Preloader logo

MEMPERINGATI MILAD, MAWLID, ULANG TAHUN, DAN NATAL

Asal Mula Peringatan Suatu Peristiwa

Hadis berikut menjelaskan asal muasal dan salah satu kelompok masyarakat penggagas suatu peristiwa penting untuk diperingati

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا قَالَ أَيُّ آيَةٍ قَالَ (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا) قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ

– رواه البخاري –

 Dari Umar bin Khatab, sesungguhnya seseorang dari kaum Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul mukminin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian biasa membacanya. Sekiranya ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, niscaya kami jadikan hari turunnya itu sebagai ‘Ied” Umar bertanya, “Ayat yang mana” Dia menjawab, “Al-Yauma akmaltu lakum…(QS.Al-Maidah:3)” Umar menjawab, “Kami tahu hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Nabi, yaitu ketika beliau wukuf di Arafah pada hari Jum’at.” HR. Al-Bukhari

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

قَوْلُهُ: لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا أَيْ: لَعَظَّمْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَجَعَلْنَاهُ عِيدًا لَنَا فِي كُلّ سَنَة لِعِظَمِ مَا حَصَلَ فِيهِ مِنْ إِكْمَال الدِّين

Perkataan orang Yahudi: “Niscaya kami jadikan hari turunnya itu sebagai ‘Ied” yaitu niscaya kami agungkan hari itu dan kami jadikan sebagai hari raya bagi kami pada setiap tahun, karena keagungan peristiwa yang terjadi padanya, yaitu penyempurnaan agama.” [1]

Pengertian Ied

Dari hadis itu terungkap salah satu penyebutan nama untuk memperingati suatu peristiwa secara berulang yaitu Ied.

Kata ‘ied, secara bahasa, terambil dari akar kata عَوْدٌ yang berarti الُرُّجُوعُ (kembali), yakni kembali ke tempat atau keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang kembali pada mulanya berada pada suatu kedaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali ke tempat atau keadaan semula. [2]

Imam Ibnul ‘Arabi berkata:

سُمِّيَ الْعِيْدُ عِيْدًا لأَنَّهُ يَعُوْدُ كُلَّ سَنَةٍ بِفَرَحٍ مُجَدَّدٍ

“‘Ied (hari raya) dinamakan ‘Ied karena kembali pada setiap tahun dengan kegembiraan yang diperbaharui.” [3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وَالْعِيْدُ: فِعْلٌ مِنَ الْعَوْدِ وَإِنَّمَا سُمِّيَ بِهِ لِأَنَّهُ يَعُوْدُ فِي كُلِّ عَامٍ

“Kata ‘Ied adalah fi’il dari kata ‘Awd, dan dinamakan dengan ied karena kembali pada setiap tahun.” [4]

Dari berbagai penjelasan para ulama dapat disimpulkan bahwa istilah ‘ied dipergunakan sebagai sebutan bagi setiap hari yang di situ terdapat kegembiraan (hari raya). Di dalam Al-Quran dinyatakan:

قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنْ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا

“Isa putra Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami’.” (QS. Al-Maidah: 114).”

Sejarah Peringatan Ied Mawlid

Pada mulanya, istilah Mawlid dipergunakan bagi peringatan dan perayaan hari-jadi seseorang yang dianggap suci, laki-laki atau perempuan, muslim, Kristen, atau Yahudi, yang sudah meninggal. Namun istilah ini kemudian populer dipergunakan bagi kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan Mawlid Nabi Muhamad saw. pertama kali dilakukan pada zaman Fathimiyyah (dinasti yang didirikan pada 920 M) yang bermadzhab Syi’ah.

Di kalangan sebagian muslim, istilah yang dipergunakan untuk perayaan itu sangat beragam. Di Mesir acara ini disebut Mawlid. Di Tunisia, istilah yang dipakai adalah zardah, sedangkan di negara Arab lainnya digunakan istilah mausim. Di Sudan disebut huliyyah. Hanya istilah huliyyah ini dipergunakan dalam rangka memperingati ulang tahun kematian, dan bukan ulang tahun kelahiran mereka, yaitu pendiri tarekat-tarekat sufi.

Kemudian dilihat dari aspek ketetapan waktu penyelenggaraan, cara atau bentuk upacara, ternyata perayaan dalam rangka memperingati “orang suci” itu pun sangat beragam. Banyak “Mawlid” bagi “orang-orang suci” ditetapkan pada hari-hari kelahiran mereka menurut kalender hijjriah. Namun tidak sedikit tanggal Mawlid ditetapkan menurut kalender syamsiah (masehi). Di samping itu, perayaan tersebut dapat berubah menurut kondisi-kondisi historis dan sosial. Seperti Mawlid Ahmad al-Badhawi di Mesir yang ditetapkan atas dasar keyakinan para pemujanya, bukan atas hari kelahiran yang sesungguhnya.

Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa fenomena Mawlid berakar dari tradisi-tradisi kuno, seperti yang berlangsung di Mesir, untuk menghormati dewa-dewa setiap tahun pada saat panen, sementara kuil-kuil menyusun berbagai prosesi serta perayaan yang rumit. Sebagian ahli sejarah lainnya merunut Mawlid dari pengaruh Pharisaisme (sebuah sekte Yahudi kuno) dan perayaan kaum Yahudi pada masa Yahudi awal serta masa Kristen awal. Sedangkan bentuk modern Mawlid berakar dari tradisi sufi dan atau syi’ah yang muncul dari kawasan Maghribi (Maroko) dan Mesopatamia dan berkembang di Mekkah yang identik dengan praktik-praktik serupa di kalangan masyarakat Kristen dan Yahudi di Timur Tengah. [5]

Pada perkembangan selanjutnya, di kalangan sebagian muslim perayaan hari-jadi itu bukan saja ditujukan untuk memperingati Nabi Muhamad dan “orang shaleh”, namun bagi berbagai peristiwa yang dianggap penting oleh masing-masing, seperti hari kelahiran dan kematian, berdirinya suatu golongan atau organisasi, hari kemenangan golongan, kemerdekaan dari penindasan golongan lain, dan sebagainya. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan itu pun menjadi beragam. Ada yang menyebut milad, dies natalies, ulang tahun, bahkan “syukuran”

Di kalangan Yahudi pun, istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa dan Bani Israil.

Diceritakan dalam “Asar-asar Yahudi” bahwa pada hari raya Paskah, imam-imam orang Aseni memimpin upacara. Mereka berdiri menghadap ke arah negeri Mesir mengenang arwah Bani Israil yang mati dalam penyiksaan Fir’aun. [6]

Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas mengatakan:

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هذَا قَالُوا هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ. – رواه البخاري و مسلم –

Dari Ibnu Abbas berkata, Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau medapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura. Mereka bertanya mengenai hal itu lalu mereka berkata, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, dan kami menshauminya sebagai penghormatan.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa daripada kamu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim

Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti:

  1. a) Memperingati kemenangan Yahudi atas bangsa Yunani pada 166-165 sM dengan menyalakan sembilan lilin dan api ungun yang disebut hari Hanukah,
  2. b) Memperingati berdirinya suatu golongan, hool (haul), ulang tahun kelahiran dan kematian seorang imam yang masyhur, pesta-pesta kemenangan golongan, pesta kemerdekaan dari penindasan golongan lain. [7]

Demikian pula halnya dengan kalangan Nashrani. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Isa, antara lain:

  1. Paskah, yaitu hari kebangkitan Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 April. Upacara kebangkitan Yesus itu merupakan saduran dari upacara bangsa Phrygia, Yunani, dan Romawi.
  2. Pantekosta, yaitu hari turunnya ruh suci yang dirayakan pada hari ke-50 seusai Paskah.
  3. Natal, yaitu hari kelahiran Isa bin Maryam yang dirayakan pada 25 Desember. Sesungguhnya orang-orang Nashrani pertama tidak mengenal upacara natal, karena dianggapnya bukan dari ajaran dari nabi-nabi tetapi upacara kafir, yaitu merupakan pesta agama mithras, lalu bangsa Romawi merubahnya dan ditujukan pada dewa Yupiter. Namun Nashrani Romawi menjadikannya hari Natal Yesus. Dengan demikian, upacara natal menurut ajaran Nashrani pun sudah meruapakan bid’ah.

Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti

  1. Ulang tahun kelahiran. Pada mulanya orang-orang Nashrani generasi pertama tidak mengenal upacara ulang tahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu pesta yang munkar dan hanya pekerjaan orang kafir.Orang Nashrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nashrani Romawi.
  2. Hari perkawinan. Disebut kawin perunggu, tembaga, perak, emas, dan berlian.
  3. Hari kematian, diperingati untuk menjamu roh-roh di luar roh manusia dengan membuat sajian-sajian (sasajen). Di Inggris pesta roh tersebut disebut Hallowen, yang diperingati pada tiap 31 Oktober. [8]

Berdasarkan catatan sejarah di atas dapat kita pahami bahwa perayaan milad, Mawlid, ulang tahun, dan “syukuran” untuk memperingati hari dan berbagai peristiwa penting, bukan bersumber dari ajaran Islam, melainkan dari penganut agama kuno, Yahudi dan Nashrani.

Peringatan Ied yang disyariatkan dan Terlarang

Dalam Syariat Islam, istilah ied secara makna tidak jauh berbeda dengan makna bahasa dan ‘Urf (kebiasaan), hanya saja berbeda dari aspek “pihak yang menetapkan”. Dalam syariat Islam penggunaan istilah Ied ada yang berhubungan dengan waktu: ied tahunan, ied bulanan, dan ied mingguan, dan ada pula yang berhubungan dengan tempat.

