Preloader logo

HARTA KITA BUKAN MILIK KITA (Bagian Ke-10)

Mekanisme Pengelolaan Harta

A. Hak Mengelola

Kepemilikan telah didefiniskan sebagai suatu hukum syariat yang ditentukan pada zat benda atau kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barang itu diambil kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa, maupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya, seperti dibeli. Dengan perkataan lain, kepemilikan pada hakikatnya merupakan izin dari Allah sebagai “pemilik sejati” untuk suatu pemanfaatan.

Ketika harta itu merupakan milik Allah, sementara Allah telah menyerahkan kekuasaan atas harta tersebut kepada manusia melalui izin dari-Nya, maka perolehan seseorang terhadap harta itu sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memanfaatkan serta mengembangkan harta itu sebagai hak miliknya. Sebab, ketika seseorang memiliki harta, maka esensinya dia memiliki harta tersebut hanya untuk dimanfaatkan. Dalam hal ini, dia terikat dengan hukum-hukum syariat, tidak bebas mengelola secara mutlak, sebagaimana halnya dia tidak bisa bebas mengelola zat barang itu sendiri secara mutlak meskipun ia memiliki zatnya. Jadi, seseorang tidak boleh mengelola harta untuk memanfaatkannya dengan cara yang tidak sah menurut syariat, misalnya dengan menghambur-hamburkannya.

Teks asalnya berbunyi safhi. Safhi adalah tindakan menghambur-hamburkan harta, tanpa kendali. Safiih adalah sebutan bagi orang yang melakukan safhi. Dalam Islam, orang semacam ini tidak boleh dibiarkan mengelola hartanya sendiri, tetapi harus diangkat seorang washi yang bertugas untuk mengelola hartanya, sampai orang yang bersangkutan bisa normal dan bisa mengelola hartanya dengan baik.

Atau seseorang mempergunakannya untuk suatu kemaksiatan, maka negara wajib mengawalnya, dan melarangnya untuk mengelola, dus merampas wewenang yang telah diberikan oleh negara kepadanya.

Karena itu, mengelola dan memanfaatkan suatu zat benda itulah makna yang dimaksud dari adanya pemilikan zat benda tersebut, dan itu merupakan akibat dari adanya pemilikan tersebut. Sehingga hak mengelola suatu zat benda yang dimiliki itu juga mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan, seperti hadiah, hibbah, dan wasiat, maupun karena menjadi suatu nafkah, seperti ayah terhadap anaknya.

B. Pengembangan Kepemilikan

Pengembangan harta itu terikat dengan uslub (cara) dan faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Sedangkan pengembangan kepemilikan harta itu terkait dengan suatu mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Oleh karena itu, sebenarnya sistem ekonomi itu tidak membahas tentang pengembangan harta, melainkan hanya membahas tentang pengembangan kepemilikannya. Islam juga tidak pernah mengemukakan tentang pengembangan harta, bahkan menyerahkan masalah pengembangan harta tersebut kepada individu agar mengembangkannya dengan uslub dan faktor produksi apa saja yang menurutnya layak dipergunakan untuk mengembangkan harta tersebut.

Sementara itu, Islam mengemukakan masalah pengembangan kepemilikan harta, dus menjelaskan hukum-hukumnya. Dari sinilah pengembangan kepemilikan itu mesti terikat dengan hukum-hukum tertentu yang telah dibuat oleh Allah melalui Rasulullah (asy-Syari’), dan tidak boleh melampauinya. Asy-Syari’ juga telah menjelaskan garis-garis besar tentang mekanisme yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan tersebut, lalu menyerahkan detailnya kepada para mujtahid agar mereka menggali hukum-hukum itu sesuai dengan pemahaman terhadap fakta yang ada, serta pemahaman terhadap nash yang menjelaskan tentang mekanisme tertentu yang mengharamkan dan melarangnya, dari garis-garis besar tersebut. Maka, Asy-Syari’ telah menjelaskan mu’amalah dan transaksi-transaksi yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan tersebut, dus melarang seseorang untuk mengembangkan kepemilikan tersebut dengan suatu mekanisme yang khas.

Bagi orang yang meneliti beragam harta di dalam kehidupan dunia ini niscaya akan menemukan bahwa harta itu hanya terdiri atas tiga macam, yaitu tanah, harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang, serta harta yang diperoleh melalui perubahan bentuknya dari satu bentuk menjadi berbagai bentuk yang lain. Dari sinilah, maka sesuatu yang lazim dipergunakan oleh orang untuk menghasilkan harta atau mengembangkannya adalah pertanian, perdagangan dan industri. Jadi, mekanisme untuk meningkatkan pemilikan seseorang atas harta inilah yang menjadi topik pembahasan di dalam sistem ekonomi. Sedangkan pertanian, perdagangan dan industri adalah uslub dan faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Jadi, hukum-hukum yang terkait dengan pertanian, perdagangan dan industri itulah yang sebenarnya menjelaskan tentang mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengembangkan kepemilikannya atas harta tersebut.

Syariat telah menjelaskan hukum-hukum pertanian, ketika menjelaskan hukum-hukum tanah serta hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Syariat juga telah menjelaskan hukum-hukum perdagangan, ketika menjelaskan hukum-hukum jual beli, perseroan serta hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Syariat juga telah menjelaskan tentang industri, ketika menjelaskan hukum-hukum tentang ajiir (buruh/pekerja) dan produksi. Sedangkan tentang hasil produksi atau barang-barang yang dihasilkannya itu termasuk dalam masalah perdagangan. Oleh karena itu, pengembangan kepemilikan tersebut terikat dengan hukum-hukum yang telah dibawa oleh syariat, yaitu hukum-hukum tanah serta masalah-masalah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut, hukum-hukum jual-beli, perseroan serta masalah-masalah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut, serta hukum-hukum tentang ajiir dan produksi.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}