Preloader logo

FIQH SIYASAH ALA METODE NABI (BAGIAN II)

B. Objek kajian Fiqh Siyasah
Objek kajian fiqh siyasah meliputi:
1. Fiqh Dustury atau siyasah dusturiyyah
2. Fiqh Maliy atau siayasah maliyyah
3. Fiqh Dawliy atau siayasah dauliyyah
4. Fiqh Harbiy atau siayasah harbiyyah
Pembidangan-pembidangan di atas, tidak selayaknya dipandang sebagai “pembidangan yang telah selesai”. Pembidangan fiqh siyasah telah, sedang dan akan berubah sesuai dengan pola hubungan antar manusia serta bidang kehidupan manusia yang membutuhkan pengaturan siyasah.

Dalam tulisan ini akan diuraikan secara ringkas tiga bidang saja yang menjadi objek kajian fiqh siyasah di atas, yaitu:

1. Fiqh Dustury atau siyasah dusturiyyah
Secara istilah diartikan kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi). Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan dalam pembuatan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa membedakan status manusia.
Ruang lingkup bidang ini, menyangkut masalah hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat maupun lembaga-lembaga yang berada di dalamnya. Karena terlalu luas, kemudian diarahkan pada bidang pengaturan dan perundang-undangan dalam persoalan kenegaraan. Bidang siyasah dusturiyah, antara lain meliputi persoalan; a) imamah; hak dan kewajibannya, b) rakyat; hak dan kewajibannya, c) bai’at, e) perwakilan, f) ahlu halli wa al-‘aqdi, dan g) wuzara.
2. Fiqh Maliy atau siyasah maliyyah
Siyasah maliyyah merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pemerintahan Islam yang mengatur anggaran pendapat dan belanja negara. Dalam kajian ini dibahas sumber-sumber pendapatan negara dan pos-pos pengeluarannya. Sumber-sumber yang ditetapkan syara antara lain zakat, Anfal atau Ghanimah, khumus, al-fai’, al-Kharaj, al-jizyah, ‘usyur.
3. Fiqh Dawliy atau Siyasah Dawliyyah
Siyasah dawliyah adalah bagin dari fiqh siyasah yang membahas tentang hubungan satu negara dengan negara lain. Perjanjian antar negara dan adat kebiasaan menjadi dua sumber yang terpenting dalam hubungan damai antar negara tersebut. Dalam kajian selanjutnya, hal ini dikenal dengan hubungan internasional. Pada mulanya hubungan ini terjadi akibat perang, karena setiap negara wajib mempertahankan eksistensinya dari serangan musuh.
Dalam dunia Islam dikenal orang yang dianggap ahli dibidang hukum internasional, yaitu Muhammad ibn Hasan Al-Syaibaini (132-189 H) murid Abu Hanifah dan guru al-Syafi’i menyusun buku al-Siyar al-Kabir, diantara isinya : a) status orang asing dan perlakuannya, b) para duta besar, c) negara dibagi menjadi damai, netral dan negera yang menyerang, d) wajib mentaati perjanjian, e) etika dalam perang, f) hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata internasional.
Dasar-dasar siyasah dawliyah adalah
a. Kesatuan umat manusia, sesuai aspirasi surat Al-Baqarah:213, An-Nisa:1, al-Hujurat:13
b. Al-‘Adalah (keadilan), keadilan dapat diwujudkan jika didasari oleh pemahaman manusia tentang perlunya hidup berdampingan antar manusia maupun antar berbagai negara (Q.s. Al-Maidah:8, Al-Nisa: 135)
c. Kehormatan manusia (karomah insaniyyah), dipahami sebagai bentuk penghormatan kepada setiap manusia dengan tidak membeda-bedakan yang lain (Q.s. al-Isra : 70 dan Al-Hujarat : 11).
d. Toleransi (Tasamuh), sikap bijaksana, pemaaf dan menghindari sikap dendam (Q.s. Fushshilat:34 dan al-Nahl:126-127)
e. Kerjasama, hal ini diperlukan karena manusia memilki sifat ketergantungan kepada orang lain (negara lain).
f. Al-Hurriyah (kemerdekaan), kemerdekaan yang diawali oleh individu yang selalu dibimbing keimanan. Bukan bebas mutlak, akan tetapi bertanggung jawab terhadap Allah, untuk keselamatan manusia di muka bumi. Islam memberi ruang yang cukup luas untuk bebas berfikir, beragama, menyampaikan pendapat, menuntut ilmu serta mempunyai harta benda.
g. Al-Akhlaq Al-Karimah (moralitas yang baik); hubungan baik antar manusia, antar ummat, antar bangsa bahkan bersikap baik terhadap bi’ah (lingkungan hidup).Penjelasan secara rinci beberapa aspek persoalan tersebut akan dibahas selanjutnya, terutama dilihat dari kontekstualisasi dalam sistem negara Indonesia.

