Preloader logo

KEUNIKAN GAYA BAHASA AL-QUR’AN

white book page on black textile

Akan selalu ada hal menarik yang bisa kita bahas, saat bicara tentang Al-Qur’an; kitab suci umat Islam. Seperti yang selama ini udah kita tau, Al-Qur’an adalah salah satu mukjizat terbesar Allah swt. yang diberikan kepada nabi Muhammad saw, untuk membimbing manusia ke jalan keselamatan. Terdiri dari 30 juz dan 114 surat yang secara garis besar ngebahas dua hal, yaitu; perintah dan larangan.

Al-Qur’an ini, bukan hasil kreasi atau buatan Nabi Muhammad sebagaimana yang dituduhkan orang-orang kafir lohh… tapi, Qur’an ini adalah wahyu yang langsung turun dari Allah swt. karya Dzat yang Maha Suci, Dzat yang Maha Sempurna. Yang dalam proses penurunannya juga sama sekali engga ngelibatin penduduk bumi, termasuk Nabi. Semuanya ada dalam kekuasaan dan pengawasan Allah Swt. Nabi cuma nerima wahyu, lewat perantara malaikat Jibril. Dan proses penurunan ke Nabi nya juga bukan cuma sekali dua kali aja, melainkan terus berangsur-angsur selama 23 tahun selama risalah kenabian.

Sekarang ini, kita bakalan bahas Qur’an dari segi keunikan gaya bahasanya. Karena ternyata, mukjizat Qur’an itu bukan cuma diliat dari Qur’an secara keseluruhan, tapi mukjizat itu juga tersimpan dalam setiap rangkaian kata bahkan huruf-hurufnya.

Di pelajaran bahasa Indonesia, gaya bahasa ini biasa disebut majas, yang bisa diartikan:Cara bagaimana pengarang cerita mengungkapkan isi pemikirannya lewat bahasa-bahasa yang khas dalam uraian ceritanya sehingga dapat menimbulkan kesan tertentu”

Dalam konteks ini, berarti nanti kita bakal liat, gimana cara Allah memberikan penekanan dalam situasi tertentu lewat bahasa Qur’an yang khas, yang di dalam kekhasan itu tersimpan makna dan pelajaran yang bisa diambil. Salah satu contoh gimana keunikan gaya bahasa yang dipake Qur’an, bisa kita liat di surat Al-Lahab; Surat yang tentu kita semua udah familiar dan engga asing lagi.

Secara garis besar, surat ini berisi tentang ancaman siksaan bagi Abu Lahab dan istrinya, yang hobby banget buat menghalangi jalan da’wah nabi. Yang kemudian menarik untuk dibahas, ada pada penggalan kata di ayat pertamanya. Di ayat pertama ini dikatakan:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”

Disini ada semacam “pengukuhan” siksaan yang akan di dapat oleh seseorang yang bernama Abu Lahab. Yang unik disini bukanlah pengukuhan siksaan-nya, melainkan sosok Abu Lahab nya. Kenapa unik? Sebab ternyata Abu Lahab itu adalah gelar atau julukan, bukan nama asli. Sementara nama asli orang yang diceritain di surat Al-Lahab ini adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib.

Muncul pertanyaaan. Julukan “Abu Lahab” sendiri artinya apa? Terus kenapa yang disebut di Qur’an itu julukan bukan nama aslinya?

Pertama, soal julukan. Abu Lahab. Kata “Lahab” punya arti gejolak api. Sementara “Abu”, kata ini biasa digunakan dalam makna, seseorang yang selalu menyertai sesuatu yang disebut sesudahnya. Jadi kalo disebut Abu Lahab, gitu, berarti bahwa gejolak api itu, akan selalu menyertainya. Sama halnya kaya abu gosok. Kenapa disebut abu gosok? Karena “gosokan” selalu menyertainya.

Berarti sebutan Abu Lahab ini, mengisyaratkan bahwa gelojak api akan selalu menyertainya. Dia, akan terbakar di neraka jahanam, yang apinya berkobar-kobar. Maka itu disebut “Abu Lahab”.

Sekarang yang kedua, ini juga unik. Kenapa di dalam ayat ini, Allah engga nyebut nama aslinya melainkan hanya julukan?

Ternyata, di Qur’an itu semacam ada rumus kaya gini ”Apabila Qur’an menerangkan seseorang, langsung disebut nama, berarti kasus itu berhenti pada saat itu; hanya berlaku saat orang itu hidup. Tapi kalau yang disebut gelar atau julukan, menunjukkan bahwa kasus serupa, akan terus berulang”.

Jadi kalo bahasanya gini “celakalah Abdul Uzza” udah, berarti kejadiannya waktu itu aja. Gaakan muncul orang lain yang seperti dia lagi. Tapi waktu disebut “celakalah Abu Lahab” Berarti, bakal lahir Abu Lahab jilid II,III, dan seterusnya, tanpa pernah terikat ruang dan waktu.

Maka dengan penamaan ini, kita jangan aneh. Bahwa setiap waktu, setiap saat, bakal selalu ada, manusia-manusia yang menentang Islam, melecehkan Nabi dan senantiasa menghalangi jalan da’wah. Kenapa? Sebab di Qur’annya juga pake julukan, bukan nama asli. Jadi kalo tiba tiba muncul, misalkan ada yang membuat karikatur Nabi, kasus penolakan da’wah, itu engga aneh sama surat Al-Lahab ini sebenernya. Berarti bakalan ada Abu Lahab – Abu Lahab baru di setiap tempat dan waktu. Karena surat ini udah ngasih isyarat. Itulah kenapa disebut julukan bukan nama asli.

Sama kasusnya kaya Fir’aun. Fir’aun itu bukan nama, tapi adalah julukan. Kenapa disebut julukan bukan namanya, Ramses II misalkan? Karena itu tadi, untuk menunjukkan bahwa setiap waktu akan selalu ada, Fir’aun-Fir’aun baru. Jangan sampe gini, kita semua tau kalo Fir’aun itu engga baik. Tapi sadarkah, terkadang ada sifat Fir’aun di diri kita? Fir’aun nya di caci maki, dihina, tapi perilaku Fir’aun ada di diri kita, kita engga sadar. Sebab kita terjebak, mendengar Fir’aun itu disangka nama seseorang. Padahal saat menggunakan kata Fir’aun, tidak menyebut nama aslinya, adalah isyarat bahwa orang-orang yang kaya gitu bisa jadi akan terus datang.

Walaupun udah dibaca, bahkan ditalar, udah akrab di telinga, tetep aja surat ini waktu kita kaji ulang, ada hal yang baru lagi. Selalu ada mutiara terpendam, yang selama ini belum tergali. Mungkin baru tau makna “Abu Lahab” sekarang ya? Dikira nya maksud surat Al-Lahab itu engga kesini? Hehehe……

Inilah hebatnya keapikan bahasa Qur’an. Jadi Qur’an itu visioner. Bahwa apapun yang akan terjadi di depan, pada dasarnya sudah terakomodir oleh petunjuk Qur’an. Nah kita, baca Qur’annya harus selalu diperbaharui, sebab ketika kita baca Qur’annya hanya dalam urusan cangkang, dalam urusan kemasan, maka persoalan yang terjadi sekarang dan kedepan, seakan-akan belum terwadahi oleh Qur’an.

By Azmi Fathul Umam

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}