Preloader logo

FATWA DI TENGAH DUKA

kyai 3Pada musim haji tahun 2015 ini berbagai cobaan datang silih berganti. Setelah insiden crane Masjidil Haram dan kebakaran hotel jamaah haji Indonesia di Mekah, kembali terjadi musibah Mina yang mengakibatkan ribuan jamaah haji meninggal dunia dan ratusan terluka. Saat tulisan ini ditayangkan (29/9/2015), menurut keterangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dalam jumpa pers di kantor Urusan Haji Daker Mekah (Senin, 28/9/2015), warga Indonesia yang menjadi syuhada dalam musibah itu menjadi 45 orang.

Saat peristiwa itu terjadi (Kamis, 24/9/2015), saya tengah fokus memelihara amanat kurbani, berupa penyembelihan dan pengurusan hewan kurban untuk dibagikan kepada mustahik. Selain tugas di tempat sendiri yang harus saya emban, juga telah menanti tugas lain di esok hari (Jumat, 25/9/2015) berangkat ke Cilacap dengan para ustadz yang tergabung dalam Mataholang Center guna menyuburkan semangat dan jiwa kurbani Nabi Ibrahim melalui program tebar kurban dan rihlah dakwah di daerah itu, tepatnya desa Karang Gintung, kecamatan Sidareja, kabupaten Cilacap. Meski sambil memantau setiap perkembangan, baik melalui Grup WA Persis dan Batom maupun grup-grup lainnya, praktis hanya doa yang dapat terucap dari lisan saya. Saya tidak berdaya membuat coretan atas keprihatinan terhadap musibah yang sedang menimpa keluarga dan teman-teman saya di sana, khususnya yang tergabung dalam JKS 61 (Embarkasi Jakarta-Bekasi Kloter 61).

Sepanjang perjalanan menuju Cilacap hingga kembali ke Bandung, Ahad dini hari, saya tak henti-hentinya mencari informasi dari media online baik luar maupun dalam negeri, bukan saja jumlah korban melainkan analisa penyebab terjadinya musibah ini. Beragam faktor disampaikan para analis tentang faktor penyebab musibah ini. Mulai dari masalah sistem infrastruktur, psikologis, fisiologis, hingga masalah politis. Faktor fisiologis disampaikan pakar ilmu sosial komputasional ETH Zurich yang mempelajari dinamika kerumunan, Dirk Helbing. Sementara Keith Still, pakar ilmu kerumunan dari Manchester Meteropilitan University, Inggris, selain karena terdesak oleh kerumunan banyak orang yang membuat jamaah haji susah untuk bernafas, ia juga menyoroti soal sistem infrastruktur menuju Jamarat yang dibangun pemerintah Arab Saudi.

Sorotan agak “sinis” ditujukan kepada para syuhada asal Indonesia. Faktor yang disoroti oleh beberapa tokoh di Indonesia karena factor indisipliner. Ketidakdisiplinan ini menyebabkan jatuhnya korban asal Indonesia dalam tragedi Mina. Para jamaah, bahkan pimpinan rombongan, sengaja melanggar jadwal. Demikian itu seperti dinyatakan Politikus Partai Gerindra, yang juga Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodiq Mudjahid. Sementara dalam bahasa Kementerian Agama RI, Jamaah haji Indonesia yang menjadi korban dalam tragedi Mina di Arab Saudi tidak melakukan lempar sesuai aturan. Jamaah itu tidak dibawa atau dengan rombongannya untuk melakukan ibadah melempar jumrah. Ini mungkin diduga atas keinginannya sendiri,” kata Kepala Seksi informasi Haji Kementerian Agama Affan Rangkuti. Menurut Affan, insiden yang menewaskan ratusan orang pada sekitar pukul 7 pagi waktu setempat adalah waktu yang dihimbau bagi jamaah haji Indonesia untuk tidak melakukan ibadah melempar jumrah. “Jamaah haji kita diimbau untuk melakukan ibadah melempar jumrah pada malam hari, mengingat telah ada prediksi bahwa pada pukul 08.00-11.00 waktu Arab terjadi kepadatan.

Menteri Agama Lukman Saifuddin juga mengatakan, korban insiden Jamaah berdesak-desakan di Jalan Arab 204 terjadi di luar jadwal melontar jumrah Jamaah haji Tanah Air. “Saya selaku Amirul Haj (pemimpin rombongan haji Indonesia) mengimbau Jamaah menaati jadwal (melontar jumrah), yaitu pada pagi setelah Subuh atau sore mendekati Maghrib,” kata Lukman.