C. Metode Mempelajari Fiqh Siyasah
Penerapan siyasah tidak boleh bertentangan dengan dalil yang bersifat kully, sekalipun ia terikat oleh masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode, yang dapat mengakomodir masalah-masalah yang bersifat kondisional dan situasional, sekaligus tidak menafikan daya ikat dalil-dalil yang bersifat kully. Dengan kata lain, dipihak yang satu, mampu menyelesaikan masalah insaniyah; dan dipihak yang lain, mampu menyelesaikan dengan nilai uluhiyah.
Sebagai catatan, dalil kulli adalah satuan-satuan dalil yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah tertentu dan tidak menunjuk kepada suatu hukum perbuatan tertentu, tetapi menunjuk kepada ketentuan umum, antara lain mashadir al-ahkam as-syar’iyyah (sumber-sumber hukum syara), seperti Alquran, sunah, ijma, dan Qiyas dari segi kedudukan dan kehujjahannya dalam istidlal (digunakan sebagai dalil syar’i).

Metode yang digunakan untuk mempelajari fiqh siyasah tidak berbeda dengan metode yang dipakai dalam mempelajari fiqh lain, semisal fiqh munakahat dan fiqh mawarist. Dalam kaitan ini, digunakan ‘ilm ushul al-fiqh dan qawa’id fiqhiyyah. Dibandingkan dengan fiqh-fiqh yang disebutkan di atas, penggunaan metode ini dalam fiqh siyasah terasa lebih penting. Alasannya, masalah siyasah tidak diatur secara terperinci oleh syari’at dalam Alquran dan Hadis.
Secara umum, dalam fiqh siyasah, digunakan metode-metode ushul al-fiqh, seperti (1) ijma; (2) qiyas; (3) al-maslahah al-mursalah; (4) sadd al-dzari’ah; (5) al-‘adah; (6) al-istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyyah.
1. Ijma’
الإِجْمَاعُ هُوَ اتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنْ أُمَّةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم عَلَى حُكْمٍ
Al-Ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) para mujtahid dari umat Nabi saw. terhadap suatu hukum. (Lihat, at-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul, al-Asnawi, hal. 451)
Para ulama berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena dalilun ‘ala wujud dalilin (menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah).
2. Al-Qiyas
Al-Qiyas dalam fiqh siyasah, digunakan untuk mencari ‘umum al-ma’na; mencari illat hukum. Dari sejumlah definisi atau pengertian yang dikemukakan, baik dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik maupun kontemporer, sama-sama menyebutkan bahwa ‘illat itu merupakan sesuatu dan mendorong yang memberitahu atau sesuatu yang menjadi tambatan hukum. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara rumusan ‘illat yang dikemukan dalam buku-buku Ushul Fiqh klasik dan kontemporer. Dalam buku-buku klasik ‘illat dirumuskan lebih melihat pada fungsinya dan tidak menyebutkan kriterianya, sehingga ‘illat dirumuskan dengan ungkapan bahwa ‘illat itu sesuatu yang memberitahukan, yang mendorong, yang menjadi motif dan atau yang menjadi pautan dan tambatan hukum. Imam al-Ghazâlî misalnya, dalam kitab al-Mustashfâ menyebut ‘illat hukum itu dengan manâth al-hukm (مناط الحكم) yaitu pautan hukum. Selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan bahwa ‘illat dalam pengertian syar‘î adalah:
مَنَاطُ الْحُكْمِ أَيْ مَا أَضَافَ الشَّرْعُ الْحُكْمَ إِلَيْهِ وَنَاطَ بِهِ
“Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syâri‘ menggantungkan hukum dengannya”. (Lihat, Al-Mustasfâ fi ‘Ilm al-Ushul, h. 395)

