Preloader logo

MENGENANG ULAMA PERSIS PEMBONGKAR KESESATAN CENDEKIAWAN

Ustadz Ahmad Husnan wafat, Rabu malam Kamis 16 Rabiā€™uts Tsani 1439/ 3 Januari 2018. Ustadz yang tinggal di Solo Jawa Tengah ini dikenal rajin membantah lontaran nyeleneh para tokoh yang mengusik Islam, bahkan menyesatkan dan merusak Islam.

Orang seperti Jalaluddin Rakhmat yang disebut mengkritik Hadits tanpa ilmu oleh Ahmad Husnan, seharusnya sejak 1985-an telah malu karena diblejeti (ditelanjangi) lewat buku. Demikian pula Munawir Sjadzali menteri agama yang menganggap ayat 11 Surat An-Nisaā€™ tentang warisan anak lelaki dua kali bagian anak perempuan dianggap tidak adil. Itu dibabat lewat buku pula. Sebagaimana Nurcholish Madjid yang menerjemahkan LAA ILAAHA ILLALLAH menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) pun dibabat lewat buku.

Itulah ustadz Ahmad Husnan yang buku-bukunya dengan tema-tema berat seperti:Ā Ā Bahaya De Islamisasi, Kritik Hadits Cendekiawan Dijawab Santri, Keputusan Al-Qurā€˜an Digugat, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan belasan lainnya.

Pentolan calon syiah (dulu belum mengaku syiah) Jalaluddin Rakhmat menggugat-gugat hadits riwayat Muslim tentang kalian lebih tahu mengenai urusan dunia kalian. Hadits shahih itu dianggap oleh Jalaluddin Rakhmat, kalau dipakai, berarti justru menyebarkan sekulerisme. Maka dibabatlah pendapat ngawur Jalaluddin Rakhmat itu dengan bukuĀ Ā Kritik Hadits Cendekiawan Dijawab Santri;Ā yang membuktikan kritik Jalaluddin Rakhmat itu tidak dilandasi ilmu.

Berikut ini kesan dari salah seorang santri didikan Ustadz Ahmad Husnan. Silakan simak baik-baik.

***

Selamat Jalan Ustadz Ahmad Husnan

Ulama yang terkenal dengan buku-bukunya yang mengkritik paham sekuler liberal pada Rabu kemarin (3/1) meninggal dunia.

Wartapilihan.com, Jakarta ā€“-Madinah sedang direngkuh senja, saat duka itu tiba. Hembusan angin jazirah yang sangat dingin, tetiba menghangat tersebab rasa sedih dan penyesalan di dada. Menyesal karena pada libur musim panas kemarin, rencana untuk menjenguknya tak jadi terlaksana.

Teringat kurang lebih 13 tahun yang lalu, pertama kali saya sowan ke rumahnya yang sederhana, di sebuah gang buntu, barat komplek Darul Hijrah, kampung Ngruki. Terasa betul ketawadhuā€™an dan kezuhudan ulama yang juga penulis ini.

Siang itu, saya yang masih santri belia kelas 3 Aliyah memberanikan diri untuk meminta tazkiyah (surat rekomendasi) darinya, yang menjadi syarat utama untuk bisa melanjutkan studi ke Universitas Islam Madinah.

Ustadz yang terkenal ā€œgarangā€ dalam membantah paham sekuler dan liberal itu, menyambut saya dengan sangat ramah. Apalagi setelah mengetahui maksud kedatangan saya. Sambil menulis dengan mesin ketik tuanya, ia pun menceritakan beberapa kejadian lucu ketika kuliah di Madinah, yang saat itu rektornya adalah Syekh Abdullah bin Baaz.

Meski usianya sudah senja, masih terlihat sorot tajam dari matanya yang menunjukkan kecerdasan berpikir dan ketegasan bersikap. Itu juga yang terbaca dari buku-bukunya yang sering mengangkat tema-tema berat seperti:Ā Ā Bahaya De Islamisasi, Kritik Hadits Cendekiawan Dijawab Santri, Keputusan Al-Qurā€˜an Digugat, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan belasan lainnya.

Sesuai yang tertulis di biografinya, Ustadz Ahmad Husnan dilahirkan pada tahun 1940 di desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Ia adalah anak keempat dari pasangan Iman Kurmen dan Saudah. Ia belajar Al-Qurā€™an dari sang ayah pada malam hari, sekolah di SD Negeri pada pagi hari dan Madrasah Ibtidaiyah pada sore hari.

Setelah itu ia melanjutkan sekolah di PGA Negeri Solo. Lalu merantau ke Sumatera dan sekolah di PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan, Tapanuli. Ia juga merupakan alumni Muā€™allimin Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat.

Ustadz yang bersuara lantang ini, juga pernah menimba ilmu langsung dari A Hasan di Pesantren Persatuan Islam Bangil tahun 1962. Hingga kemudian diutus oleh Mohammad Natsir untuk kuliah di Universitas Islam Madinah dan lulus tahun 1973. Beliau juga sempat kuliah di Kairo pada tahun 1974.

Semangat perjuangan memang sudah tertanam pada jiwanya sejak kecil. Pada umur 12 tahun ia telah keluar masuk penjara di Delanggu, Klaten, dan Solo karena dituduh terlibat dalam peristiwa 426.

Dari situ ia melanjutkan perjuangan di Sumatera bersama Syafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, dan Muhammad Natsir. Tahun 1959 ia menjadi pengurus Dewan Pemuda Indonesia yang berpusat di Bukittinggi. Lalu tahun 1970 menjadi Ketua Penerangan PPI Komisariat Madinah.

Selesai studi di Madinah dan Kairo, ia langsung diminta memimpin DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Jawa Tengah, sekaligus menjadi Daā€™i Rabithah ā€˜Alam Islamy. Ia juga mengajar di beberapa majlis taklim dan menjadi pengasuh di Pesantren Islam Al-Mukmin. Selain itu, ia juga turut membidani lahirnya Yayasan dan Pesantren Tahfizhul Qurā€™an Isykarima, Karanganyar.

Di samping berdakwah, Ustadz Ahmad Husnan juga produktif menulis. Lebih dari 24 buku yang telah ia hasilkan. Tulisan-tulisannya terfokus pada dua bagian: yaitu untuk mendalami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qurā€™an dan As-Sunnah, serta untuk meluruskan atau menanggapi berbagai penyimpangan pemikiran yang dinilai berbahaya dan sesat.

Setelah diterima kuliah di Madinah, saya berkesempatan menjenguknya kembali. Saat itu sakitnya semakin parah. Penglihatannya pun sudah tidak berfungsi normal. Namun dari atas pembaringan, suaranya masih terdengar tegas menguntai nasehat. Bahkan ia masih aktif berkarya, baik dengan tulisan tangan, atau dengan dikte lisan, yang kemudian anak dan menantunya lah yang mengetikkan.

Dan kini ia telah pergi melanjutkan perjalanan, terbebas dari dunia yang penuh kefanaan. Meninggalkan ribuan murid yang siap meneruskan risalah perjuangan. Pun berpuluh karya pena yang menjadi lentera dalam sesatnya pemikiran. Selamat jalan Ustadz Ahmad Husnanā€¦

Hakimuddin Salim/Izzadina

sigabah.com | nahimunkar.org

There is 1 comment
  1. ririn nurhayati

    Innaalillaahi wa innaa ilahi rooji’uun

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}