Preloader logo

Membaca Konspirasi Penundaan Sidang Ahok ke 20 April

BANDUNG (sigabah.com) — Kalau ada yang mempertanyakan penundaan sidang pembacaan tuntutan kasus Ahok ke tgl 20 April, sangatlah beralasan. Di dunia pers Barat, penjadwalan ulang sesuatu yang sangat penting ke dekat-dekat peristiwa penting lainnya, dikenal sebagai upaya untuk “burying the bad news” (menguburkan atau menyembunyikan berita buruk).

Penundaan ini kelihatan sangat dipaksakan oleh pihak jaksa penuntut umum (JPU) dengan alasan naskah tuntutan belum selesai diketik.

Hakim setuju ditunda dan mengusulkan tgl 17 April. Tapi pihak JPU masih mengatakan belum akan rampung, dan meminta tgl 20 April. Akhirnya majelis hakim setuju juga.

Pihak pembela Ahok mengatakan, penundaan itu tidak menguntungkan kliennya. Tampaknya, reaksi tim hukum Ahok itu tidak jujur. Apa iya tidak diuntungkan?

Mari kita singkap apa-apa saja laba yang akan diperoleh dari penundaan sidang ke tgl 20 April, sehari setelah pemungutan suara pilkada DKI putaran kedua yang akan berlangsung 19 April.

Perhatian khalayak akan terpecah karena justru pada tanggal 20 April itulah puncak hitungan cepat (quick count) pilkada. Masyarakat pasti sibuk mengikuti hitungan cepat mulai dari sore hari 19 April sampai pagi hari 21 April, melalui siaran langsung televisi atau media lainnya.

Apa-apa saja yang bisa “digoreng” di sekitar tanggal-tanggal penting itu?

Masyarakat yang merasa quick count lebih penting, tentu akan menomorduakan sidang Ahok 20 April. Dengan begitu, kalau sekiranya JPU membacakan tuntutan hukuman yang ringan untuk Ahok, atau bahkan tuntutan bebas, diperkirakan reaksi keberatan dari khalayak tidak akan tersiarkan dengan gencar karena quick count pasti akan menyita sebagian besar jam tayang. Apalagi quick count-nya nanti sengaja pula “dimain-mainkan”, tentulah akan semakin seru mengikutinya. Jadi, terkuburlah berita tuntutan JPU.

Sebaliknya, bisa jadi juga sidang Ahok 20 April itu akan memberikan peluang bagus bagi penyelenggara quick count untuk mengatur hasil yang diinginkan oleh calon “wajib menang”. Amati saja nanti, kalau stasiun-stasiun TV pro-“wajib menang” memberikan perhatian besar ke persidangan 20 April, berarti harus ada yang mewaspadai proses quick count. Barangkali ada yang ingin disembunyikan dengan menggencarkan liputan sidang Ahok.

Kemungkinan lain yang lebih seru lagi adalah, sidang pembacaan tuntutan itu dipilih tgl 20 April dengan tujuan untuk melihat arah quick count itu sendiri. Maksudnya, karena naskah tuntutan yang jumlahnya beratus-ratus halaman, besar kemungkinan paragraph-paragraf yang berisi tuntutan, baru akan terbacakan pada malam hari tgl 20 April itu ketika hasil quick count semakin jelas.

Kalau hasil quick count nanti cenderung memutlakkan kemenangan Anies-Sandi, pemberitaan sidang akan cenderung kendur. Ini membuka pelung JPU mengajukan tuntutan yang teringan atau dinyatakan tidak terbukti bersalah (alias bebas). Masyarakat dianggap “sudah puas” melihat kekalahan Ahok; tidak dihukum pun, tidak masalah.

Bagaimana kalau quick count memutlakkan kemenangan Ahok? Ini yang harus dicermati oleh massa penentang Ahok yang menjaga sidang 20 April. Harus waspada terhadap taktik kotor yang bertujuan memancing kerusuhan. Bisa jadi akan diciptakan kekacauan di luar ruang sidang sehingga otomatis liputan media (terutama TV) beralih ke sini. Dengan begitu, menjadi tenggelamlah pemberitaan quick count pilkada yang mengarah pada , atau diarahkan untuk, kemenangan calon “wajib menang”.

Jadi, penundaan sidang ke tgl 20 April memang pantas dicermati oleh semua orang agar keadilan dalam kedua peristiwa yang berdekatan, yaitu pilkada dan sidang penistaan agama, bisa ditegakkan dengan sejujur-jujurnya.(*)

by Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC)

(Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).

teropongsenayan.com | sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}