Preloader logo

HARTA KITA BUKAN MILIK KITA (Bagian Ke-11)

 

Dalam kehidupan manusia diperlukan aturan, etika, norma, ataupun batasan-batasan. Nilai-nilai inilah yang akan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri ataupun ketika berhubungan dengan orang lain. Sebuah norma kehidupan yang harus senantiasa dijaga, dilindungi, diamalkan dan tidak boleh dirusak ataupun dilanggar. Akad (skim transaksi) adalah batasan-batasan kehidupan, yang membatasi hubungan manusia, mengatur kehidupan muamalah manusia, seperti halnya akad hutang atau janji-janji manusia terhadap Allah untuk selalu menjalankan syi’ar-syi’ar Allah, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya.

Islam memuliakan dan mensucikan akad-akad yang ada, dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menghormatinya walaupun akan dijalankan dengan orang non muslim. Di awal surat al Maidah Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai  orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” QS.Al-Maidah:1

Sehubungan dengan ayat itu, Ibnu Abas berkata:

قَوْلُهُ: {أوفوا بالعقود} يَعْنِي مَا أُحِلَّ وَمَا حُرِّمَ وَمَا فُرِضَ وَمَا حُدَّ فِي الْقُرْآنِ كُلُّهُ، فَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَنْكُثُوْا, ثُمَّ شَدَّدَ ذَلِكَ

“Firman-Nya (Aufu bil Uqud) yaitu apa yang dihalalkan, yang diharamkan, yang difardukan, dan semua yang ditetapkan batasannya di dalam Alquran, yaitu apa yang dihalalkan, yang diharamkan, yang difardukan, dan semua yang ditetapkan batasannya di dalam Alquran. Maka janganlah kamu melanggar dan menyalahinya. lalu ia menegaskan hal itu dengan firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Q.s.Ar-Ra’du:25).” HR. Ibnu Jarir.

Demikian pula keterangan Mujahid:

{أوفوا بالعقود} مَا عَقَدَ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ مِمَّا أُحِلَّ لَهُمْ وَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ

“Firman-Nya (aufu bil uqud) adalah sesuatu yang Allah mengadakan perjanjian dengan hamba-Nya, yaitu yang dihalalkan dan diharamkan bagi mereka.” HR. Ibnu Jarir.

Dalam ayat lain diggunakan kata ‘ahd (janji), seperti pada firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” QS. An-Nahl:91

Pandangan Islam terhadap akad dan janji tidak hanya berhenti di sini, Islam memposisikan keduanya sesuatu yang mulia dan harus dihormati dan dijaga. Akad mempunyai kedudukan yang cukup berarti bagi manusia. Akad akan menempatkan manusia dalam nilai-nilai kemanusiaannya. Hal itu dikarenakan pandangan Islam terhadap manusia, berusaha untuk mengangkat derajat mereka sampai pada kedudukan yang telah dikhususkan dan ditetapkan oleh Allah. Sehubungan dengan itu, Allah berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” QS.Al-A’raf:172

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Allah telah mengadakan transaksi dengan semua ruh manusia sebelum ruh itu dimasukkan ke dalam jasad. Hal itu menunjukkan bahwa semua manusia di hadapan Allah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yang harus dijalankan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia“ Q.s.al-Ahzab:72.

Dengan demikian Islam mendorong manusia untuk memegang amanah dengan penuh tanggung jawab, menjaga janji yang dilakukannya dan memenuhi segala hal yang terkandung di dalamnya. Setiap muslim mempunyai hak untuk membina kehidupan muamalah mereka berlandaskan atas nilai-nilai amanah dan menjaga perjanjian yang telah terjalin, sehingga akan mengangkat mereka pada kedudukan yang mulia di hadapan Allah.

Dalam setiap aturan syariat yang telah diturunkan Allah, berusaha untuk menjaga kesadaran dan hati manusia, kehadiran manusia di atas bumi berkaitan erat dengan Tuhannya, Allah akan menjaga mereka, sedangkan manusia akan memperhatikan dan menjalankan segala aturan Tuhannya, sehingga akan terbentuk hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

Dengan demikian, Allah telah memberikan dan menurunkan aturan (syariat) yang berfungsi untuk menjaga hubungan transendental dan horizontal yang dilakukan oleh manusia. Dalam konteks inilah akad, yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Dia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu akad merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

A. Pengertian Akad

Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh para fuqaha. Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan (diazamkan) orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (iraadah munfaridah) seperti wakaf, cerai dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (iraadatain) untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai.  Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh para fuqaha dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah akad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.

B. Rukun Akad

Dalam pengertian para fuqaha, rukun adalah pokok dan hakikat sesuatu dan ia merupakan bagian yang sangat penting dari sesuatu itu meskipun berada di luarnya. Seperti ruku’ dan sujud merupakan hakekat dan pokok shalat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat shalat. Dalam muamalah seperti ijab dan qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu aaqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma’qud alaih) dan shighatul aqd (bentuk kelaziman kontrak/transaksi).

Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli: “Saya jual buku ini kepada anda” adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual beli di sini qabul adalah ucapan si pembeli kepada si penjualan: “Saya beli buku ini” sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan.

Jika ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain, sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya, maka akan terjadi perubahan status hukum atas barang yang ditransaksikan, dalam contoh di atas berupa buku yang dijual.  Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan, yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.   Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad.

Dalam fikih muamalah ijab dan qabul itu merupakan komponen dari shighatul aqd, yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau aaqidan (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya), yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.

Ada sebuah pertanyaan, “Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Bagaimanakah kedudukan hukum jual beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa, seperti yang terjadi di pasar-pasar modern.

Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bit ta’athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia (‘urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena umum ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktek demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqaha (madzhab Hanafi) membolehkan, tidak saja dalam jual beli barang kecil seperti telur, roti dan lain-lain, tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan ‘urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.

Sekalipun pada umumnya para fuqaha menyepakati akad bit ta’athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk nikah (zuwaj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena nikah merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.

C. Orang yang melakukan akad (aaqidain)

Pihak yang menyelenggarakan akad ini bisa dalam posisi sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara suka rela, tanpa keterpaksaan.

1Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut awaaridh ahliyyah. Ada dua jenis awaaridh ahliyyah, yaitu samawiyyah dan muktasibahSamawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya, seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri, seperti mabuk dan utang. Dalam muamalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.

D. Barang dan Harga (al-Ma’qud Alaih)

Barang dan harga dalam akad jual beli disyarakatkan sebagai berikut: Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar’i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam (jual-beli dengan cara pembayaran di muka, barang kemudian). Selain itu, barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian.  Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya. Hal ini berbeda dalam transaksi sewa-menyewa (ijarah), yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.

 

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}