Preloader logo

Fiksi Politik dan Sketsa Intelijen

Jakarta – Tulisan Moch Nurhasim di Kolom detikcom berjudul Indonesia Bubar 2030? (23/3/2018) menarik diulas lebih lanjut. Tulisan tersebut membahas pidato Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto yang menyebut Indonesia akan bubar pada 2030.

Analisis Moch Nurhasim menarik lantaran merujuk sejumlah hasil riset dan pandangan tokoh terkait indikator apa itu negara bubar atau negara gagal. Misalnya Majalah Foreign Policy pernah mengeluarkan Indeks Negara Rapuh (Fragile States Index). Indeks ini dikembangkan dengan memperhatikan 12 indikator, seperti faksionalisasi elite, keamanan, kemunduran ekonomi, legitimasi negara, pelayanan publik, HAM dan keadilan, tekanan demografis, intervensi luar, pembangunan ekonomi yang tidak merata, dan group grievance.

Dari indikator-indikator itu, Indonesia menempati peringkat ke-94, dengan skor 72,9 dari 178 negara di dunia. Meski angka tersebut terus mengalami perbaikan, namun Indonesia tetap berada pada skala “warning” atau peringatan. Ada empat indikator negara yang diterapkan dalam indeks tersebut yaitu negara yang berkelanjutan (sustainable), stabil (stable), peringatan (warning), dan waspada (alert). Negara paling top adalah Finlandia, peringkat ke-178 dengan skor 18,7. Indonesia masuk 94 di bawah Vietnam (105), Malaysia (116), Brunei Darussalam (122).

Selain itu, Moch Nurhasim juga mengutip laporan yang ditulis oleh J.J Messner. Salah satu pesannya bahwa faktor yang menyebabkan negara bisa mengarah ke kategori waspada (alert) –dan mungkin gagal– adalah akibat faksionalisasi politik yang ekstrem dan berkepanjangan.

Jika dirunut, tentu banyak buku ataupun tokoh yang telah membahas wacana negara gagal. Salah satu yang paling monumental adalah karya Daron Acemoglu dan James Robinson bertajuk Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Acemoglu dan Robinson mengatakan, negara gagal ditandai dengan kesenjangan, pendapatan per kapita yang rendah, dan rezim pemerintahan yang otoriter.

Acemoglu dan Robinson menyajikan pandangan-pandangan menakutkan bagi setiap negara. Namun, yang menarik setahun kemudian Kishore Mahbubani meluncurkan karya yang cukup inspiratif dan propokatif berjudul The Great Convergence: Asia, The West, and The Logic of One World(2013). Mahbubani punya argumentasi bahwa sekarang ini telah berlangsung proses konvergensi antarberbagai bangsa dan negara. Berbagai bangsa saling mendekat, berbagi, dan kerja sama untuk menata dunia yang baru.

Jika Acemoglu dan Robinson memaparkan ketakutan dalam bentuk berbagai ancaman terhadap negara, maka Mahbubani menawarkan optimisme bahwa melalui akselerasi di bidang pendidikan dan penyebaran teknologi modern, potensi setiap negara untuk maju dan berkembang makin terbuka lebar.

Dalam konteks Indonesia, potensi untuk maju dan makin berkembang dapat dilacak dari laporan McKinsey Global Institute yang dirilis pada September 2012. Di situ disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menempati ranking ke-16 ekonomi dunia, di mana 45 juta terdiri dari kelas konsumen. Bayangkan, 53% populasi di kota-kota di Indonesia menghasilkan 74% GDP, dan ada 55 juta kelas pekerja terampil yang menopang perekonomian Indonesia. Peluang pasar untuk sektor jasa pelayanan, perikanan, pertanian, dan pendidikan adalah 0,5 trilliun USD.

Dengan potensi yang dimiliki tersebut, justru pada tahun 2030, McKinsey memprediksi Indonesia akan menempati ranking ke-7 ekonomi dunia, di mana kelas konsumennya terdiri dari 135 juta orang, dan 71 persen populasi masyarakat di perkotaan menghasilkan 86 persen GDP.

Fiksi Politik

Karena itu, menjadi lumrah jika kemudian ada yang menyebut pidato Prabowo Subianto soal Indonesia akan bubar tahun 2030 sebagai fiksi politik. Mengapa? Karena, konon, argumentasi pidato tersebut didasarkan pada sebuah novel berjudul Ghost Fleet: A Novel of the Next World Warkarya Peter Warren Singer dan August Cole.

