Preloader logo

MENGEPALKAN KEDUA TANGAN KETIKA AKAN BERDIRI (Bagian ke-4/Tamat)

Status Hadis ‘Ajin versi Ibnu Umar

عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.

Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah saw. melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi (w. 285 H) dan at-Thabrani (w. 360 H), dan redaksi di atas versi al-Harbi.

“Bank data” sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa jalur periwayatan Abu Ishaq al-Harbi dan ath-Thabrani bersanad tunggal, karena semuanya melalui al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Dengan demikian, hadis Ibnu Umar ini disebut gharib atau fard mutlaq (benar-benar bersanad tunggal).

 

B.2. Pihak yang menolak kehujahan hadis itu

Pada edisi sebelumnya, telah disampaikan argumentasi dan metodologi Syekh al-Albani dalam menerima kehujahan hadis Ibnu Umar di atas. Pada edisi ini akan ditampilkan argumentasi dan metodologi para ulama yang bersikap sebaliknya.

 

Hadis di atas dipandang dha’if karena rawi al-Haitsam

Para ulama berbeda pendapat mengenai identitas al-Haitsam, periwayat hadis ini. Ada yang berpendapat al-Haitsam di sini adalah Ibnu ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, sebagaimana dalam riwayat al-Bazzar yang telah disebutkan sebelumnya. Ada pula yang berpendapat bahwa al-Haitsam itu tanpa nasab (tidak jelas bin siapa). Namun, Syekh al-Albani beranggapan bahwa al-Haitsam itu adalah al-Haitsami bin ‘Imran. Namun, baik rawi itu al-Haitsam bin ‘Imran atau al-Haitsam bin ‘Alqamah tampaknya tidak dapat menyelamatkan hadis ini dari kedha’ifan karena keduanya sama saja tidak dikenal.

Sehubungan dengan itu, dalam menyikapi perkataan Imam ath-Thabrani:

لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ الأَزْرَقِ إِلا الْهَيْثَمُ ، تَفَرَّدَ بِهِ : يُونُسُ بن بُكَيْرٍ

Tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan hadis itu.” [1]

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

وَالْهَيْثَمُ هَذَا غَيْرُ مَعْرُوفٍ

Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.” [2]

Adapun tentang pernyataan Syekh al-Albani:

فقوله في الإسناد : الهيثم بن علقمة بن قيس بن ثعلبة يكون من أوهامه إن كان محفوظا عنه ، و الصواب قول الحربي : الهيثم عن عطية بن قيس. و الهيثم هذا هو ابن عمران الدمشقي ، وثقه ابن حبان ، و قد روى عنه جمع من الثقات

Maka perkataanya (ath-Thabrani) dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Da telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hiban. Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.” [3]

Perlu mendapatkan catatan sebagai berikut:

Pertama, dengan merujuk kepada riwayat al-Harabiy, Syekh al-Albani menduga bahwa al-Haitsam yang dimaksud adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Padahal dengan jelas Imam ath-Thabarani menyebutkan secara lengkap nama dan nasabnya: dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Karena itu, kami cenderung kepada pendapat Ibnu Rajab al-Hanbali: “Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.”

Kedua, karena Syekh al-Albani menduga bahwa al-Haitsam itu bin Imran ad-Dimasyqi, maka beliau menyatakan bahwa al-Haitsam bin Imran telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hiban.

Sejauh pengetahuan kami, Ibnu Hiban mencantumkan Al-Haitsam bin Imran dalam kitabnya ats-Tsiqat, namun tidak menyebutkan tsiqah terhadapnya. Keterangan Ibnu Hiban selengkapnya sebagai berikut:

 الهيثم بن عمران العبسي من أهل دمشق يروى عن عطية بن قيس روى عنه الهيثم بن خارجة حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا الهيثم بن عمران قال رأيت عطية بن قيس الكلابي يصلى على مرفقة محشوة بالريش جالسا متربعا

“Al-Haitsam bin Imran al-‘Absiy termasuk penduduk Damaskus. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Athiyyah bin Qais. Diriwayatkan darinya oleh al-Haitsam bin Kharijah. Al-Haitsam bin Kharijah telah menceritakan kepada kami, al-Haitsam bin Imran telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Saya melihat Athiyyah bin Qais al-Kilabiy shalat sambil duduk bersila di atas bantal berisi bulu burung.”[4]

