Preloader logo

DIMENSI MU’AMALAH SYARIAT QURBAN

Sebagaimana telah kita maklumi bahwa Qurban, selain berdimensi akidah dan ibadah mahdhah, juga berdimensi mu’amalah. Ketiga dimensi itu terkandung pada firman Allah Swt. Sebagai berikut:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” QS. Al-Hajj:36

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al-Hajj:37

Dimensi mu’amalah terkandung dalam firman-Nya:

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” QS. Al-Hajj: 36

Pada firman-Nya di atas terdapat dua fi’il amr (kata perintah), yang keduanya ditujukan kepada qurbani, shahib qurban, atau mudhahhi (orang yang berkurban), sebagai mitra dialog (mukhathab) ayat tersebut. Kedua fi’il amr dimaksud meliputi:

Pertama, Kuluu (makanlah)

Pada dasarnya, perintah ”makan” menunjukkan makna ”boleh memakan” (lil ibaahah), bukan bermakna ”wajib memakan” (lil wujuub). Jika demikian halnya, kenapa makan mesti disebut-sebut? Bahkan dengan menggunakan bentuk kata perintah ”kuluu” terkesan dianjurkan, padahal tanpa anjuran pun makan itu sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Hemat kami, meski menunjukkan lil ibaahah, penggunaan bentuk kata perintah ”kuluu”, hendak menunjukkan bahwa makan bagi umat Islam bukan semata-mata untuk memenuhi rasa lapar, tapi memiliki nilai-nilai ibadah, artinya makan bukan sebagai tujuan namun sebagai sarana, seperti dalam ungkapan “Makan untuk hidup” bukan “hidup untuk makan”.

Sehubungan dengan itu, dalam konteks kurban, kalimat kuluu (makanlah) perlu diungkap bahkan ditekankan karena ada misi yang amat mulia, yaitu agar kaum muslimin bersikap mukhaalafah (sengaja berbeda, menyalahi) kebiasaan orang jahiliyyah. Di mana mereka yang berkurban tidak mau bahkan mengharamkan untuk memakan daging kurban mereka. Karena itu tidak mengherankan apabila ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa perintah makan pada ayat ini menunjukkan lin nadbi, artinya makan daging kurban itu hukumnya mandub (disunatkan) bagi qurbani.

Kedua, ‘Ath’imuu (berilah makan atau bagikanlah)

Perintah ”membagikan daging kurban” pada ayat ini menunjukkan lin nadbi, maknanya membagikan daging kurban itu hukumnya mandub (disunatkan) bagi qurbani, bukan lil wujuub (wajib memberi).

Pada firman-Nya di atas terdapat petunjuk yang jelas bahwa mustahiq (yang berhaq) atas daging qurban itu terbagi atas tiga golongan: Pertama, Qurbani (yang berkurban). Kedua, Al-Qani, yaitu orang yang ridha dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Meskipun suatu saat ia terpaksa harus meminta untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak pernah memaksa. Ketiga, Al-Mu’tarr, yaitu orang yang berani meminta untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan terkadang meminta secara memaksa. [1]

Meski begitu, pada ayat ini tidak dijelaskan ukuran yang pasti berapa banyak daging yang boleh dimakan dan dianjurkan untuk dibagikan itu. Pedoman umum tentang hak qurbani dan mustahiq non qurbani kita dapatkan dari petunjuk Nabi saw. bahwa ketika qurban mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijrah, situasi perekonomian ”rumah tangga” umat Islam dalam keadaan elit (ekonomi sulit), sehingga Rasulullah saw., sebagai seorang pemimpin, menetapkan satu aturan bahwa setiap orang yang berkurban tidak boleh mengambil daging kurbannya melebihi keperluan tiga hari. Kebijakan ini ditetapkan oleh Nabi saw. mengingat jumlah penerima daging qurban relatif lebih banyak dibanding orang yang berkurban. Namun, pada tahun selanjutnya ketetapan ini dirubah kembali oleh Nabi saw., setelah beliau berhasil membangkitkan perekonomian ”rumah tangga” kaum muslimin di Madinah, sehingga jumlah yang berkurban meningkat lebih banyak dari tahun sebelumnya. Pada tahun itu (ke-3) beliau membebaskan bagi setiap orang yang berkurban mengambil hak sesuai dengan keperluannya. [2]

Ketetapan Nabi saw. tentang pembagian daging qurban demikian itu tidak menyalahi ketentuan Al-Quran di atas (QS.Al-Hajj:36), namun justru semakin memperjelas dan mempertegas mana yang menjadi hak qurbani dan mana non qurbani. Hal itu tampak jelas dari ungkapan beliau:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah (daging kurban itu), bagikanlah, dan simpanlah (sebagian yang lain).” [3]

فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا

“Makanlah, sedekahkanlah, dan pergunakanlah kulitnya.” [4]

فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا

Makanlah, simpanlah, dan sedekahkanlah.” [5]

Perubahan kebijakan Nabi saw. di atas menunjukkan bahwa porsi yang berhak diperoleh mustahiq, baik qurbani maupun non qurbani, tergantung situasi dan kondisi daerah masing-masing berkenaan dengan jumlah hewan qurban maupun masyarakat penerima.

