Preloader logo

INDONESIA “GATAL” RADIKALISME

Ft Profil n KolomKetika cahaya Islam mulai menerangi pelosok bumi, melalui seorang rasul nan agung, Muhammad saw.  seluruh jiwa insan memperoleh nuur hidaayah (petunjuk) dan nuur sa’adah (kebahagiaan). Pada saat itu musuh-musuh Islam tidak dapat menyembunyikan rasa jengkel dan marahnya, manakala berhadapan dengan umat Islam, bukan karena kezalimannya tetapi karena kewibawaan dan keteguhan aqidah yang terhujam di dalam kalbu setiap insan beriman. Umat Islam ketika itu menunjukkan loyalitas dan komitmennya yang tinggi kepada Islam, dengan cara menyerahkan segala aktivitas kehidupannya hanya kepada Allah semata.

Kini umat Islam mulai dipandang sebelah mata oleh musuh-musuhnya, bukan karena jumlah yang sedikit atau prinsip-prinsip ajarannya yang berubah, tetapi karena umat Islam mulai meninggalkan komitmennya, dan membuang jauh aqidah islamiyyah dari dalam dirinya. Sedangkan musuh-musuh Islam senantiasa ingin menjatuhkan umat Muhamad ke dalam lembah kehinaan dengan segala cara yang mampu mereka lakukan. Berbagai taktik dan strategi mereka pergunakan. Gagal melalui penjajahan fisik dan serangan militer, mereka berusaha menjajah pemikiran umat Islam, secara politis maupun ekonomi, melalui lembaga pendidikan yang sengaja mereka dirikan. Bahkan mereka berusaha menguasai jaringan teknologi informasi untuk menciptakan image dan membentuk opini publik dengan cara memberikan kesan buruk tentang Islam dan umat Islam di mata dunia. Salah satu di antara kesan buruk yang dibentuk itu bahwa Islam adalah agama yang mentolelir kekerasan dan kekejaman, melalui ungkapan bahasa atau label yang mudah diingat oleh masyarakat seperti terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme.

Istilah terorisme kembali mencuat setelah terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon di Washington Amerika Serikat, 14 tahun silam.

Dengan merujuk kepada Afganistan, tempat Osama bin Laden menjadi tamu khusus milisi Taleban, pihak AS dan mereka yang tidak menyukai Islam bertekad menyerang sasaran-sasaran bernilai strategis di negara yang disebut oleh mereka “menyembunyikan teroris”. Sejak itu beberapa negara, termasuk Indonesia, menyatakan siap bekerja sama dengan AS untuk melawan terorisme. Sejak itu pula, terbentuk image (imaji) seakan-akan pelaku teror ini adalah umat Islam, dan label terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme identik dengan Islam dan umatnya.

Dewasa ini, saat isu ISIS mencuat, istilah terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme kembali menghangat. Label isme-isme itu telah menjadi hantu yang amat menakutkan, sekaligus label yang secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang, tanpa melihat duduk soal sebenarnya. Saking serampangannya, hanya karena bersikap tegas terhadap persoalan Bid’ah, misalnya, kini orang bisa saja dicurigai sebagai penganut, pengikut, bahkan penganjur terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme.

Di Indonesia, labelisasi isme-isme itu terus “digoreng” tanpa kenal waktu dan event hingga terasa renyah, tak terkecuali hajat KAA (Konferensi Asia Afrika) ke-60 yang baru lalu. Di sela-sela acara KAA ke-60 itu, Kamis, 23 April 2015, di Jakarta Convention Center, Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Republik Iran Hassan Rouhani sepakat melakukan kerja sama memberantas radikalisme dan terorisme.

Jika kita merujuk pengertian terorisme dan radikalisme secara netral atau lazim, tentu saja kesepakatan kerjasama itu sangat membingungkan namun juga menggelikan. Sebab, definisi terorisme dan radikalisme versi Indonesia—selain ambigu secara implementatif (penerapan)—sudah pasti berbeda dengan versi Iran.

Dalam pengertian netral atau lazim, terorisme adalah perbuatan dengan kekerasan yang menimbulkan kekacauan dan ketakutan pada rakyat. Sedangkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketika kepentingan pengguna label “ikut bermain”, maka secara implementatif kedua label ini seringkali dipisahkan dari makna lazimnya.