Di sini perlu kami terangkan, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Syekh al-Albani, bahwa rawi yang disebut pada kitab at-Tsiqat itu tidak semuanya tsiqah (kredibel) menurut Ibnu Hiban. Sebab rawi yang dimuat oleh Ibnu Hiban pada kitabnya itu terbagi kepada dua kelompok: Pertama, hanya diterangkan oleh Ibnu Hiban sendirian. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Kedua, diterangkan oleh Ibnu Hiban dan lainnya. Kelompok kedua terbagi kepada dua macam:

  • Diterangkan jarh dan ta’dil (evaluasi positif dan negatif)nya oleh Ibnu Hiban. Jumlahnya mendekati 3.000 orang.
  • Tidak dikomentari oleh Ibnu Hiban. Jumlahnya lebih dari 10.000 orang. Di antara mereka sebenarnya ada yang tsiqah, shaduq, majhul (tidak dikenal pribadinya), majhul hal (tidak dikenal identitasnya), dha’if, dan munkarul hadits (hadisnya diingkari) menurut para ahli hadis lainnya. Al-Haitsam bin Imran termasuk kelompok ini, yakni tidak dikomentari oleh Ibnu Hiban.

 

Ketiga, standar penilaian tsiqah versi Ibnu Hiban

Untuk menetapkan status rawi yang majhul (tidak dikenal), Ibnu Hiban memiliki kaidah atau standar tersendiri yang tidak sesuai dengan standar umum para ulama, yaitu dengan memperhatikan siapa guru atau muridnya. Apabila murid atau gurunya da’if, maka orang tersebut benar-benar majhul menurut Ibnu Hiban. Sedangkan apabila murid atau gurunya itu tsiqah, maka orang tersebut tidak majhul. Standar ini digunakan oleh Syekh al-Albani dalam menetapkan kesahihan beberapa hadis, begitu pula dalam menetapkan derajat hasan.

Padahal, standar ini tidak dapat digunakan secara mutlak dalam menilai kesahihan suatu hadis. Sehubungan dengan itu, Ibnu Hajar telah mengingatkan, “Pendapat Ibnu Hiban ini adalah pendapat yang mengherankan, berbeda dengan madzhab jumhur. Dan ini metode Ibnu Hiban pada kitab-nya at-Tsiqat. Dengan demikian, apabila terdapat keterangan bahwa seorang rawi watsaqahu ibnu hiban (dinilai kredibel oleh Ibnu Hiban) atau wadzakarahu ibnu hibban fii kitaabi at-tsiqat (diterangkan oleh Ibnu Hiban dalam kitabnya ats-tiqat)  itu menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dalam menilai rawi seperti itu, yakni Ibnu Hiban menerimanya sedangkan ulama lain menolaknya.” [5]

Untuk menyikapi keadaan ini, Dr. Adab Mahmud al-Hamsy (penyusun disertasi doktor tentang Ibnu Hiban dan Manhaj-nya) memberikan alternatif sebagai berikut: “Rawi yang seperti ini hendaklah dibandingkan dengan penilaian kitab-kitab jarh dan ta’dil lainnya. Apabila pada kitab tersebut kita temukan komentar/penilaian, yang kita pandang benar, maka kita ambil perkataan penyusun kitab tersebut. Namun apabila tidak didapat penilaian yang pasti, maka kita bandingkan antara kaidah para imam itu dengan kaidah Ibnu Hiban sendiri…”[6]

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka penilaian Ibnu Rajab bahwa al-Haitsam tidak dikenal lebih dapat diterima oleh kami dibandingkan dengan penilaian Syekh al-Albani yang merujuk standar versi Ibnu Hiban. Karena keadaan murid atau guru yang tsiqat (kredibel) tetap tidak memperjelas keadaan rawi yang majhul (tidak dikenal).

Berdasarkan argumentasi dan metedologi di atas, kami cenderung kepada sikap para ulama yang menilai hadis ‘ajin (bertumpu dengan kedua tangan dikepalkan) statusnya dha’if. Dengan demikian, cara bangkit setelah sujud kedua atau setelah duduk untuk berdiri melanjutkan rakaat shalat berikutnya adalah dengan bertumpu pada kedua lututnya, bukan pada lantai, kecuali dalam keadaan masyaqqah (berat/sulit).

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

[1] Lihat, Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902.

[2] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab, V: 148

[3] Lihat, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 6, hlm. 380.

[4] Lihat, At-Tsiqat, VII: 577, No. rawi 11.553.

[5] Lihat, Muqaddimah al-Majruhin, I:huruf lam.

[6] Lihat, Ruwatul Hadits al-Ladzina Sakata ‘Alaihim Aimmatul Jarhi wat Ta’dil Bainat Tautsiq wat Tajhil, hlm. 69-72.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}