Preloader logo

FIQH SIYASAH ALA METODE NABI (BAGIAN I)

Mukadimah
Eksistensi dakwah dalam Islam menduduki posisi yang strategis. Dakwah berfungsi sebagai upaya rekontruksi masyarakat Muslim sesuai dengan cita-cita sosial Islam melalui pelembagaan ajaran Islam sebagai rahmat sejagat (rahmatan lil ‘alamin). Sosialisasi Islam melalui dakwah diharapkan akan memungkin proses islamisasi nilai-nilai sehingga dihayati dan diamalkan dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat. Pemahaman yang demikian menempatkan dakwah sebagai program besar dan penting atau azmil umur (QS. Lukman [31]:17). Oleh karena itu, aktivitas dakwah menunutut keterlibatan semua umat Islam dalam berbagai profesi dan keahlian, termasuk para penguasa dan politikus.
Sejarah mencatat bahwa Islam pernah berhasil membangun peradaban besar yang diakui oleh dunia dan Islam mampu menjadi kekuatan dunia tidak terlepas dari pengaruh dakwah dan politik. Peradaban Islam dari zaman Nabi Muhammad Saw. sampai hari ini tidak dapat dipisahkan dari dua hal tersebut. Dapat dikatakan bahwa maju dan mundurnya masyarakat Islam sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya dakwah dan politik Islam. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Islam, persoalan dakwah dan politik telah menjadi perhatian serius. Sebagian ulama menganggap bahwa dakwah dan politik tidak boleh dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Islam, sedangkan yang lain berpandangan bahwa dakwah dan politik adalah hal sangat berlawanan dan tidak boleh dicampur-adukkan satu dengan lainnya.
Perbedaan pandangan tersebut masih sering kali kita jumpai di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini. Pendapat, pikiran dan prasangka negatif ditujukan khususnya kepada politik yang dianggap sesuatu yang tidak banyak memberikan kemaslahatan ditengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain dakwah diposisikan sebagai kegiatan suci yang merupakan warisan para nabi dan tidak boleh bercampur baur dengan politik. Fenomena tersebut sudah sekian lama tertanam dalam benak masyarakat kita, sehingga sedikit sekali orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya dan diletakkan masing-masing secara independen. Keduanya tidak mungkin bersatu dan dipertemukan. Pada sisi lain sebahagian organisasi Islam yang bergerak dalam aktivitas dakwah dengan tegas mencatumkan bahwa organisasi tersebut tidak berpolitik. Namun dalam prakteknya selalu bersentuhan dan berdimensi politik.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kurang memamahi hubungan fungsional antara dakwah dan politik dalam ranah keagamaan. Umumnya masyarakat menganggap bahwa dakwah tidak boleh dicampuri oleh politik, dan politik tidak boleh mengatasnamakan dakwah. Diskursus tersebut terkesan bahwa politik merupakan sebuah sesuatu yang kotor, penuh kemunafikan, tipu muslihat, kelicikan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tokoh-tokoh politik hanya dekat dengan rakyat menjelang pemilihan umum (PEMILU) dan Pemilihan kepala daerah (PILKADA). Sementara dakwah diposisikan sebagai kegiatan mulia untuk memberikan petunjuk kehidupan sesuai dengan tuntunan agama, sehingga dakwah tidak dapat disandingkan dengan politik.
Pemahaman seperti itu adalah sesuatu yang wajar karena didasarkan pada pengalaman yang ada. Secara realitas pentas politik memang selalu diwarnai dengan tontonan yang bersifat negatif dalam pandangan masyarakat. Sementara aktivitas dan topik dakwah tidak banyak menyentuh ranah politik. Dakwah lebih banyak membicara aspek ibadah, halal-haram dan surga-neraka, kalau bukan hal-hal yang bersifat perbedaan paham dalam beribadah. Dakwah dalam buhungannya dengan aspek politik cenderung terabaikan. Sedangkan Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas merupakan ajaran universal yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, Islam sebuah sistem universal yang lengkap dan mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan.
Sesungguhnya dakwah dan politik dalam praktek kehidupan sosial harus dipahami dan digambarkan bagaikan dua sisi mata uang. Satu sama lain saling melengkapi, tidaklah dianggap sempurna apabila satu di antaranya tidak ada. Artinya bahwa dakwah dan politik itu tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan.
Agar masyarakat muslim pada umumnya memahami hubungan di antara keduanya, maka sudah selayaknya mereka mendapatkan “pendidikan politik” yang memadai, sehingga keterlibatan mereka dalam politik atau “melibatkan” mereka dalam berpolitik diharapkan atau dimungkinkan dapat menghasilkan dampak politik yang benar dalam upaya penguatan dakwah ilallaah. Tidak sebaliknya, terlibat dalam politik praktis tapi sama sekali tidak melahirkan dampak politik yang benar.
Tulisan ini merupakan salah satu bagian kecil dari sejumlah tanggung jawab besar yang dipikul juru dakwah dalam memberikan pemahaman kepada umat, dengan harapan mereka mampu memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu dan pilkada dan pilkada dalam tataran ideologis, sehingga mampu menentukan pilihannya secara tepat dan sadar (rational voters).