Sebuah karangan fiksi tentu bisa salah dan bisa juga benar. Fiksi bisa terdiri dari karangan bebas, namun juga ada yang berdasarkan fakta. Apalagi penulis novel itu sendiri –P.W. Singer dan August Cole– mengakui bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah fiksi.

Meski begitu, isi pidato Prabowo Subianto haruslah disikapi secara bijak. Pidato Prabowo harus dimaknai sebagai kritik dari barisan oposisi terhadap pemerintah. Dalam petikan pidatonya, Prabowo mengatakan, “Saudara-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.”

Dari petikan kalimat tersebut terlihat bahwa apa yang disampaikan Prabowo adalah sebuah warningWarning terhadap pemerintah, warning terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan tentang masa depan negara.

Sketsa Intelijen

Meskipun terlalu berlebihan dan mengandung muatan politik, namun dalam perspektif intelijen dan ilmu pertahanan, warning itu harus dilihat sebagai bentuk kewaspadaan. Apalagi meskipun ditulis dalam bentuk fiksi, kedua penulis buku tersebut punya latar belakang kuat di bidang strategi intelijen dan dunia pertahanan.

Peter Warren Singer merupakan ahli strategi New America Foundation. Dinilai sebagai satu dari 10 suara paling berpengaruh di dunia mengenai keamanan dunia maya dan satu dari 25 orang paling berpengaruh di bidang robotika. Dan, masuk dalam Top 100 Global Thinkers versi Foreign Policy. Singer pun dianggap sebagai salah satu ahli terkemuka dunia tentang perubahan dalam peperangan abad ke-21.

Sedangkan Cole disebut sebagai analis yang mengeksplorasi masa depan konflik. Dia merupakan non-residen senior fellow di Brent Scowcroft Center tentang Keamanan Internasional di Dewan Atlantik. Di Dewan Atlantik itu, Cole mengeksplorasi narasi tentang masa depan konflik dari tahun 2014-2017. Cole juga disebut-sebut orang yang membantu memecahkan persoalan keamanan nasional AS, termasuk mata-mata cyber asing.

Dengan latar belakang demikian, Ghost Fleet tentu bukanlah novel sembarangan. Apalagi kedua penulis sebelumnya sama sekali tidak pernah menulis fiksi. Bahkan Singer sebelumnya menulis buku berjudul Cybersecurity and Cyberwar.

Dalam konteks pertahanan, ancaman sebuah negara di masa yang akan datang, baik yang faktual ataupun yang potensial, dapat dibedakan menurut bentuk dan sifatnya. Menurut bentuknya, maka ada ancaman militer dan non militer. Sedangkan menurut sifatnya, maka ada ancaman militer itu sendiri dan ancaman nir militer.

Perkembangan teknologi digital yang ditandai dengan munculnya internet telah mengubah pola ancaman suatu negara. Jika dulu perang selalu identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman, dan sebagainya kini model peperangan sudah berubah. Perang sekarang tidak hanya melalui jalur darat (territorial war), namun justru banyak terjadi di dunia maya, atau biasa disebut perang siber (cyber war).

Karena itu, novel Ghost Fleet karya Singer dan Cole dapat dilihat sebagai bentuk “perang gaya baru”. Bukankah novel itu disebut juga sebagai scenario writing? Bila ditulis seorang ahli strategi intelijen, maka novel tersebut bisa menjadi intelligence writing. Sketsa intelijen inilah yang harus dibaca secara jeli dalam ingar bingar dan polemik pidato Prabowo.

Tentu sebagai bangsa yang besar, prediksi Indonesia bubar pada 2030 harus dilihat sebagai peringatan agar Indonesia waspada terhadap kemungkinan terburuk. Prediksi itu justru menjadi cambuk bagi Indonesia untuk terus optimistis dan maju, menyiapkan segala antisipasi dan SDM terbaik.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan melalui semangat kebersamaan, kita berharap prediksi Indonesia bubar 2030 berbalik menjadi Indonesia jaya 2030. Kewaspadaan penting namun optimisme dalam menatap masa depan jauh lebih penting.

Ngasiman Djoyonegoro Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), penulis buku Intelijen di Era Digital (2017) dan TNI dan Ancaman Baru Dunia Pertahanan (2015)

sigabah.com | detik.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}