Cerita Alexander Agung (Alexander The Great) menangkap bajak laut, sangat tepat dijadikan contoh sebuah tafsir ketika penggunaan label itu di Barat sarat kepentingan.

Alexander: “Mengapa kamu berani mengacau lautan ? Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia ? Pembajak menjawab, “Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah perahu kecil. Aku disebut maling, kalian yang melakukannya dengan kapal besar disebut Kaisar/Raja.” Alexander berkomentar atas jawaban itu, “Sangat bagus dan jitu.”

Dari cerita di atas kita dapat mengambil pemahaman bahwa istilah terorisme pada umumnya ditujukan untuk aksi-aksi teror yang dilakukan oleh orang Arab. Sedangkan aksi-aksi oleh Kaisar (Amerika dan sekutunya) disebut “pembalasan” atau “serangan-serangan lebih dahulu yang sah untuk menghindari terorisme”. Oleh karena itu, dapat difahami jika pembantaian Israel terhadap pengungsi warga Palestina dikatakan bukan terorisme.

Nah, dalam konteks kepentingan kerjasama Iran-Indonesia, kita harus memahami apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri (pengkafiran). Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal, maka gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme. Ini berarti, terorisme dan radikalisme versi Iran dapat dimaknai sebagai “semua pihak yang menentang syiah”. Dengan begitu, label radikalisme secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang yang bersikap tegas terhadap Syi’ah di Indonesia.

Jadi, tidak salah jika kerjasama Iran-Indonesia untuk memberantas radikalisme dan terorisme ditafsirkan sebagai usaha Syiah-Iran untuk menghalangi sekaligus mengamankan usaha syiahisasi di Indonesia.

 

Menimbang Maslahat dan Madarat

Kerja sama Indonesia-Iran, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syiah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia. Kerjasama ini secara tidak langsung memberi jaminan keamanan dan kenyamanan “berkeyakinan” bagi penganut Syiah Indonesia, yang konon berjumlah 2.5 Juta orang. Anggap saja ini sebagai dampak positif kerja sama itu bagi sebagian kecil warga negara Indonesia. Namun, apa dampak positif bagi mayoritas warga Indonesia, yang notabene berbeda, bahkan bertentangan dengan keyakinan resmi Iran?

Syiah dan Iran ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Sejarah Syiah dalam banyak kasus telah menimbulkan konflik dan bahkan mampu mengambil alih pemerintahan. Di Indonesia selama ini, keberadaan Syiah—tanpa “dukungan resmi Iran” saja—telah berani “unjuk gigi” hingga menimbulkan konflik dengan umat Islam. Fakta yang ada menunjukkan terdapat 19 kejadian konflik Syiah dengan umat Islam, ditambah kasus Adz Dzikra menjadi 20 kasus. Setelah terwujudnya kerjasama Indonesia-Iran itu, diyakini konflik faktor Syiah ini akan kian memanas. Karena kerja sama dalam penanggulan terorisme dan radikalisme itu, selain menjadi “bola liar” dalam implementasinya, juga memuluskan “jalur pemasaran” ideologi-politik Syiah Iran yang mengarah kepada konsep Wilaayatul Faqiih sebagai pemegang kekuasaan Islam sedunia (lihat, Pasal 5 UUD Republik Iran). Cepat atau lambat nantinya akan terjadi benturan ideologi, bukan saja dengan umat Islam, namun ideologi negara. Karena ideologi Imamah Syiah Iran tidak dapat dipertemukan dengan ideologi manapun, termasuk NKRI. Ini berarti kerjasama itu akan membawa banyak madharat (mendatangkan keburukan) dibanding kebaikan bagi bangsa Indonesia.

Jika demikian halnya, mengapa rezim Jokowi-JK mau bekerjasama dengan Iran? Jawabnya, barter politik para tokoh Syi’ah Indonesia pada Pilpres 2014 lalu tidaklah sia-sia, karena kompensasi dukungan pada hajat demokrasi lima tahunan itu sedang mereka nikmati. Ini berarti, “manuver resmi” yang telah diupayakan mereka selama ini, tampaknya sedang “menuai hasil”.

Semoga saja, label terorisme dan radikalisme—yang secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang itu—tidak ditudingkan kepada saya—dan tidak meneror istri saya—gara-gara tulisan sederhana ini. He…he…

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}