Konsepsi Fiqh Siyasah

Pengetahuan mengenai ruang lingkup suatu disiplin (termasuk fiqh siyasah) dapat dilakukan dengan memahami berbagai pengertian, baik pengertian harfiyah maupun pengertian istilah fiqh siyasah itu sendiri. Oleh karena itu dalam makalah sederhana ini, akan diungkap beberapa pengertian yang ditulis oleh para ulama.
Dengan pengetahuan itu, diharapkan dapat diketahui batas-batas wilayah kajian fiqh siyasah, aspek kehidupan yang sesuai dengan penelitian fiqh siyasah, metode yang layak menjadi alat pendekatannya, dan kegunaan pendekatan tersebut bagi realitas kehidupan yang sama pada waktu tempat yang berbeda. Selain itu, hubungan antara fiqh siyasah sebagai sebuah disiplin ilmu, yang mempunyai objek, pendekatan, dan kegunaan tertentu terhadap disiplin ilmu yang lain dapat diketahui.
A. Pengertian Fiqh Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri atas dua kata berbahasa Arab; fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang tepat apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah, perlu dijelaskan pengertian masing–masing kata dari segi bahasa dan istilah.
1. Pengertian Harfiyah
Kata fiqh secara bahasa berarti paham. Dalam pengertian, pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. (Lihat, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hal. 8).
Secara istilah, menurut ulama fiqh, fiqh adalah
مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Sekumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan yang diambil dari dalil-dalil syara yang terperinci”. (Lihat, Syarh Jam’ al-Jawami’, I:32; Syarh al-‘Adhd li Mukhtashar Ibn al-Hajib, I:18; Syarh al-Isnawi, I:24; Mirah al-Ushul, I:55; al-Madkhal ila Madzhab Ahmad, hal. 58.)
Dari definisi ahli fiqh terlihat bahwa fiqh itu produk ijtihad, yaitu merupakan hukum-hukum hasil ijtihad.
Sedangkan menurut ulama ushul fiqh, fiqh adalah
العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.” (Lihat, Minhaj al-Ushul li al-Baidhawi, hal. 22; al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam li al-Amidi, I:7; Irsyad al-Fuhul li al-Syaukani, hal. 3.)

Definisi ini sebenarnya mengadopsi rumusan Imam as-Syafi’i dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang

Dari definisi para ahli ushul fiqh di atas terlihat bahwa fiqh itu berarti ilmu tentang hukum-hukum yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam pengertian ini tercakup pula aktifitas ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbathkan (disimpulkan) dari dalil-dalil syara yang terperinci.

