Preloader logo

“FIQIH PERMUSUHAN” ALA INDONESIA???

hh“Asma Nadia kembali kebakaran jenggot,” komentar seorang teman. “Emangnya kenapa, kan Mbak Asma gak berjenggot?” Saya balik bertanya sambil canda. Katanya, Mbak Asma Nadia curhat lewat tulisan yang dimuat di kolom Resonansi Republika, edisi Ahad 10 May 2015, dengan judul Fikih Permusuhan. “Emangnya ada gitu Fikih Permusuhan?” Tanya beberapa orang jamaah pengajian kepada saya. Dapat info demikian, segera saja saya meluncur ke “TKP” (Tempat Kejadian Perkara) alias kolom Resonansi Republika yang dimaksud.

Saya termasuk di antara sekian banyak orang yang cukup kagum dengan tulisan-tulisan Mbak Asma. Terlebih pecinta novel manapun di Indonesia tahu, tak kurang dari puluhan buah novel sudah beliau tulis, mayoritas best seller dan beberapa sudah diangkat ke layar lebar dan sinema elektronik. Tetapi ketika saya baca artikelnya, saya tak henti-hentinya menggelengkan kepala. Tak habis-habisnya berfikir keheranan setelah selesai baca tulisannya. Hmm, mungkin beliau belum sembuh lukanya akibat dikritik di film sebelumnya, ditambah lagi dengan kritikan baru.

Tulisannya tentang Fikih Permusuhan diawali oleh dialog Mbak Asma dengan seorang temannya—entah itu dialog imajiner atau real—tentang  fikih yang seharusnya sudah ada karena diperlukan sejak lama. Fikih Permusuhan katanya. Memang merdu terdengarnya. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa umat Islam hari ini seakan tidak mampu menentukan musuhnya dengan baik. Apakah memang begitu faktanya? Yang membuat saya tak henti-hentinya menggelengkan kepala saat Mbak Asma menyebutkan, “Jika ingin menghukum penjahat dari sekian banyak yang ada, utamakan pelaku yang kejahatannya paling berbahaya. Daripada mengkritik karya Islam secara terbuka, lebih baik kritisi karya jahiliyah yang jauh lebih buruk.” Siapa yang ingin menghukum “penjahat” dan siapa “pelaku kejahatan” yang dimaksud Mbak Asma? Mungkin, mereka yang mengkritik foto cover film yang baru akan tayang menampilkan laki-laki dengan perempuan seolah-olah berpelukan. Film tersebut berjudul “Surga Yang Tak Dirindukan” yang diadaptasi dari novel karya Mbak Asma dengan judul yang sama.

Alih-alih melindungi produksi film tersebut agar tidak diganggu oleh komentar-komentar miring terkait cover filmnya, justru tulisan Fikih Permusuhan itu “akan menambah” antrian sejumlah “musuh” baru.  Sebab, deretan contoh kasus—yang  “dijadikan dalih” perlunya fikih permusuhan, dan diamini Mbak Asma itu—timbul dalam kehidupan ini dinyatakan sebagai akibat tidak paham ‘fikih’ permusuhan. Lebih dari itu, Fikih Permusuhan yang digagas Mbak Asma, telah menjadikan fiqih permusuhan, yang sebenarnya telah jelas dalam Islam, menjadi bias. Terlebih lagi,    di akhir tulisan, Mbak Asma mengingatkan pembaca dengan firman Allah Swt.: “Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama mereka.” (QS al-Fath: 29).

Dengan pilihan ayat itu, bisa saja pembaca memahami bahwa kritik atau nasihat muslim atas muslim lainnya sebagai perilaku tidak meneladani akhlak Nabi, atau dapat pula dipahami bahwa Nabi saw., karena bersikap kasih sayang dan belas kasihan sesama muslim, beliau tidak pernah menegur mereka. Benarkah demikian? Jika bukan begitu maksudnya, maka pilihan sederet contoh dan firman Allah itu dapat mengaburkan makna ayat yang sesungguhnya.

 

Apa makna fiqih yang dikehendaki?

Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) atau akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan kata ilmu. Dalam Al-Qur’an terdapat 14 ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna literal yang berbeda-beda tersebut. Namun ada satu ayat yang memiliki konotasi bahwa fiqh adalah ilmu agama (QS. At-taubah [9]:13). Tetapi pengertian ilmu agama pada ayat ini masih sangat luas, meliputi berbagai ilmu agama secara umum. Ia bisa berarti ilmu tasawwuf atau sufisme (tariqat) sebagaimana dikatakan ahli sufi Farqad (W. 131 H) pada Hasan Al-Bashri (W. 110 H.).  Fiqh dapat juga berarti ilmu kalam (tauhid atau teologi), dan sebagainya.

Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum keluarga dan kemasyarakat (muamalat). Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, shaum, haji, berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama muslim dan kafir, sampai pada hal-hal yang bersifat bisnis dan politis.

Dalam perkembangan selanjutnya, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadis Nabi.

Saya sepakat dengan Bang Zaky, bahwa memunculkan fikih baru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tidak lantas ketika kita melihat hal yang tidak sesuai kemudian kita harus buat fikihnya. Didudukkan dulu permasalahannya; fikih itu apa, dan masalahnya apa. Barulah kita bisa menentukan apa yang menjadi solusinya. Bukan sekadar “akal-akalan” (uthak-athik waton gathuk) ketika ada masalah ‘begini’, kemudian harus ada hukum baru yang ‘begitu’. Ulama tidak hanya mengandalkan kecerdasannya menganalisis suatu masalah. Keshalihan mereka juga menjadi ‘sertifikat’ akan predikat ulama yang mereka emban. Lagipula, tentang permusuhan, dalam Islam jelas ada dalil yang mengatur kita untuk memusuhi sesiapa yang harus dimusuhi, dan berkawan dengan sesiapa yang patut dijadikan kawan. Jadi, seharusnya usulan tentang ‘fikih’ permusuhan ini sudah tertolak.

 

Siapa Musuh yang sesungguhnya?

Saat menjelaskan makna jihad, Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam masterpiece-nya (Mufradaat fii Ghariib al-Qur’aan: 101) menjelaskan:

إِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ مُدَافَعَةِ الْعَدُوِّ

“Jihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam melawan musuh.”

Merujuk pada definisi di atas, pada dasarnya objek jihad adalah musuh. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa musuh yang harus diperangi itu meliputi tiga macam: (a) musuh zhahir (kaum kafir), (b) musuh ghaib (setan), (c) musuh batin (hawa nafsu pribadi). Dengan demikian jihad terbagi kepada tiga bentuk (1) Jihad terhadap kafir, (2) jihad terhadap setan, (3) jihad terhadap diri sendiri.

Kata beliau lebih lanjut, ketiga bentuk jihad tersebut tercakup dalam firman Allah:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ …

“Dan berjihadlah kamu dengan sebenar-benar jihad …” QS. Al-Hajj : 78.

Dan firman Allah:

وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berjihadlah kamu dengan harta dan jiwa kamu pada jalan Allah. Hal itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” QS. At-Taubah : 41

Dan firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ …

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah…” QS. Al-Anfal : 72

Jihad melawan hawa nafsu hakikatnya adalah dasar dari jihad melawan orang kafir dan orang munafik karena seseorang tidak akan mampu berperang melawan mereka sampai dia berhasil menundukkan hawa nafsunya. Jihad melawan hawa nafsu berarti melatih diri dan berjuang melawan segala godaan dan kemauan hawa nafsu. Kita diperintahkan untuk bisa menundukkan hawa nafsu sehingga ia tunduk kepada perintah dan kehendak Allah Swt. (QS al-Nazi’aat [79]: 40-41).

Jabir bin Abdullah menjelaskan:

قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللهِ قَوْمٌ مِنْ غَزَاةٍ فَقَالَ : قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ. قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَاِد اْلأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قِيلَ :وَمَا الْجِهَاُد اْلأَكْبَرُ ؟ قَالَ :مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ.

“Sebuah kaum datang kepada Rasulullah saw. dari sebuah peperangan. Maka beliau bersabda, ‘Kalian telah datang pada sebaik-baiknya peperangan, kalian telah datang dari sebuah jihad yang kecil menuju jihad yang besar’. Beliau ditanya, ‘Apakah jihad yang besar itu’? Beliau bersabda, ‘Jihadnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya’.” HR. Al Baihaqi dan Al-Khatib Al-Baghdadi pada Tarikh-nya.