Ied Berkenaan dengan waktu Jumat dan Arafah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah Allah jadikan bagi kaum muslimin. Barangsiapa menghadiri shalat Jum’at hendaklah mandi, jika mempunyai minyak wangi hendaklah mengoleskannya, dan hendaklah kalian bersiwak. ” HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 350, No. 1098

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Dari Uqbah bin Amir, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Hari Arafah, hari Nahr dan hari tasyriq adalah hari raya kita kaum muslimin, dan hari-hari itu adalah hari makan-makan dan minum’.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 152, No. 17.421

Ied Berkenaan dengan Tempat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘id dan bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’.” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 218, No. 2042

Sehubungan dengan hadis itu, Imam Al-Munawi berkata:

مَعْنَاهُ النَّهْي عَنْ الِاجْتِمَاع لِزِيَارَتِهِ اِجْتِمَاعهمْ لِلْعِيدِ إِمَّا لِدَفْعِ الْمَشَقَّة أَوْ كَرَاهَة أَنْ يَتَجَاوَزُوا حَدّ التَّعْظِيم . وَقِيلَ الْعِيد مَا يُعَاد إِلَيْهِ أَيْ لَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا تَعُودُونَ إِلَيْهِ مَتَى أَرَدْتُمْ أَنْ تُصَلُّوا عَلَيَّ ، فَظَاهِره مَنْهِيّ عَنْ الْمُعَاوَدَة

“Maknanya melarang pertemuan/perkumpulan untuk menziarahi, perkumpulan mereka untuk hari raya, adakalanya untuk menolak kesulitan atau karena dibenci melewati batas pengagungan, dan dikatakan Ied adalah apa yang kembali padanya, yaitu janganlah kalian menjadikan kuburanku hari raya, yang kalian selalu berkunjung padanya ketika kalian ingin bershalawat kepadaku. Maka makna lahiriahnya adalah larangan dari berkunjung pada setiap waktu.”[9]

Imam Al-Munawi juga berkata:

وَيُؤْخَذ مِنْهُ أَنَّ اِجْتِمَاع الْعَامَّة فِي بَعْض أَضْرِحَة الْأَوْلِيَاء فِي يَوْم أَوْ شَهْر مَخْصُوص مِنْ السَّنَة وَيَقُولُونَ هَذَا يَوْم مَوْلِد الشَّيْخ وَيَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَرُبَّمَا يَرْقُصُونَ فِيهِ مَنْهِيّ عَنْهُ شَرْعًا

“Dan diambil dalil darinya bahwa perkumpulan orang banyak pada sebagian pekuburan para wali pada hari atau bulan tertentu dalam suatu tahun dan mereka mengatakan ini adalah hari lahir syekh itu, mereka makan dan minum dan terkadang sambil menari di situ adalah terlarang secara syariat.”[10]

Ied terkadang digunakan sebagai nama hari dan kegiatan di hari itu.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ الْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ يَوْمَ عِيدٍ فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ أَطَّلِعُ مِنْ عَاتِقِهِ فَأَنْظُرُ إِلَيْهِمْ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهَا فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Telah menceritakan kepada kami Waqi’ dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata, “Pada hari raya orang-orang Habasyah bermain dengan gembira. Lalu Rasulullah saw. memanggilku dan saya melihat mereka dari pundak beliau, saya melihat mereka hingga datang Abu Bakar.” Maka Nabi saw. bersabda, ‘Biarkanlah dia karena setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita’.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI: 187, No. 25.575

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu hari atau peristiwa yang diperingati secara berulang (Ied) telah ditetapkan dalam Islam, sehingga bentuk memperingatinya juga disyariatkan oleh Islam. Sehubungan dengan itu, hukum memperingati suatu peristiwa dapat dikategorikan menjadi empat macam:

Pertama, hari-hari yang dianggap agung oleh syariah dan terdapat dalil yang menunjukkan keutamaannya serta ajuran untuk beribadah dan dibolehkan bergembira pada hari-hari tersebut, seperti hari Jum’at, ‘Iedul fitri, ‘Iedul adha, dan hari-hari Tasyriq. Memperingati hari-hari demikian disyariatkan oleh Islam

Kedua, hari-hari yang tidak terjadi peristiwa apapun padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun diagung-agungkan oleh manusia, sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan hari lainnya, seperti hari Kamis minggu pertama atau malam Jum’at pada bulan Rajab yang biasa disebut ar-Raghaib, yang dianggap istimewa oleh sebagian kaum muslimin. Pengagungan hari tersebut mulai terjadi sejak abad IV hijriah. Memperingati hari-hari demikian terlarang dalam disyariatkan oleh Islam.