Adapun kata siyasah (سياسة) adalah masdar (infinitive) bagi kata سَاسَ يَسُوْسُ. Dalam bahasa Arab, kata saasa sebenarnya mempunyai dua pola. Pertama, saasa-yasuusu-sausan (سَاسَ يَسُوْسُ سَوْسًا). Kedua saasa-yasuusu-siyasatan (سَاسَ يَسُوْسُ سِيَاسَةً). Jadi, akar kata saasa bermakna ganda yaitu kerusakan sesuatu dan tabiat atau sifat dasar. Dari makna yang pertama diperoleh makna leksikal menjadi rusak atau banyak kutu, sedangkan dari makna kedua diperoleh makna memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, mengatur atau memelihara urusan. Lihat, Taj al-‘Arus Min Jawahir al-Qamus, XVI:155-157

Jadi, kata siyasah secara harfiyah berarti mengatur, memerintah, mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Contoh dalam penggunaan kalimat:
سَاسَ الْقَوْمَ دَبَّرَهُمْ وَتَوَلَّى أَمْرَهُمْ
Saasa al-Qaum maknanya mengatur dan memimpin urusan mereka.

Berdasarkan pengertian harfiyah, kata as-siyasah berarti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasaan dan arti-arti lainnya.
Dalam hadis kata siyasah digunakan oleh Rasulullah ketika menyebut kepemimpinan atas Bani Israil oleh para nabi.
كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَاِنَّهُ لاَنَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ قَالُوْا فَمَا تَأْمُرُنَا فُوْا بَيْعَةَ اْلأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ اَلَّذِي جَعَلَهُمُ اللهُ لَهُمْ فَاِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اْستَرْعَاهُمْ – رواه البخاري ومسلم –
“Adalah Bani israil (dulu) dipimpin oleh para nabi, setiap nabi wafat diganti oleh nabi yang berikutnya, dan sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan datang banyak pemimpin” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang Engkau perintahkan kepada kami (apabila keadaan seperti itu)?” (Nabi bersabda) Kalian harus berbai’at kepada yang pertama lalu kepada yang berikutnya dan berikan kepada mereka haknya yang Allah telah berikan kepada mereka, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinan mereka” H.r Al-Bukhari dan Muslim (Lihat, al-Jam’ bain as-Shahihain al-Bukhari wa Muslim, III:134)

Kata siyasah digunakan pula oleh Asma putri Abu Bakar terkait dengan pemeliharaan kuda milik az-Zubair (suaminya)
كُنْتُ أَخْدُمُ الزُّبَيْرَ زَوْجَهَا وَكَانَ لَهُ فَرَسٌ كُنْتُ أَسُوسُهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنْ الْخِدْمَةِ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ سِيَاسَةِ الْفَرَسِ
“Aku melayani az-Zuber (suaminya), dan ia punya kuda yang aku pelihara. Dan tidak ada bentuk pelayanan yang lebih atasku daripada memelihara kuda” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad , tahqiq Dr. Syu’aib al-Arnauth, XXXXIV:533, No. hadis 26.972

Secara tersirat, dalam pengertian as-siyasah terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain: (1) “tujuan” yang hendak dicapai melalui proses pengendalian: (2) “cara” pengendalian menuju tujuan tersebut. Oleh karena itu, as-siyasah pun diartikan:
القِيَامُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ
Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan. (Lihat, Taj al-‘Arus Min Jawahir al-Qamus, XVI:157)
2. Pengertian Istilah
Pengertian harfiah tidak menjelaskan ihwal fiqh siyasah yang sesungguhnya. Tujuan apa yang dicapai dengan pengendalikan menurut fiqh siyasah? Cara apa yang akan dipakai untuk mencapai tujuan tersebut menurut fiqh siyasah? Dalam keadan demikian, pengertian teknis-akademis mengenai siyasah dipandang perlu. Berkenaan dengan kebutuhan ini, para ulama telah memberikan berbagai definisi siyasah, baik secara khusus maupun secara umum.