Selain bertujuan untuk pengaturan arus, waktu-waktu melempar jumrah yang disediakan juga sudah mempertimbangkan aspek suhu panas udara di Mina. Dengan demikian, Jamaah terhindar dari desak-desakan dan ketidaknyamanan di jamarat. Adanya insiden maut di jalur Jamaah haji Mesir dan negara-negara Afrika lainnya, kata Lukman, hendaknya memberikan pelajaran agar jamaah tidak tergesa-gesa menjalani salah satu ritual wajib haji tersebut. Apalagi, jalur 204 bukanlah jalur resmi Jamaah haji Indonesia menuju Jamarat, karena sebagian jamaah Indonesia diarahkan ke jalan King Fahd dan Moasim.

Lebih jauh Alwi Shihab, utusan khusus Presiden Jokowi untuk Timur Tengah, menuturkan “Mereka mengejar keutamaan melontar jumrah ba’da Dzuhur, sebagaimana di zaman Nabi Muhammad saw.” Menurut Alwi, agama mengajarkan bahwa ibadah dilakukan sesuai dengan kemampuan. Agama datang untuk memberikan kenyamanan, bukan justru menyulitkan umatnya. Situasi saat ini berbeda dengan di zaman Rasulullah.” Masih menurut Alwi, pemerintah Indonesia juga sejak Tragedi Mina 1990 telah mengatur agar Jamaah haji Indonesia melontar jumrah di saat yang relatif sepi, di pagi hari atau sore menjelang Maghrib. Bangunan tempat melempar jumrah juga sudah ditambah beberapa tingkat. “Sembilan tahun kita menikmati ketenangan dalam melontar jumrah,” kata Alwi Shihab.

Komentar lebih sinis lagi dilontarkan Ketua Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin. Ade mencermati bahwa jamaah haji memiliki kecenderungan melempar jumrah harus pada waktu yang afdol. Menurut Ade, “Untuk apa mengejar waktu afdol kalau akhirnya hanya terinjak-injak disana.”

Berbagai komentar “sinis” di atas menunjukkan bahwa jamaah haji Indonesia yang jadi syuhada dalam musibah Mina itu dipandang tidak disiplin, umumnya karena dua faktor: (1) “jadwal resmi” atau (2) “jalur resmi”. “jadwal resmi” melontar jumrah untuk jamaah haji Indonesia seharusnya pagi setelah Subuh atau sore mendekati Maghrib. Sementara “jalur resmi” Jamaah haji Indonesia menuju Jamarat seharusnya melalui jalan King Fahd dan Moasim, bukan jalur 204. Mari kita bertanya, pantaskah berbagi fatwa ini dilontarkan oleh para tokoh, kala sepi menyelimuti diri dan duka memeluk jiwa kaum muslim, khususnya keluarga syuhada?

Selain tidak tepat waktu, fatwa itu juga belum tentu tepat fakta. Sebab, jika jadwal melontar yang dijadikan alasan, mari kita bertanya kepada mereka yang menyoroti persoalan jadwal. Bukankah pada jam yang sama banyak jamaah haji Indonesia yang selamat dari musibah itu, bahkan dapat menyelesaikan lontar jumrah dengan aman, dan baru tahu ada kejadian setelah ia mendapatkan kabar via telepon dari orang tuanya di Tanah Air? Bukankah di tahun-tahun sebelumnya banyak di antara jamaah haji Indonesia yang melontar di luar “jadwal resmi” namun aman-aman saja, seperti dinyatakan Alwi Shihab: “Sembilan tahun kita menikmati ketenangan dalam melontar jumrah.”

Selanjutnya, jika jalur tidak resmi (204) yang dijadikan alasan, mari kita cermati sikap Menteri Agama RI, saat berdiskusi dengan korban selamat di Jalan 204 yang tergabung dalam JKS 61 (Embarkasi Jakarta-Bekasi Kloter 61). Ketika Lukman Hakim Saifuddin berkunjung ke maktab mereka, para jamaah tersebut curhat langsung kepadanya. Begitu Menag Lukman duduk, para jamaah langsung mengitarinya. Mereka rata-rata berusia muda 30 tahunan dan sebagian lanjut usia (lansia). Para jamaah sedih. Bagaimana tidak, 192 jamaahnya dinyatakan hilang pada saat tragedi Mina tersebut.