Sementara dalam pemikiran Ushul Fiqh kontemporer ‘illat dirumuskan bukan saja melihat pada fungsinya tetapi juga melihat pada kriterianya. Hal ini, misalnya, terlihat dalam buku-buku Ushul Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah dan Zakî al-Dîn Sya‘bân, Abd al-Wahhâb Khallâf dan Abd al-Karîm Zaidân bahwa ‘illat dirumuskan secara lebih tegas, rinci dan jelas kriterianya serta dijelaskan pula sifat-sifat atau keadaan yang dapat dijadikan ‘illat dalam menetapkan hukum. Muhammad Abû Zahrah, misalnya, dalam bukunya Ushûl Fiqh, menyebutkan definisi ‘illat sebagai berikut:
الْعِلَّةُ بِأَنَّهَا الوَصْفُ الظَّاهِرُ المُنْضَبِطُ المُنَاسِبُ لِلْحُكْمِ
‘Illat ialah suatu sifat atau keadaan yang jelas, pasti, lagi serasi sebagai (dasar) penetapan hukum.

Untuk memperjelas pengertian ‘illat di atas, Abû Zahrah mengemukakan sebuah contoh, yaitu tentang pengharaman khamar yang ‘illat-nya memabukkan yang disebut dengan Iskâr. ‘Illat “memabukkan” adalah suatu sifat atau keadaan yang jelas dan tegas yang dapat dibuktikan secara kongkrit serta ternyata memang pantas, serasi dan sangat tepat untuk dijadikan sebagai dasar pensyariatan hukum untuk pengharaman khamar. (Lihat, Ushûl al-Fiqh, h. 237)

Kemudian, sesuatu yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum itu ada yang dapat dipahami hubungannya dengan ketentuan hukum yang ditetapkan dan ada yang tidak. Terhadap yang dapat dipahami hubungannya antara apa yang menjadi alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan, maka itulah yang disebut dengan ‘illat hukum.

Akan tetapi, terhadap yang tidak dapat dipahami hubungan antara apa yang menjadi dasar atau alasan penetapan hukum dengan ketentuan hukum yang ditetapkan disebut dengan sebab (السبب).
Pada dasarnya, baik ‘illat maupun sebab, keduanya sama-sama menjadi dasar atau alasan yang melatarbelakangi adanya ketetapan hukum.