Ketiga, hari-hari yang terjadi suatu peristiwa padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun dianggap penting oleh manusia karena peristiwa itu, sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan dengan hari lainnya, seperti mengagungkan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan Mawlid, kelahiran tokoh, kelahiran seseorang, Kawin Emas dan Perak, dan kelahiran organisasi. Memperingati hari-hari demikian terlarang dalam disyariatkan oleh Islam, karena tasyabuh dengan ritual orang-orang kafir yang berkenaan dengan aqidah dan ta’abudi mereka, sebagaimana telah dijelaskan dalam fakta sejarah di atas.

Sehubungan dengan itu, Sekretaris Dewan Hisbah PP Persis, Ustadz Zae Nandang, ketika ditanya: “Bagaimana dengan milad organisasi?” Beliau menjawab: “Milad yang dilakukan sudah termasuk kepada bagian dari aqidah dan ibadah. Jadi untuk organisasi kita, janganlah, harus ada kehati-hatian, kepada yang haram, sebaiknya kita harus hati-hati. Kalau kita tidak selektif, susah memilahnya, karena perbedaannya tipis. Kita harus mampu menahan diri.” [11]

Keempat, hari-hari yang terjadi suatu peristiwa padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun dianggap penting oleh manusia karena peristiwa itu, namun tidak terdapat tasyabuh dengan ritual orang-orang kafir yang berkenaan dengan aqidah dan ta’abudi mereka, seperti hari kemerdekaan suatu negara, maka hukumnya dibolehkan (Mubah).

Sehubungan dengan itu, Sekretaris Dewan Hisbah PP Persis, Ustadz Zae Nandang, ketika ditanya: “Bagaimana hukum memperingati dan merayakan HUT RI?” Beliau menjawab: “Kalau sebatas peringatan dalam rangka penghormatan biasa silahkan saja, karena hal itu tidak termasuk bagian dari aqidah. Peringatan HUT RI tidak menyebabkan orang merasa mendapatkan pahala ketika merayakannya, karena memang peringatan ini sebatas peringatan kemerdekaan biasa sebagai tanda balas jasa kepada para pahlawan.”

Ketika ditanya: “Adakah rambu-rambu untuk agustusan yang halal? Bisa dijelaskan?” Beliau menjawab:

“Pertama, kegiatan agustusan tidak dijadikan sebagai ajang ritual ibadah. Kedua, acaranya positif dan menanamkan kemerdekaan yang seutuhya seperti apa. Katanya kita sudah merdeka, tetapi masih terjajah dengan aturan yang tidak jelas. Dari sisi ekonomi pun masih belum dirasakan dengan baik, dan ini fakta. Kita bisa melihat bagaimana pemberdayaan ekonomi ini sangat tidak merata. Jika momentum agustusan ini bisa dimanfaatkan oleh generasi muda untuk mengingatkan masyarakat bahwa kita benar-benar sudah merdeka. Maka ke depan bangsa ini akan mampu merasakan hakikat kemerdekaan. Kita masih terjajah secara ekonomi dan yang lainnya. Kita belum merdeka secara utuh. Dalam urusan milih-memilih saja, masyarakat tidak bebas, kita dipaksa untuk memilih calon wakil kita yang sudah dipilih dan ditentukan oleh partai politik. Padahal masyarakat yang lebih tahu mana orang yang cocok untuk mewakili daerahnya. Kita harus mampu menjadikan momentum agustusan ini sebagai spirit perjuangan. Supaya kita mampu menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Jangan jadi tamu di rumah kita.Jadi rambu-rambunya ada pada anggapan ibadah dan pahala apabila kita melakukan perayaan tersebut.” [12]

Bandung, Selasa, 16 Dzulhijjah 1439 H / Senin, 27 Agustus 2018

Amin Muchtar, sigabah.com

[1]lihat, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, I: 105.

[2]lihat, Al-Mufradat fii Gharib Al-Qur’an, 1997:456

[3]lihat, Lisan Al-‘Arab, III: 319, Taaj Al-‘Aruus, VIII: 438.

[4]lihat, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, I: 105.

[5]lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 2002, jilid 3, hal. 75-76; jilid 4, hal. 22-24; jilid 5, hal. 228-229

[6]lihat, Iqtidhaa Shiraath al-Mustaqiim Mukhaalafah Ashaab al-Jahiim, hlm. 294; Parasit Aqidah: 324.

[7]lihat, Parasit Aqidah, karya Ustadz AD. Marzdedeq, hlm. 282-283.

[8]Ibid., hlm. 304-324.

[9]Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VI:31

[10]Ibid., VI:32

[11]lihat, Majalah RISALAH NO 5 TH 56 AGUSTUS 2018 Hlm. 26

[12]Ibid., hlm. 25

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}