ مُعَاوِيَةَ فِي ذَلِكَ الْمَكَانِ، ثُمَّ يُحْيِيْهِمُ اللهُ سُبْحَانَهُ مَرَّةً فَيُعَذِّبُهُمْ مَعَ فِرْعَوْنَ وَآلِ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَابِ، ثُمَّ يَرْجِعُ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَرَّةً أُخْرَى مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَجَمِيْعِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ.

Sesungguhnya Amirul Mukmini AS. Akan kembali (ke dunia) bersama putranya, Imam Husain AS.. Bani Umayyah, Muawiyah, keluarga Muawiyah sera semua orang-orang yang yang telah memeranginya juga akan kembali ke dunia bersama Imam Ali AS., maka beliau akan menyiksa mereka dengan pembantaian dan (bentuk penyiksaan) yang lain. Allah SWT. akan mengembalikan 30 ribu dari penduduk Kufah serta 70 ribu dari Negara lain, kemudian mereka berhadap-hadapan dengan Muawiyah di medan perang, kemudian Allah SWT akan menghidupka mereka lagi (Muawiyah cs), lau menempatkan mereka bersama Fir’aun dan penduduknya dalam siksa yang sangat pedih. Allah SWT juga akan menghidupkan Amirul Mukminin AS. sekali lagi bersama dengan Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi ‘alaihim as-salam”.[15]

Dari sini, kita telah melihat gambaran yang cukup transparan mengenai doktrin Syiah yang satu ini. Karena itu dapatlah kita simpulkan, bahwa al-Mahdi dan raj’ah merupakan satu paket doktrin untuk diputar dalam satu episode drama Syiah. Al-Mahdi dan raj’ah merupakan setting narasi yang meggambarkan dendam kesumat orang-orang Syiah yang terpendam selama ribuan tahun terhadap ‘musuh-musuh’ mereka. Dalam status mereka sebagai kelompok minoritas dan minim dukungan, mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan isi hati mereka yang sedang membara, hingga bertakhayyul untuk bisa melumat para musuh dengan mengarang cerita fiktif al-Mahdi al-Muntadzar. Dari balik skenario ini, Syiah melakukan indoktrinasi terhadap para pengikut mereka, agar selalu tabah dan tidak beranjak dari keyakinan semula. Cerita fiktif al-mahdi dan raj’ah menjanjikan kemenangan akhir dan happy ending bagi Syiah.

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

[1] Inkarnasi berarti penjelmaan roh dalam wujud makhluk lain (terutama manusia).

[2] Al-Mufid, Awa’il al-Maqalat, hlm. 51.

[3] Lihat, Tafsir al-Ayasi, juz 1 hlm. 281 dan ar-Radd al-Kafi, hlm. 170.

[4] Ibnu Babawaih al-Qummi, Man la Yahdhuru al-Faqih, juz 3 hlm. 458, dan Tafsir ash-Shafi li al-Kasyani, juz 1 hlm. 347.

[5] Al-Majlisi, Hayatu al-Qulub, juz 3 hlm. 303.

[6] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, juz 1 hlm. 132, percetakan Damaskus.

[7] Lihat, Awa’il al-Maqalat, hlm. 52.

[8] Lihat, Al-Huj’ah, hlm. 39-40.

[9] Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 225.

[10] Majma’ al-Bayan, juz 4 hlm. 234 (dikutip oleh Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!Mungkinkah?)), hlm.196.

[11] Muhammad Husain Ali Kasyif al-Ghitha’, Ashlu asy-Syi’ah waa Ushuliha, hlm. 100. (dikutip oleh Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 197).

[12] Dr. Quraish Shihab dalam Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!Mungkinkah?, hlm. 197.

[13] Lihat, Al-Irsyad li al-Mufid, hlm. 363; ath-Thabrisi, I’lam al-Wara, hlm. 462; al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 223 dan ash-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hlm. 251.

[14] Lihat, Al-Irsyad li al-Mufid, hlm.363; ath-Thabrisi, I’lam al-Wara, hlm. 462; al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 13 hlm. 223 dan ash-Shirath al-Mustaqim, juz 2 hlm. 251.

[15] Ibid, hlm. 103.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}