Preloader logo

FIQIH DUIT (Bagian Ke-9)

Pada edisi sebelumnya telah ditampilkan beberapa pandangan ulama mutaqaddimin (abad I – V H) dalam menjelaskan karakteristik riba Jahiliyyah, yang populer disebut riba nasi’ah, yaitu unsur riba pada hutang yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayar tambahan atas harta pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu. Meski ada pula yang berpandangan bahwa unsur riba terdapat pula pada jual-beli secara tempo/kredit dengan syarat si pembeli bersedia membayar tambahan atas harga pokok sebagai imbalan perpanjangan waktu.

Pada edisi ini akan ditampilkan pandangan ulama periode berikutnya (abad VI – X) agar diketahui, apakah terjadi pengembangan pemikiran dalam memaknai riba ataukah tidak? Berbagai pandangan itu pada dasarnya dibutuhkan dalam upaya “menemukan” sifat kezaliman yang terkandung dalam sistem riba sebagai ‘illat (motif hukum) pengharamannya.

Pandangan ulama mutawasithin (abad VI – X)

Imam as-Sarkhasi (W. 483 H) berkata:

الرِبَا هُوَ الْفَضْلُ الْخَالِيْ عَنِ الْعِوَضِ الْمَشْرُوْطُ فِي الْبَيْعِ

“Riba adalah tambahan tanpa adanya iwadh (transaksi pengganti atau penyeimbang) yang disyaratkan dalam jual-beli.” (Lihat, Al-Mabsuth, XII:109)

Ibnul ‘Arabi (W. 543 H) berkata:

الرِّبَا فِي اللُّغَةِ هُوَ الزِّيَادَةُ وَالْمُرَادُ بِهِ فِي الأَيَةِ كُلُّ زِيَادَةٍ لَمْ يُقَابِلْهَا عِوَضٌ

“Riba secara bahasa adalah kelebihan atau penambahan, dan yang dimaksud dengan riba dalam ayat (Alquran) itu adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang.” (Lihat, Ahkam al-Qur’an, I: 486)

Fakruddin ar-Razi (W. 604 H) berkata:

أَنَّهُمْ كَانُوْا يَدْفَعُوْنَ الْمَالَ عَلَى أَنْ يَأْخُذُوْا كُلَّ شَهْرٍ قَدْرًا مُعَيَّنًا وَيَكُوْنُ رَأْسُ الْمَالِ بَاقِيًا, ثُمَّ إِذَا حَلَّ الدَّيْنُ طَالَبُوْا الْمَدِيْنَ بِرَأْسِ الْمَالِ فَإِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ الأَدَاءُ زَادُوْا فِي الْحَقِّ وَالأَجَلِ. فَهذَا هُوَ الرِّبَا الَّذِيْ كَانُوْا فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَتَعَامَلُوْنَ بِهِ

“Sesungguhnya mereka menyerahkan/meminjamkan dana (dengan syarat) mereka akan mengambil setiap bulannya besaran tertentu (tambahan), sedangkan harta pokoknya tetap. Apabila telah jatuh tempo, mereka menuntut pengembalian harta pokok itu. Jika si peminjam kesulitan membayar, mereka menambah hak dan tempo (pembayaran). Inilah riba yang dilakukan kaum jahiliyah.” (Lihat, Mafatih al-Ghaib, VII:72)

Imam an-Nawawi (W 676 H) berkata:

طَلَبُ الزِّيَادَةِ فِي الْمَالِ بِزِيَادَةِ الأَجَلِ

“Menuntut tambahan atas harta pokok karena penambahan waktu.” (Lihat, al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, IX:442)

Badruddin al-‘Aini (W. 855 H) berkata:

الزِّيَادَةُ عَلَى أَصْلِ مَالٍ مِنْ غَيْرِ عَقْدِ تَبَايُعٍ

“Riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya akad jual-beli.” (Lihat, Umdah al-Qari, juz V, h. 436)

Berbagai penjelasan ulama di atas tampak jelas menunjukkan bahwa pada periode ini (mutawasithin abad VI – X) masih terdapat sebagian ulama yang memegang teguh dua “arus pemikiran” ulama mutaqaddimin (abad I – V H) tentang riba, yaitu: (1) unsur riba terdapat pada hutang uang, dan (2) unsur riba terdapat pada jual-beli secara tempo/kredit.

Meski begitu, mayoritas ulama pada periode ini memaknai riba lebih luas, sehingga karakteristik riba bukan hanya terdapat pada hutang uang dan jual-beli secara kredit semata, namun bisa saja terjadi pada beragam transaksi. Pemikiran ini tercermin dalam pandangan Ibnul ‘Arabi (W. 543 H) sebagai berikut:

الرِّبَا فِي اللُّغَةِ هُوَ الزِّيَادَةُ وَالْمُرَادُ بِهِ فِي الأَيَةِ كُلُّ زِيَاد%8

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}