Relasi Antara Qurbani dengan Panitia atau Jami’ Qurban

Mitra dialog (mukhathab) ayat dan hadis-hadis di atas adalah qurbani, shahib qurban, atau mudhahhi (orang yang berkurban). Dari situ dapat kita pahami bahwa pada dasarnya otoritas pengelolaan hewan qurban sepenuhnya berada di tangan qurbani. Namun jika qurbani memberikan mandat (wakalah) pengurusan qurbannya kepada panitia atau jami’ qurban, maka tergantung bentuk wakalah yang digunakan: bebas (muthlaqah) ataukah terikat (muqayyadah)?

Dalam mandat terikat (wakalah muqayyadah) panitia tidak bebas dalam menetapkan kebijakan pengelolaan hewan qurban, baik berkenaan dengan porsi yang hendak dibagikan, jumlah maupun sasaran penerima. Sementara dalam mandat bebas (wakalah muthlaqah) kebijakan sepenuhnya berada di tangan panitia. Bentuk mandat pengelolaan hewan qurban demikian itu merujuk kepada hadis sebagai berikut:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ قَالَ : أَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَاَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا وَجُلُودِهاَ وَأَجِلَّتِهَا وَاَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَازُرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا

Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ”Rasulullah saw. telah memerintahkan aku untuk mengurus unta (qurbannya) dan memerintah agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya (aksesori); dan jangan sedikitpun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih)”. Ali berkata, “Kami suka memberinya (upah) dari kami sendiri.” HR. Muslim. [6]

Dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

”Nabi saw. telah memerintahnya untuk mengurus unta (qurbannya) dan menyedekahkan seluruh unta (qurbannya): dagingnya, kulitnya dan pakaiannya (aksesori); dan jangan sedikitpun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih).”[7]

Di sini tidak dijelaskan jumlah unta sebagai qurban Nabi saw. yang dimandatkan kepada Ali agar diurus. Dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya, disebutkan sebanyak 100 ekor. Sementara dalam riwayat Abu Dawud, sebanyak 30 ekor. Namun dalam riwayat Muslim, sebanyak 63 ekor. Jumlah versi Muslim dipandang paling shahih menurut Imam asy-Syaukani.[8]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abu Thalib, sebagai pengurus, mendapatkan dua bentuk wakalah sekaligus: bebas (muthlaqah) dan terikat (muqayyadah). Dalam hal siapa saja pihak penerima dan berapa besar porsi untuk masing-masing pihak penerima, Ali mendapat mandat bebas (wakalah muthlaqah). Sementara tentang bagian hewan qurban yang hendak dibagikan dan upah bagi penyembelih (jagal), ia mendapat mandat terikat (wakalah muqayyadah).

Prosesi mandat Nabi saw. kepada Ali, lebih jelas diterangkan pada riwayat lain sebagai berikut:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَنْحَرَ الْبُدْنَ ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا ، فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ أَسْأَلُهُ عَنْ جِلاَلِهَا وَجُلُودِهَا ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا.

”Rasulullah saw. telah memerintahkan aku untuk menyembelih unta (qurbannya) dan agar aku menyedekahkan dagingnya. Lalu aku kembali menemui beliau untuk bertanya tentang pakaian (aksesori) dan kulitnya. Maka beliau memerintahkan aku untuk menyedekahkannya.” HR. Abu Ya’la dan an-Nasai, dengan sedikit perbedaan redaksi. Redaksi di atas versi Abu Ya’la.[9]

Dari mandat terikat itu kita dapat pahami, sekiranya qurbani memberikan mandat kepada panitia agar menyedekahkan tali hewan qurban, misalnya, maka panitia mesti menyedekahkannya, tidak boleh mengambil jadi hak milik panitia atau membuangnya. Begitu pula dengan bagian-bagian lain dari hewan qurban.

Sementara dilihat dari aspek hak, panitia atau jami’ qurban bukanlah mustahiq tersendiri melainkan tidak terlepas dari kategori al-qani’ dan al-mu’tar sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan perkataan lain, kedudukan panitia atau jami’ qurban berbeda dengan ’amil pada ketentuan distribusi zakat. Karena itu, mereka mendapatkan bagian daging qurban dan sebagainya bukanlah sebagai upah kepanitian. Adapun porsi bagian panitia kembali lagi kepada mandat yang diberikan qurbani, bebas (muthlaqah) atau terikat (muqayyadah).