Melawan “musuh” diri sendiri berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk menyelamatkan hati dari akidah yang menyimpang, menyelamatkan lisan dan tangan dari perkataaan dan perbuatan maksiat, terutama dengan muka kebaikan, menyelamatkan diri dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-nya. Dengan semua itu terpeliharalah kehormatan dan keselamatan Islam dan kaum muslimin.

Seseorang bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz, “Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Jihad melawan hawa nafsumu.” (Al-Kamil, Juz 1, hlm. 150) Pertanyaan dan jawaban yang sama pernah diajukan pula pada Hasan Bishri.

Malik bin Dinar berkata, “Berjihadlah kamu terhadap hawa nafsu kamu sebagaimana kamu berjihad terhadap musuhmu.” (Al-Kamil, Juz 1, hlm. 209)

Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Zad al-Ma’ad menjelaskan bahwa jihad itu bermacam-macam. Pertama, jihad melawan hawa nafsu, yaitu dengan berusaha mempelajari hidayah Allah SWT, mengamalkannya, berdakwah kepadanya, dan bersabar dalam dakwah tersebut.
Kedua, jihad melawan godaan setan dengan berusaha menolak segala bentuk syubhat (samar-samar) yang merusak keimanan, dan berusaha menolak segala bentuk godaan nafsu dan syahwat.
Ketiga, jihad melawan orang kafir dan kaum munafik dengan hati, lisan, harta, dan jiwa. Keempat, jihad melawan orang-orang zalim dan fasik dengan tangan jika tidak mampu dengan lisan dan hati.
Jihad melawan godaan dan rayuan setan, jihad dalam berdakwah menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, jihad dengan menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim, dan jihad dengan berperang melawan musuh-musuh Allah Swt.
Para ulama menjelaskan bahwa berjihad melawan orang-orang kafir dan fasik termasuk yang paling berat bagi hawa nafsu karena dalam jihad ini nyawa, harta, dan kehormatan dikorbankan dan pengorbanan itu sangatlah berat bagi hawa nafsu.
Maka, jika seseorang tidak berjihad melawan hawa nafsunya dan membiasakannya untuk melakukan ketaatan maka kemungkinan besar ia tidak akan mau melakukan jihad melawan orang-orang kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Jadi, jihad melawan hawa nafsu bukan untuk menghentikan jihad qital (berperang) melawan kaum kafir dan munafik yang membunuh dan mengusir orang Islam dari kampung halamannya serta memerangi agama Allah.

Berbagai keterangan di atas lebih dari cukup menjelaskan siapa sebenarnya musuh kita. Konsep musuh dan permusuhan yang dirumuskan para ulama di atas kiranya lebih jelas daripada konsep Fikih Permusuhan ala Mbak Asma.

Kalau ditanya, mengapa lebih semangat ngurusin orang Islam yang berkarya daripada ngurusin orang yang terang-terangan berbuat jahat? Jawabannya cukup jelas, karena seorang muslim harus lebih peduli dengan sesama muslim yang memegang teguh keislamannya. Agar mereka tidak terjerumus ke dalam lubang nista. Sudah semestinya jika seorang muslim tidak tega melihat saudaranya terkena fitnah hanya karena hal yang menurut publik adalah hal sepele. Apalagi kalau memang mau mengadakan fikih baru, kita semua harus paham dalam kaidah ushul fiqh terdapat tindakan preventif yang disebut sadd adz-dzari’ah, yakni menutup pintu-pintu masuknya dosa.

Benar apa yang dikatakan Bang Zaky, daripada repot-repot buat ‘fikih’ permusuhan, apakah tidak lebih elok kita buat Fikih Perfilman? Supaya film—yang berlabel (islami)—yang dibuat itu benar-benar islami, tidak melanggar syariat, apalagi menimbulkan fitnah.

Jadi penting untuk dipahami oleh kita bersama bahwa kritik atau nasihat seorang muslim atas muslim lainnya itu menunjukkan sikap kepedulian. Tidak tepat kirannya jika hal itu dianggap sebagai permusuhan.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}