Preloader logo

MASBUQ BERJAMA’AH (Bagian Ke-2)

Ada yang berpendapat bahwa makmum yang masbuk dalam menyempurnakan kekurangannya tidak boleh dilakukan secara berjamaah, dengan alasan Nabi saw. tidak mencontohkannya. Adapun dalil yang menunjukkan Rasulullah saw. masbuk bersama al-Mughirah bin Syu’bah, lalu menyelesaikan/menyempurnakan kekurangan rakaatnya dengan cara berjamaah ditolak dengan alasan bahwa salatnya itu sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat, di dalam Buku Risalah Bid’ah, hal. 190, menyatakan: Bid’ah ini tegas-tegas telah menyalahi Sunnah:

 

  1. Nabi shallahu’alaihi wa sallam bersama Mughirah bin Syu’bah pernah menjadi masbuq di dalam peperangan Tabuk. Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak membikin jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)
  2. Di dalam salah satu cara shalat khauf, salah satu kelompok menyempurnakan shalatnya masing-masing atau sendiri-sendiri, tanpa membuat jama’ah lagi. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lain.)

Demikian argumen Ustadz Abdul Hakim bahwa masbuq dengan berjamaah lagi hukumnya bid’ah.

 

Penilaian senada disampaikan Doktor bidang Tafsir, al-Ustadz Saeful Islam Mubarak. Di dalam makalahnya (hal. 12), mencantumkan sebuah hadis sebagai berikut:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا – أخرجه مسلم في صحيحه ج 1 ص 229\ح 274 والبخاري في صحيحه ج 1 ص 143 \356-

Dari Urwah bin al-Mughirah bin Syu’bah, dari ayahny,a ia berkata, “Rasulullah saw. terlambat dan akupun terlampat bersamanya. Selesai beliau memenuhi hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu punya air?” Maka ku bawakan air wudu, lalu beliau mencuci wajahnya dan kedua telapak tangannya, dan beliau mengalami kesulitan mencuci dua lengannya, karena sempit lengan jubahnya. Maka beliau melepasnya serta diletakkannya di atas bahunya. Lalu beliau mencuci dua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap ke atas sorban dan kedua sepatunya. Kemudian beliau menaiki kendaraan bersamaku hingga tiba pada kaum. Dan kaum tersebut telah berdiri melaksanakan salat dengan Abdurrahman bin Auf sebagai imam. Dia bersama jamaah telah menyelesaikan satu rakaat. Ketika dia merasa kedatangan Nabi saw, maka dia pun berencana mundur, maka beliau memberi isyarat (untuk tetap menjadi imam). Maka dia mengimami mereka. Ketika dia membaca salam Rasul berdiri dan aku pun berdiri. Maka kami ruku’ untuk melengkapi yang tertinggal. “ (H.r. Bukhori dan Muslim)

Beliau mencantumkan tujuh pelajaran dari hadis tersebut, antara lain:

  1. Al-Mughirah pernah terlambat salat bersama Rasulullah saw. karena perjalanan.
  2. Rasulullah bersama seorang sahabatnya tertinggal satu rakaat dalam salat berjamaah dengan masyarakat setempat yang diimami Abdurrahman
  3.  Rasul bersama al-Mughirah melanjutkan salatnya hingga selesai. Hadis menjelaskan bahwa jika tertinggal satu rakaat atau lebih dalam berjamaah maka sempurnakan sesuai dengan jumlah yang tertinggal. Bagaimana cara menyelesaikannya?
  4. Tidak ditemukan al-Mughirah berjamaah kepada Rasul karena tiada kata yang menunjukkannya. Bahkan kalimat di atas lebih memberi isyarat adanya Rasulullah dan al-Mughirah menyelesaikan salat masing-masing. Sebab kalimat قام رسول الله وقمت dilanjutkan dengan فركعنا memberi isyarat al-Mughirah berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri, dan al-Mughirah ruku pada waktu yang sama dengan ruku Rasulullah. Sedangkan dalam aturan berjamaah makmum mesti mengikuti imam artinya makmum tidak bergerak bersama-sama dengan imam.
  5. Kalau al-Mughirah berjamaah kepada Rasul tentu dia akan menggunakan kata yang mengandung makna berjamaah seperti:

صلى بي رسول الله صلى الله عليه وسلم

قام رسول الله فقمت

ركع رسول الله فركعت

فاقتديت به صلى الله عليه وسلم

Atau kata lainnya yang memberi arti adanya berjamaah sebagaimana ditemukan pada kalimat sebelumnya.