Dengan penggunaan al-qiyas, hukum dari satu masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat yang berbeda, jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai illat hukum yang sama dengan masalah yang disebutkan pertama. Berkenaan dengan penggunaan al-qiyas, berlaku kaidah:
أَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
“Hukum berputar bersama illatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya illat hukum tersebut.”
Penggunaan al-qiyas sangat bermanfaat, terutama dalam memecahkan masalah-masalah baru. Akan tetapi, nyatanya, tidak semua masalah baru dapat dipecahkan dengan penggunaan al-qiyas. Dalam keadaan demikian, digunakan metode lainnya.
3. Al-Mashlahah al-Mursalah
Pada umumnya, al-mashlahah al-mursalah digunakan dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh syari’at; Alquran dan al-Sunnah. Oleh karena itu, penerapan al-mashlahah al-mursalah harus didasarkan pada hasil penelitian yang cermat dan akurat; dan, dalam kepustakaan fiqh, dikenal dengan istilah istiqra’. Tanpa penelitian seperti itu, penggunaan al-mashlahah al-mursalah tidak akan menimbulkan kemashlahatan, tetapi justru sebaliknya mengakibatkan kemafsadatan. Sehubungan dengan itu, para ulama mensyaratkan penggunaan al-mashlahah al-mursalah. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah menetapkan tiga syarat, yaitu:
a. Keharusan adanya persesuaian antara “kemashlahatan” dengan maqasid al-syari’ah. Artinya, pemahaman dan pelaksanaan “kemaslahatan” (yang ditetapkan sesuatu masyarakat, dan terutama penguasanya) tidak boleh bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam dan apalagi bertolak belakang dengan dalil yang qath’i. kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki syara’.
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat ma’qul. Artinya, masyarakat, terutama para pemegang otoritas dibidang keilmuan, akan menerimanya sebagai sesuatau yang masuk akal (rasional).
c. Pelaksanaan kemaslahatan tersebut tidak boleh menimbulkan kesulitan, tapi mendatangkan kemudahan. (Lihat, Usul al-Fiqh, Abu Zahrah, hal. 279-280)
Persyaratan lain yang diajukan oleh Abd al-Wahab al-Khalaf, yang meliputi:
a. Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan yang meyakinkan (haqiqiy), bukan kemaslahatan yang meragukan. Oleh karena itu, meski berdasarkan kepada hasil penelitian yang mendalam.
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat umum, bukan bersifat khusus. Artinya, lebih banyak memaslahatkan masyarakat secara keseluruhan daripada sekelompok orang atau seseorang tertentu.
c. Kemaslahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syari’at, baik yang ditetapkan nash atau ijma’. (Lihat, Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf, hal. 99-100)
Persyaratan yang dikemukakan kedua ulama di atas, Muhammad Abu Zahrah dan Abd al-Wahab al-Khalaf, memiliki persamaan dan perbedaan tertentu. Sarat pertama dan kedua dari Abu Zahrah sama dengan syarat pertama dan ketiga dari Abd al-Wahab al-Khalaf, sedangkan syarat ketiga dari Abu Zahrah berbeda dengan syarat kedua dari Abd al-Wahab al-Khalaf.
Jika persyaratkan yang dikemukakan oleh kedua ulama tersebut di atas digabungkan, maka persyaratan al-maslahah al-mursalah meliputi:
a. Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran, dalil kully, dan dalil qath’iy (wurud dan dalalahnya).
b. Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang meyakinkan arti “kemaslahatan” tersebut didasarkan kepada penelitian ilmiah yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan bahwa ia benar-benar dapat mendatangkan kemanfaatan, dan menghindarkan kemadaratan.
c. Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang dapat memberi manfaat kepada sebagian besar, bukan sebagian kecil masyarakat.
d. Keharusan menetapkan “kemaslahatan” yang memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan.
4. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah
Dalam fiqh siyasah, Sadd al-Dzari’ah digunakan sebagai upaya pengendalian masyarakat untuk menghindari kemafsadatan. Sebaliknya Fath al-Dzari’ah digunakan sebagai upaya perekayasaan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan. Saad al-Dzari’ah dan Fath Dzari’ah merupakan “alat” bukan “tujuan”.
