Preloader logo

KEMANDIRIAN EKONOMI (3)

Hadis Ke-3, kata Imam al-Bukhari

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada kami. Isa bin Yunus telah mengabarkan kepada kami, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari al-Miqdam Ra, dari Rasulullah saw., beliau bersabda, ‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh dari hasil usaha tangannya sendiri, dan sungguh Nabi Allah Dawud As. makan dari hasil usaha tangannya sendiri’.”

Hadis Ke-4, kata Imam al-Bukhari:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Dari Abu Huraerah Ra, dari Rasulullah saw. “sungguh Nabi Dawud As. tidak makan selain dari hasil usaha tangannya.”

Penjelasan (Syarah) Hadis

Pertama, kalimat:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh dari hasil usaha tangannya sendiri.”

Kata akala (أكل) dimaknai mengkonsumsi, lebih umum daripada sekadar makan, karena penyebutan kalimat “mengkonsumsi makanan” hanya menurut kelaziman bahwa orang melakukan kasab  bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagai kebutuhan primer. Dengan demikian, pengutamaan kasab dengan tangannya sendiri bukan karena kebutuhan pangan semata, namun meliputi pula kebutuhan primer lainnya, seperti sandang dan papan, juga kebutuhan sekunder dan tersier. Pemaknaan demikian dikuatkan dengan tampilan redaksi dalam riwayat lain, yang menunjukkan makna lebih umum:

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang melakukan kasab yang lebih suci daripada usaha dengan tangannya sendiri.” HR. Ibnu Majah. [1]

Begitu pula pemahaman kata “makan” dalam beberapa ayat Al-Quran, misalnya

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). QS.An-Nisa: 10

Motif hukum pelarangan atau celaan pada ayat itu terletak pada kelaliman (ظلما), bukan pada “cara memakan” semata. Karena itu, jika seseorang menggunakan harta anak yatim secara tidak sah, meskti tidak dengan cara dimakan, tetap termasuk pihak yang dicela ayat itu.

Begitu pula dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” QS.An-Nisa: 29

Motif hukum pelarangan pada ayat di atas terletak pada “cara tidak benar” (الباطل), bukan pada “cara memakan” semata. Karena itu, jika seseorang menggunakan harta orang lain secara tidak sah, meskti tidak dengan cara dimakan, tetap termasuk pihak yang terlarang.

Selanjutnya penggunaan kata “lebih baik” (khairan خيرا).  Pada beberapa riwayat lain menggunakan sifat berbeda, seperti “lebih bersih” (أطيب)[2]; “Lebih dicintai Allah” (أحب إلى الله) [3]. Meski berbeda sebutan namun semuanya menunjukkan makna yang sama, yaitu hendak mengesankan bahwa kasab mandiri itu memiliki nilai tambah, paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek: Pertama, memberikan manfaat pada orang yang berkasab juga orang lain; Kedua, menyelamatkan dari pengangguran; Ketiga, mengekang dan menjaga kehormatan diri dari meminta-minta. [4]

Adapun penggunaan kalimat “bekerja dengan tangannya sendiri” (مِنْ عَمَلِ يَدِهِ) sebagai kalimat majas (kiasan) untuk kasab mandiri, karena penyebutan itu hanya menurut kelaziman bahwa orang bekerja  menggunakan tangannya. Dengan demikian, penyebutan tangan berlaku pula untuk profesi yang mengandalkan keterampilan organ tubuh lainnya, seperti pekerjaan yang menuntut keterampilan mata, pendengaran atau kaki.

Kedua, kalimat:

وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“dan sungguh Nabi Allah Dawud As. makan dari hasil kasabnya sendiri.”

Pada hadis Abu Huraerah (hadis ke-4) dengan redaksi:

أَنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Sungguh Nabi Dawud As. tidak makan selain dari hasil usaha tangannya.”

Pada hadis ini, jenis pekerjaan yang dikelola Nabi Dawud tidak disebutkan, namun kita telah maklum bahwa profesi beliau sebagai Empu, ahli membuat kapak dan baju besi (Zarrad). Keahlian itu sebagai anugerah Allah kepadanya, sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran berikut ini:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (10) أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (11)

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. (Kami berfirman), ‘Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,’ dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.”QS. Saba: 10-11

Pada mulanya, sebelum berprofesi sebagai Empu perkakas dan baju besi, Nabi Dawud mengandalkan kas Negara (Baitul Mal) untuk menutupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Namun setelah mendapat sindiran dari malaikat, yang menyamar seorang laki-laki, bahwa pada Dawud terdapat suatu pekerti yang mengurangi kesempurnaanya (kamil), yaitu makan dan menafkahi anak-anaknya dari baitul mal, maka Nabi Dawud As. menghadapkan diri kepada Tuhannya seraya berdoa, semoga Dia mengajarkan kepadanya suatu pekerjaan yang dilakukan tangannya sendiri sehingga menjadi orang yang berkecukupan dan dapat membiayai anak-anak dan keluarganya. Lalu Allah menjawab doa Nabi Dawud dengan melunakkan besi baginya dan mengajarkan kepadanya cara membuat baju besi.

Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Al-A’masy, dan lain-lainnya mengatakan bahwa untuk melunakkan besi bagi Nabi Dawud tidak perlu memasukkannya ke dalam tungku api, dan tidak perlu palu untuk membentuknya, tetapi Dawud dapat memintalnya dengan tangannya seperti halnya memintal kapas untuk menjadi benang. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya: buatlah baju besi yang besar-besar. (Saba: 11) Yaitu baju-baju besi yang dianyam lagi besar-besar.

Ayat selanjutnya: “dan ukurlah anyamannya.” (QS. Saba: 11) menunjukkan bahwa teknologi pembuatan baju besi diperoleh Dawud As. Langsung dari Allah. Petunjuk teknis produksi baju itu disebutkan Mujahid, ketika menjelaskan makna firman-Nya: dan ukurlah anyamannya. (Saba: 11), “Janganlah kamu menjadikan pakunya kecil karena akan membuatnya longgar pada lingkaran. Jangan pula kamu menjadikannya besar karena mengalami keausan, tetapi pakailah paku yang berukuran sedang.”

Menurut Ibnu Syauzab, Daud As. setiap hari dapat membuat sebuah baju besi, lalu ia menjualnya dengan harga enam ribu dirham; dua ribu untuk dirinya dan keluarganya, sedangkan yang empat ribu dia belikan makanan pokok untuk memberi makan kaum Bani Israil. Riwayat lain menyebutkan, sepertiga dari hasil penjualan itu dia sedekahkan, sepertiganya lagi ia belikan keperluan hidup untuk mencukupi keluarga dan anak-anaknya, sedangkan yang sepertiganya lagi ia pegang untuk ia sedekahkan setiap harinya, hingga selesai dari membuat baju besi lainnya.

Sejak itu, Nabi Dawud dikenal sebagai pelopor industri baju besi secara anyam (trend setter), sebab sebelum itu baju besi-hanya berupa lempengan-lempengan. Ini menunjukkan bahwa profesi Nabi Dawud berhubungan dengan bidang industri manufaktur, yaitu industri yang memproduksi barang dengan menggunakan tangan atau mesin. [5]

Dalam mengungkapkan profesi Nabi Dawud di atas, Rasulullah saw. menggunakan gaya bahasa Ithnab atau majas perifrasa, yaitu pengungkapan yang panjang sebagai pengganti pengungkapan yang lebih pendek, dengan teknik penyampaian: “menghubungan kata khusus kepada kata umum (‘athful khaash ‘alal ‘aam) atau “menuturkan makna khusus setelah makna umum (dzikrul khaash ba’dal ‘aam). Dalam hadis di atas, kalimat: dan sungguh Nabi Allah Dawud As. makan dari hasil kasabnya sendiri” setelah kalimat: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh.”  Karena cakupan makna seseorang (أحد) lebih umum, meliputi Nabi Dawud.

Mengkhususkan penyebutan profesi Nabi Dawud dalam susunan kalimat di atas untuk menguatkan hujah tentang keutamaan kasab mandiri. Jadi, hubungan hadis tentang Nabi Dawud ini (hadis ke-3 dan hafdis ke-4) dengan bab keutamaan “bekerja dengan tangan sendiri” dilihat dari kasab Nabi Dawud. Ia lebih mengutamakan memproduksi perkakas dan baju besi daripada mendapat bantuan dari kas Negara. Jadi, aksentuasi (penitikberatan) Imam al-Bukhari dalam hadis ini terletak pada kasab industri (الصناعة).

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Sunan Ibnu Majah, II:723, No. 2138.

[2] Redaksi selengkapnya:

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang melakukan kasab yang lebih suci daripada usaha dengan tangannya sendiri.” HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:723, No. 2138.

[3] Redaksi selengkapnya:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ مِنْكُمْ طَعَامًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ

 “Tidaklah seseorang di antara kamu mengkonsumsi makanan yang lebih dicintai Allah daripada yang diperoleh dari hasil usaha tangannya sendiri.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 131, No. 17.220.

[4] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 11: 187

[5] Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VI: 497-498

There is 1 comment
  1. That’s more than sebelnis! That’s a great post!

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}