 

Catatan Bagi Ustadz Abdul Hakim

Tentang Dalil I

Didalam tulisan tersebut ada 3 hal yang harus dikritisi:

 

Pertama, hemat kami dalam penunjukkan dalil tersebut terdapat “ketidakjujuran”, apakah yang dimuat dalam buku itu terjemah hadisnya atau fiqih penulis? Dengan cara penunjukan seperti itu, pembaca akan menyangka bahwa hadis tentang masbuk itu demikian adanya. Mengapa teks Arabnya tidak ditampilkan? Padahal teks Arab itulah yang akan menjadi acuan dalam dua hal: (1) analisis tepat dan tidaknya penulis dalam memahami maksud hadis tersebut. (2) analisis benar dan tidaknya penulis dalam istibath ahkam (penetapan kesimpulan hukum) bahwa “masbuk berjamaah itu bid’ah”

Kedua, dalam terjemah itu ditulis kalimat: sendiri-sendiri tidak membikin jama’ah. Dengan terjemah itu seolah-olah demikian adanya praktek Rasulullah ketika masbuk. Padahal dalam teks Arabnya tidak ada sedikitpun kalimat yang menunjukkan arti seperti itu. Andaikata penulis secara jujur menyatakan bahwa kalimat itu adalah fiqih penulis bukan terjemah dari teks hadis, tentu pembaca akan memaklumi latar belakang mengapa beliau membid’ahkan amal seperti itu, yakni “karena cara memahaminya seperti itu!”

Ketiga, diakhir terjemah itu disebutkan: “hadis riwayat Muslim dan lain-lain”, tanpa menjelaskan “Riwayat Muslim yang mana?”, “siapa lain-lain yang dimaksud?” dan “berapa orang?”. Hal ini penting dianalisis mengingat: (1). Riwayat Muslim dan lain-lain itu menggunakan beberapa redaksi, (2). Dengan cara penyebutan mukharij (pencatat hadis) seperti itu akan dipahamkan oleh pembaca seolah-olah kalimat sendiri-sendiri tidak membikin jama’ah tersebut tercatat dalam riwayat Muslim dan lain-lain itu. Benarkah demikian?

Untuk lebih jelasnya mari kita kaji secara cermat dengan penuh kejujuran teks Arab hadis tersebut:

Peristiwa Nabi masbuk bersama al-Mughirah terjadi pada perak Tabuk tahun 9 H (Lihat, al-Bidayah wan Nihayah, V:2)

Hadis tentang peristiwa Nabi masbuk bersama al-Mughirah diriwayatkan oleh lebih dari 25 mukharrij, melalui sekitar 60 orang, semuanya menerima dari al-Mughirah bin Syu’bah, dengan bentuk pelaporan sebagai berikut:

 

  1. Hanya dilaporkan peristiwa awalnya, antara lain

أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَأَنَّهُ ذَهَبَ لِحَاجَةٍ لَهُ وَأَنَّ مُغِيرَةَ جَعَلَ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَيْهِ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Sesungguhnya al-Mughirah bersama Nabi saw. dalam satu perjalanan, dan sesungguhnya beliau pergi untuk qadha hajat (buang air), dan sesungguhnya Mughirah mulai mencucurkan air kepadanya ketika beliau berwudhu, maka Nabi mencuci wajah dan kedua tangannya, mengusap kepalanya, dan mengusap kedua khufnya. H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1997, hal. 44, No. 182, kitabul wudhu, bab ar-Rajulu yuwadhi-u shahibahu

  1. Dilaporkan peristiwa akhirnya, antara lain dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:135, No. 1.064)

وقال ثم ركبنا فأدركنا الناس قد تقدم عبد الرحمن بن عوف وقد صلى بهم ركعة وهو في الثانية فذهبت أوذنه فنهاني فصلينا الركعة التي أدركنا وقضينا التي سبقنا – إبن خزيمة 2: 135 –

  1. Dilaporkan secara lengkap, antara lain dalam riwayat Muslim dengan redaksi

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا – رواه مسلم –

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah saw. ketinggalan rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika beliau telah menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu membawa air?” Maka aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci kedua telapak tangannya, dan wajahnya, lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya, tetapi sempit…jubahnya, maka beliau mengeluarkan sebelah tangannya dari bawah jubah, dan menempatkan jubahnya di atas kedua pundaknya, lalu beliau mencuci lengannya dan mengusap imamah serta kedua khufnya. Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun berkendaraan bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu), ternyata mereka telah melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi datang, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam (selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu. “ H.r. Muslim I : 230, No. 274, babul mashi ‘alan nashiyah wal ‘imamah

Dalam riwayat Muslim melalui jalur lainnya, menggunakan redaksi

أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ …– صحيح مسلم 1: 317 كتاب الصلاة باب تقديم الجماعة من يصلي بهم إذا تأخر الإمام ولم يخافوا مفسدة بالتقديم

Dalam riwayat Ahmad (al-Musnad, XXX:77, No. 17.145) dengan redaksi

تَخَلَّفْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ …

Dalam riwayat Ibnu Asakir (Tarikh Ibnu Asakir, XXVI:229) dijelaskan

…وأنا معه في غزوة تبوك قبل الفجر …

Beberapa catatan kritis perlu disampaikan di sini:

  1. Seandainya kalimat sendiri-sendiri tidak membikin jama’ah itu benar-benar tercatat dalam riwayat Muslim, dari kalimat mana bisa diterjemahkan demikian? Sebab dalam riwayat tersebut menggunakan dhomir (kata ganti) nahnu (mutakallim ma’al ghair), yakni kalimat

فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا

lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu.

Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama dan ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Berarti melakukan rakaat salat yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila tidak diartikan demikian harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim

فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ

Maka kami sampai kepada kaum itu (rombongan)

Atau menggunakan kalimat ma’ahu (bersamanya)

فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ

Maka aku berangkat bersama beliau, hingga menemui/mendapati orang-orang

Kalimat-kalimat tersebut akan akan diartikan apa? Seandainya konsisten dengan fiqihnya, maka kalimat tersebut harus diartikan: “kami sampai kepada kaum itu sendiri-sendiri” Cara mengartikan seperti ini jelas menyalahi kaidah, sebab apa fungsi kalimat “kami” bila berangkatnya itu sendiri-sendiri? Karena itu, untuk mengartikan demikian (sendiri-sendiri) harus menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan, kita cermati riwayat berikut:

عَنْ حَسَنِ بْنِ عُقْبَةَ أبِي كِبْرَانَ ، أَنَّهُ قَالَ : كُنَّا مَعَ الضَّحَّاكِ فَقَالَ : إِنْ كَانَ مِنْكُمْ مَنْ يَتَقَدَّمُ فَلْيُؤَذِّنْ وَلْيُصَلِّ ، قَالَ : فَأَبَوْا ، فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا.

Dari Hasan bin Uqbah Abu Kibran, bahwa ia berkata, “Kami bersama adh-Dhahak, lalu ia berkata, ‘Jika di antara kalian ada yang bersedia maju menjadi imam, hendaklah azan dan shalatlah.’ Ia berkata, ‘Maka mereka enggan. Lalu kami shalat sendiri-sendiri’.” HR. Ibnu Abu Syaibah, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, Juz 1, hlm. 358

Kalimat shallainaa (kami shalat) pada riwayat ini harus dipahami bahwa mereka melaksanakan shalatnya tidak berjamaah karena terdapat qarinah (keterangan pendukung) dimaknai demikian, yaitu kata wuhdanan (sendiri-sendiri)

Nah, dalam kasus Nabi masbuq bersama al-Mughirah, adakah qarinah yang dapat memalingkan makna bersama-sama kepada sendiri-sendiri seperti kata wuhdanan tersebut? Sangat disayangkan pada buku tersebut: (a) tidak ditunjukkan qarinahnya, (b) kalimat sebelumnya juga tidak dimuat, padahal dengan kalimat-kalimat tersebut semakin memperkuat dilalah (petunjuk) berjamaahnya Rasul dengan al-Mughirah.

  1. Demikian pula seandainya kalimat itu benar-benar tercatat dalam riwayat imam lainnya, dari kalimat mana bisa diterjemahkan demikian? Sebab dalam riwayat-riwayat tersebut menggunakan dhomir yang sama (nahnu), antara lain: dalam riwayat Ahmad (al-Musnad, XXX:59-60, No. 18.134); at-Thabrani (al-Mu’jamul Kabir, XX:428, No. 1.037); Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:135, No. 1.064)menggunakan redaksi

فَصَلَّيْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي أَدْرَكْنَا وَقَضَيْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سُبِقْنَا

Dalam riwayat Ibnu Abdil Barr (at-Tamhid, XI:160) dengan redaksi

فصلينا الركعة التي أدركنا وقضينا الركعة التي سبقتنا

Dalam riwayat at-Thabrani (al-Mu’jamul Ausath, II:102, No. 1.389) dengan redaksi

فصلينا معه ركعة وقضينا الركعة التي فاتتنا

Dalam riwayat Ibnu Hiban (Shahih Ibnu Hiban, IV:178, No. 1.347) dengan redaksi

قام النبي صلى الله عليه وسلم و المغيرة فأكملا ما سبقهما – 4: 178 –

Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra, III:92, No. 4.922, as-Sunanus Sughra, I:99, No. 124) sebelum kalimat itu ditegaskan

فلما سلم قام النبي صلى الله عليه وسلم وقمت معه فركعنا الركعة التي سبقنا – البيهقي في الكبرى 3: 92 –

فلما سلم قام النبي صلى الله عليه وسلم وقمت معه فركعنا الركعة التي سبقتنا – البيهقي في الصغرى 1: 99

Kalimat qaman nabiyyu wa qumtu ma’ahu di atas akan akan diartikan apa?

Seandainya konsisten dengan fiqihnya, maka kalimat tersebut harus diartikan: “Nabi berdiri dan aku pun berdiri bersama beliau sendiri-sendiri” Cara mengartikan seperti ini jelas amat rancu, sebab fungsi kalimat “ma’ahu” itu menunjukkan bersama-sama bukan sendiri-sendiri? Apakah ada qarinah yang dapat memalingkan kalimat ma’ahu menjadi bermakna masing-masing? Sangat disayangkan pada buku tersebut hadis yang menggunakan kalimat ma’ahu sengaja tidak dicantumkan, ataukah belum ditemukan?

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

There is 1 comment
  1. Ali

    Ilmu yang bermanfaat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}