Contoh Saad al-Dzari’ah di dalam fiqh siyasah, antara lain: pemberlakuan jam malam oleh ulu al-amr pada masa-masa genting, larangan membawa senjata ketika terjadi kekacauan. Pembuatan peraturan tentang sistem pendidikan dalam rangka membentuk manusia-manusia yang bertakwa kepada Allah swt. merupakan salah satu contoh fath al-dzari’ah. Pengendalian dan perekayasaan berdasarkan Saad al-Dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku.
Sehubungan dengan Saad al-Dzari’ah dan fath al-dzari’ah ini, berlaku kaidah fiqh:
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum ‘alat’ sama dengan hukum ‘tujuan’-nya.” (Lihat, Majmu’ah al-Fawaid al-Bahiyyah ‘ala Manzhumah al-Qawaid al-Bahiyyah, hal. 79)
Artinya, jika tujuan sesuatu pengendalian dan perekayasaan sosial itu hukumnya wajib, maka cara mencapai hal tersebut juga wajib. Demikian pula sebaliknya. Apabila tujuan yang akan dicapai itu hukumnya haram, maka cara yang menuju kepada pencapaian yang haram tersebut pun haram. Dengan Saad al-Dzari’ah dan fath al-dzari’ah eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta pengendalian dan atau perekayasaan sosial lain yang dapat mengundang kemaslahatan, sekaligus dapat menolak kemafsadatan.
Dalam kehidupan keseharian, contoh pengendalian dan perekayasaan masyarakat yang didasarkan pada metode sadd al-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah sangat banyak. Pelaksanaan peraturan perundangan tentang lalu lintas, pengawasan terhadap obat dan makanan, pembagian eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dan hal lain-lain.
5. Al-‘Adah
Metode ketiga yang banyak digunakan dalam fiqh siyasah adalah al-‘adah. ‘Adah ini ada dua macam, yaitu al-‘adah ash-shahihah dan al-‘adah al-fasidah. Al-‘adah ash-shahihah yaitu adat yang tidak menyalahi syara’, sedangkan al-‘adah al-fasidah yaitu adat yang bertentangan dengan syara’.
Al-‘Adah dan al-mashlahah al-mursalah berhubungan erat bahkan al-‘adah ash shohihah pada umumnya berfungsi untuk memelihara dan menjaga kelangsungan kemaslahatan. Perbedaan pokok antara al-‘adah dan al-maslahah al-mursalah, antara lain, bahwa di dalam pengertian al-‘adah terdapat unsur waktu. Al-‘Adah itu dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Sebaliknya, dalam al-maslahah al-mursalah, unsur waktu seperti itu tidak merupakan persyaratan mutlak. Kemaslahatan dapat merupakan sesuatu yang telah, sedang, dan akan timbul. Dilihat dari unsur waktu, kemaslahatan memiliki tiga kemungkinan. Kemungkinan terjadi masa lampau, masa kini dan masa. Tukar menukar barang dan jasa antar bangsa yang bersahabat merupakan salah satu contoh al-‘adah ash-shahihah. Ini, dalam fiqh siyasah tidak dikenal pencapaian tujuan dengan cara yang salah.
6. Al-Istihsan
Menurut ulama ushul fiqh, al-istihsan ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Perbedaan antara qiyas dengan istihsan di satu pihak dengan al-mashlahah al-mursalah dipihak lain adalah di dalam al-Qiyas dan al-Istihsan ada perbandingan. Misalnya, di dalam al-qiyas, ada perbandingan antara ‘cabang’ (al-furu’) dengan ‘pokok’ (al-ashl). Di dalam al-istihsan, terdapat perbandingan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Sebaliknya, di dalam al-maslahah al-mursalah, perbandingan seperti itu tidak ada, karena hanya melihat kepada kemaslahatan umat.
7. Kaidah-kaidah Kulliyah Fiqhiyah
Kaidah-kaidah fiqhiyyah kulliyah sebagai teori ulama banyak digunakan untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, perlu memperhatikan kekecualian-kekecualian dan syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh, kaidah al-‘adah muhakamah tidak selalu dapat diterapkan pada pelbagai macam kebiasaan. Ia hanya berlaku dalam adat yang dikategorikan sebagai al-‘adah ash shohihah. Dalam pada itu, al-‘adah ash-shahihah tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yang banyak diulas dalam kitab-kitab ushul fiqh.
Kaidah-kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:
الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُودًا وَعَدَمًا
Hukum berputar bersama ‘illat hukum. Ada dan tidak adanya hukum bergantung atas ada dan tidak adanya ‘illat hukum. (Lihat, Kifayah al-Akhyar, II:144)
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الأَزْمَانِ
Tidak dipungkiri hukum berubah sejalan dengan perubahan zaman. (Lihat, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Mustafa az-Zarqa, hal. 129)