a. Makna Siyasah secara khusus

Yaitu berkaitan dengan uqubah (sanksi pidana). Dalam konteks ini dapat dikemukakan definisi siyasah sebagaimana dinyatakan oleh Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w. 970 H):
فِعْل شَيْءٍ مِنَ الْحَاكِمِ لِمَصْلَحَةٍ يَرَاهَا ، وَإِنْ لَمْ يَرِدْ بِذَلِكَ الْفِعْل دَلِيلٌ جُزْئِيٌّ
Siyasah adalah kebijakan yang diambil hakim untuk mewujudkan kemaslahatan yang diyakininya. Sekalipun kebijakanya itu tidak ada dalilnya secara khusus.( Lihat, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq, V:11)

b. Makna Siyasah secara Umum

Yaitu berkaitan dengan daulah (kenegaraan/pemerintahan) dan sulthah (kekuasaan). Dalam konteks ini dapat dikemukakan definisi siyasah sebagai berikut:
Ibn ‘Aqil, ahli fiqh bermadzhab Hanbali (w. 513 H), sebagaimana dikutip Ibn al-Qayyim, mendefinisikan:
مَا كَانَ فِعْلاً يَكُوْنُ مَعَهُ النَّاسُ أَقْرَبَ إِلَى الصَّلاَحِ وَأَبْعَدَ عَنِ الْفَسَادِ وَإِنْ لَمْ يَضَعْهُ الرَّسُوْلُ وَلاَ نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ
Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah swt tidak menentukannya.( Lihat, at-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 29)

Dalam karya Ibnul Qayyim yang lain (I’lam al-Muwaqqi’ien, IV:372) digunakan redaksi
مَا كَانَ مِنَ الأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُوْنُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إِلَى الصَّلاَحِ وَأَبْعَدَ عَنِ الْفَسَادِ وَإِنْ لَمْ يَشْرَعْهُ الرَّسُوْلُ وَلاَ نَزَلَ بِهِ الْوَحْيُ
Ibn ‘Abiddin, ahli fiqh bermadzhab Hanafi (w. 1252 H) memberi batasan:
اسْتِصْلاَحُ الْخَلْقِ بِإِرْشَادِهِمْ إِلَى الطَّرِيقِ الْمُنَجِّي فِي الْعَاجِل وَالآْجِل فَهِيَ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ فِي ظَاهِرِهِمْ وَبَاطِنِهِمْ ، وَمِنْ السَّلَاطِينِ وَالْمُلُوكِ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمْ فِي ظَاهِرِهِ لَا غَيْرُ ، وَمِنْ الْعُلَمَاءِ وَرَثَةِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَى الْخَاصَّةِ فِي بَاطِنِهِمْ لَا غَيْرُ
Siyasah adalah kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir maupun secara batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang kekuasaan (para sulthan dan raja) bukan dari ulama; sedangkan secara batin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan. (Lihat, Hasyiah Ibn Abiddin atau Hasyiah Radd al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar Fiqh Abu Hanifah, IV:15)

Dr. Ahmad Fathi Bahansi mendefinisikan secara ringkas:
تَدْبِيْرُ مَصَالِحِ الْعِبَادِ عَلَى وَفْقِ الشَّرْعِ
Siyasah adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara. (Lihat, al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari’ah al-Islamiyah, hal. 25)

Aspek fiqh dari siyasah syar’iyyah tampak pada batasan yang diajukan oleh Prof. Dr. Abd Wahab al-Khalaf:
تَدْبِيْرُ الشُّئُوْنِ الْعَامَّةِ لِلدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ بِمَا يَكْفُلُ تَحْقِيْقَ الْمَصَالِحِ وَدَفْعَ الْمَضَارِّ مِمَّا لاَ يَتَعَدَّى حُدُوْدَ الشَّرِيْعَةِ وَأُصُوْلَهَا الْكُلِيَّةَ، وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقْ أَقْوَالَ الأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ
Siyasah syar’iyyah ialah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemadlaratan dengan tidak melampaui batas-batas syari’ah dan pokok-pokok syari’ah yang kully, meskipun tidak sesuai dengan pendapat ulama-ulama Mujtahid. (Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah karya Abd Wahab al-Khalaf, hal.15)

Maksud masalah umum negara antara lain adalah;
a. Pengaturan perundangan-undangan negara
b. Kebijakan dalam harta benda (kekayaan) dan keuangan.
c. Penetapan hukum, peradilan serta kebijakan pelaksanaannya, dan
d. Urusan dalam dan luar negeri.
Maksud dari perkataan
وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقْ أَقْوَالَ الأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِيْنَ
“sekalipun tidak sejalan dengan para alim mujtahid” adalah mengambil kebijaksanaan politik (siyasah syar’iyyah) bukan hanya tugas para ulama terdahulu saja. Bahkan setiap alim ulama yang luas ilmunya boleh berijtihad dalam memecahkan problematika yang sedang dihadapi umat dengan batasan-batasan yang telah disebutkan di atas.