Pagi itu, Kamis (24/9) mereka mulai bersiap menuju jamarat yang letaknya kira-kira 3,5 km dari maktab di Mina Jadid (perluasan Mina). JKS 61 adalah salah satu maktab yang berangkat pada pagi itu. Masih ada Maktab 2 dari Surabaya kloter 48 dan Batam kloter 14 yang tinggal di Maktab 1 juga di Mina Jadid. Dengan bismillah dan lantunan talbiah para jamaah yang masih mengenakan ihram itu berangkat ke jamarat untuk melempar jamrah aqabah hari pertama. Pengalaman pahit dialami oleh ketua rombongan empat dari kloter 61 Jakarta-Bekasi (JKS). ”Kami berjalan sesuai survei awal, yakni di jalur hijau. Nah pas di persimpangan itu ada petugas askar yang memblokade mengarahkan kami belok ke kiri. Katanya lebih dekat kalau lurus lebih jauh.” Namun, dia terkejut karena di depan mereka banyak jamaah asal Afrika yang berdatangan dari arah berlawanan. Belum hilang rasa terkejutnya, ia merasa heran dengan pintu teralis pembatas maktab yang berada di pinggir kanan-kiri jalan dikunci semua. Praktis, jalannya penuh sesak dan orang yang berada di situ terjebak tak bisa ke mana-mana. ”Apalagi di depan ada mobil mogok yang dinaiki orang Afrika. Sudah begitu, orang Afrika lainnya datang dari arah depan, dan masuk ke arah kami. Akhirnya kami berhadap-hadapan dengan mereka. Selanjutnya korban berjatuhan karena saling berdesakan. Saya sampai jatuh tiga kali, istri saya juga,” tuturnya. Dari 45 orang anggota rombongannya yang ikut dalam perjalanan lewat Jalan 204, hanya tinggal 21 jamaah yang tersisa.

Keterangan terperinci disampaikan Aceng Sukandar, ketua kelompok terbang (Kloter) Jakarta-Bekasi (JKS) 61, awalnya mereka berangkat ke jamarat mengikuti jalur sesuai peta yang diberikan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Peta yang diberikan menunjukkan dua warna, yaitu jalur hijau untuk akses menuju jamarat dan jalur merah untuk akses kembali ke tenda di Mina. “Awalnya kami melewati jalur hijau, yaitu melalui Jalan King Fahd yang merupakan jalur lurus. Jalur tersebut memang untuk jamaah asal Asia,” kata Aceng. Sebelum tragedi berlangsung, ada delapan rombongan dari kloter 61 berangkat melempar jumrah. Saat itu tiga rombongan berjalan lurus melintasi Jalan King Fahd untuk menuju jamarat tanpa dibelokkan. Selepas tiga rombongan yang melintas di jalan lurus itu, lalu petugas Arab Saudi (askar) menghentikan dan kami diminta berbelok ke kiri (Jalan 223). Setelah belok ke kiri dan masuk Jalan 223, jamaah kemudian bertemu Jalan 204 yang arahnya lurus menuju jamarat. Akses ini biasanya dipakai oleh jamaah asal Libanon, Iran, Irak, Nigeria, dan Mesir. Aceng menambahkan, saat masuk Jalan 204 tersebut kepadatan jamaah mulai terasa.

Keterangan para saksi mata di atas cukup menjadi bukti bahwa sebagian jamaah kloter JKS 61 memasuki jalur “tidak resmi” 204 bukan karena mereka tidak disiplin, melainkan “kondisi lapangan” yang memaksa mereka harus melalui jalur itu. Saya yakin, seandainya mereka mengetahui apa yang akan terjadi di jalur 204 itu, tentu saja mereka akan memaksa untuk tetap berada di jalur lurus. Tapi jika memaksa, bisa jadi mereka pun dipersalahkan oleh pemerintah Arab Saudi sebagai jamaah yang tidak disiplin. Allaahu Akbar, betapa Maha Kuasa Allah atas kendali manusia !!!

Apa kata Bapak menteri Agama dalam menanggapi berbagai laparan dari jamaah kloter JKS 61 tersebut? Bapak menteri cukup menyatakan sedang menelusuri informasi tersebut. “Karena jalur kita yang lurus, dalam peta jalurnya yang berwarna hijau. Mengapa dibelokkan ke kiri, itu yang bakal kita telusuri,” katanya. Jadi, masih pantaskah “tidak disiplin” dijadikan “kambing hitam” mengapa mereka menjadi syuhada dalam musibah Mina?

Saya menyakini, mereka yang berada di jalur 204, khususnya jamaah haji kloter JKS 61, datang dengan motivasi semata-mata mematuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, serta ketundukan yang sempurna kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga mereka yang wafat ketika akan melempar jumrah itu digolongkan oleh Allah sebagai syuhada di jalan-Nya.
Sementara keluarga dan karib kerabat yang ditinggalkan dapat tabah menghadapi musibah yang memilukan namun “membuat iri” orang yang ingin segera bertemu dengan Sang Khalik, seperti saya ini. L

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}