Maksudnya setiap hukum syariat yang tidak ditetapkan batasannya, baik secara syar’I maupun lughawi, maka ketetapannya berdasarkan urfi’ atau adat. Maka batasan hukum berdasarkan urfi’ atau adat itu akan senantiasa berubah sejalan dengan perubahan adat penduduknya pada suatu tempat dan masa tertentu.

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ وَ جَلْبُ الْمَصَالِحِ
Menolak kemafsadatan dan meraih kemaslahatan.
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Perlakuan pemimpin terhadap rakyat disesuaikan dengan kemaslahatan. (Lihat, al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nujaim, hal. 123)
Dengan demikian, fiqh siyasah harus diorientasikan kepada penolakan kemafsadatan sebanyak mungkin, dan pada saat yang sama pencapaian kemaslahatan sebanyak mungkin.
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila terjadi kontradiksi dua kemafsadatan, maka yang dipertimbangkan adalah yang paling besar madaratnya dengan melakukan/mengambil yang lebih ringan madaratnya.” (Lihat, al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nujaim, hal. 89)
Maksudnya, apabila dihadapkan kepada dua kemafsadatan yang saling bertentangan, maka yang perlu diperhatikan adalah menolak salah satu kemafsadatan yang kadar madharatnya lebih besar, dan pada saat yang sama menerima salah satu kemafsadatan yang kadar kemadharatannya lebih kecil.
Tidak jarang Ulul Amr dihadapkan kepada beberapa hal yang madharat bagi umatnya. Dalam keadaan demikian, ulul amr harus mampu memilih sesuatu yang memiliki tingkat kemdharatan paling kecil, dan pilihan itulah yang harus dilaksanakannya.

Dalam keadaan yang sulit menentukan keputusan mana yang didahulukan antara manfaat dan madharatnya, dengan kadar yang sama, digunakan kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan. (Lihat, Syarh Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, hal. 27)
Apabila ada kemaslahatan, namun sasaran kemaslahatan tersebut tidak merata maka dipakai kaidah:
إِعْتِبَارُ الْمَصْلَحَةِ الْعَامَّةِ مُقَدَّمٌ عَلَى اعْتِبَارِ الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ
Pertimbangan kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan khusus. (Lihat, Taisir Ilm Ushul al-Fiqh, hal. III:63)

Mendapatkan sesuatu yang baik, namun tidak memenuhi syarat, yang ada, sering terjadi. Misalnya, dalam pemilihan seorang pemimpin untuk mengisi jabatan tertentu, sulit menemukan figur yang sempurna. Akan tetapi, jika tidak ada pemimpin sama sekali, dapat menimbulkan kekacauan. Dalam keadaan semacam ini, digunakan kaidah:
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ كُلُّهُ
Jika tidak dapat melaksanakan seluruhnya, secara sempurna, maka tidak harus tinggalkan seluruhnya. (Lihat, Syarh Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, hal. 27)
Barangkali kaidah ini mirip dengan pribahasa: “kalau tidak ada rotan, akar pun jadi”. Meskipun demikian, tidak berarti harus menghentikan usaha dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Upaya penolakan atas kemadharatan atau kemafsadatan di dalam kehidupan bersama tidak boleh dilakukan dengan cara yang memadharatkan dan memafsadatkan. Imperatif seperti itu terkandung dalam kaidah:
الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ
Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi. (Lihat, al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nujaim, hal. 87)

Berbagai metode fiqh siyasah ini akan kita gunakan dalam menganalisa berbagai persoalan politik yang bersifat kondisional dan situasional dalam konteks sistem politik di Indonesia.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}