Oleh karena itu Abdul Wahhab Khallaf mengatakan: “Siyasah syar’iyyah termasuk usaha mewujudkan maslahat mursalah. Karena maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditetapkan secara khusus oleh agama”.

Berdasarkan pembahasan atas ayat 58 dan 59 surat an-Nisa’, Ibn Taymiyah mengisyaratkan unsur-unsur yang terlibat dalam proses siyasah: Ulama menyatakan, bahwa ayat pertama (an-Nisa’: 58) berkaitan dengan pemegang kekuasaan, yang berkewajiban menyampaikan amanat kepada yang berhak dan menghukumi dengan cara yang adil; sedangkan ayat kedua (an-Nisa’: 59) berhubungan dengan rakyat, baik militer maupun non militer (Lihat, as-Siyasah as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyyah, hal. 4)

Berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa siyasah syar’iyyah mengisyaratkan dua unsur yang berhubungan secara timbal balik, yaitu: (1) pihak yang mengatur; (2) pihak yang diatur.
Dilihat dari unsur-unsur yang terlihat dalam proses siyasah syar’iyyah, maka ilmu ini “mirip” dengan ilmu politik, seperti dikatakan Wirjono Prodjodikoro: Dua unsur penting dalam bidang politik yaitu negara yang pemerintahannya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsi, siyasah syar’iyyah berbeda dengan politik. Siyasah syar’iyyah tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (ishlah). Sebaliknya politik (politique) dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah) bukan pengarahan (ishlah).
Perbedaan demikian tampak manakala disadari bahwa pelaksanaan ketatanegaraan berdasarkan perspektif fiqh Islam terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syara’, sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syari’ah yang kully. Oleh karena itu, dikalangan kaum muslimin, politik yang bertumpu pada adat-istiadat atau pengalaman hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi semata dikenal dengan istilah siyasah wadh’iyyah. Perbedaan antara siyasah syar’iyyah dipihak yang satu dengan siyasah wadh’iyyah dipihak yang lain, tentu saja tidak harus difahami secara dikotomis. Dalam banyak kasus, siyasah wadh’iyyah yang tidak bertentangan, sekalipun tidak sama, dengan siyasah syar’iyyah diterima keberadaannya oleh kaum muslimin. Singkatnya, tidak semua siyasah wadh’iyyah atau politique bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Sebagimana tersimak dari pernyataan Ibn al-Qayyim, siyasah syar’iyyah adalah siyasah mengacu kepada syara’. Berarti mekanisme pengendalian dan pengarahan kehidupan umat, terkait keharusan moral dan politis untuk senantiasa mewujudkan keadilan, keramahan, kemaslahatan, dan kehikmahan. Hal ini merupakan akibat langsung dari ciri-ciri yang melekat pada syariat Islam itu sendiri, yaitu: Seluruhnya adil, rahmat, mashlahat, dan mengandung hikmah; setiap masalah yang keluar dari keadilan menjadi kezhaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari mashlahat menjadi mafsadat, dari yang mengandung hikmah menjadi sia-sia bukanlah syari’ah.
Hal yang sama berlaku pula pada bidang siyasah. Tanpa prinsip-prinsip itu, ihwal pengendalian dan pengarahan kehidupan umat tidak dapat disebut sebagai siyasah syar’iyyah.
Dari uraian tentang pengertian fiqh dan siyasah, baik secara harfiah (etimologis) maupun istilah (terminologis) dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Siyasah Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal–ihwal seluk–beluk pengaturan urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar–dasar syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan umat.”

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}