Menjual kulit dan bagian lain dari Hewan Qurban

Meski Iedul qurban sudah berlangsung puluhan tahun, namun persoalan jual-menjual bagian dari hewan qurban, khususnya kulit, tampaknya masih saja menjadi persoalan. Hemat kami, persoalan ini muncul karena ketidakjelasan siapa yang berhak menjual? Untuk itu saya perlu menegaskan kembali petunjuk Nabi saw. tentang “wilayah mana” yang menjadi hak qurbani dan mana non qurbani di atas.

Allah dan Rasul-Nya memberikan porsi hak qurbani: makanlah (kuluu), simpanlah (iddakhiruu), berikanlah (ath’imuu atau tashaddaquu). Rasul menetapkan aturan tambahan:

وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُوهَا

Dan janganlah menjual daging hadyu atau kurban, maka makanlah, sedekahkanlah, pergunakanlah kulitnya, dan janganlah menjualnya.” [10]

Hadis di atas, selain memberikan kewenangan kepada qurbani untuk mengelola daging qurban yang menjadi haknya, tanpa punya kewenangan untuk ikut campur dalam pengelolaan daging yang menjadi porsi sedekah hak non qurbani, juga melarang qurbani menjual bagian apapun dari hewan qurban, termasuk menjual kulitnya.

Sementara hak non qurbani didapat melalui ”pintu” pemberian dari qurbani (ath’imuu atau tashaddaquu). Karena telah beralih status menjadi hak milik seseorang non qurbani, maka kewenangan sepenuhnya ada pada pemiliknya, terserah mereka apakah mau dimakan, dikornetkan, atau dimanfaatkan kepada pihak lain, termasuk dijual.

Ketentuan di atas berlaku pula bagi panitia yang mendapat mandat dari qurbani. Karena itu, panitia dilarang menjual bagian dari hewan qurban, termasuk kulit, yang bukan haknya tanpa seizin pemiliknya. Sering terjadi, misalnya panitia sudah bertransaksi jual-beli kulit dengan bandar atau pembeli kulit, padahal hewan qurban belum disembelih dan ditetapkan porsi masing-masing mustahiq.

Namun jika kulit itu telah ditetapkan menjadi hak panitia yang didapat melalui ”pintu” pemberian dari qurbani (ath’imuu atau tashaddaquu), maka kewenangan sepenuhnya ada pada panitia, terserah mereka apakah mau dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk, jaket kulit, alas kaki, ataupun dijual.

Paparan singkat di atas semoga saja dapat memberikan secercah cahaya bagi qurbani, panitia, dan pihak penerima hewan qurban, dalam memelihara syiar Islam pada hari agung (Iedul Qurban) itu, sehingga nilai keagungannya tidak ternoda oleh kekisruhan yang terjadi gara-gara sebungkus daging atau selembar kulit.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Lampiran Dalil-dalil

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَابِسٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ أَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ قَالَتْ مَا فَعَلَهُ إِلَّا فِي عَامٍ جَاعَ النَّاسُ فِيهِ فَأَرَادَ أَنْ يُطْعِمَ الْغَنِيُّ الْفَقِيرَ وَإِنْ كُنَّا لَنَرْفَعُ الْكُرَاعَ فَنَأْكُلُهُ بَعْدَ خَمْسَ عَشْرَةَ قِيلَ مَا اضْطَرَّكُمْ إِلَيْهِ فَضَحِكَتْ قَالَتْ مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْزِ بُرٍّ مَأْدُومٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ حَتَّى لَحِقَ بِاللَّهِ

Dari ‘Abdurrahman bin Abis, dari Bapaknya, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah, ‘Apakah Nabi saw. melarang untuk makan daging sembelihan hari raya Adlha lebih dari tiga hari? Aisyah menjawab, Beliau tidak melakukan itu kecuali pada tahun paceklik (manusia kelaparan), sehingga beliau berharap orang kaya memberi makan kepada yang miskin. Dan sungguh, kami biasa makan lengan kambing setelah lima belas hari. Lalu dikatakan, ‘Apa yang mendorong kalian melakukan itu?’ Aisyah tertawa, lalu ia berkata, ‘Keluarga Muhammad saw. tidak pernah merasa kenyang karena makan roti atau gandum lebih dari tiga hari hingga beliau bertemu dengan Allah.‘ HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2068, No. 5107

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَاقِدٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلاَثٍ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرَةَ فَقَالَتْ صَدَقَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ دَفَّ أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ حِضْرَةَ الأَضْحَى زَمَنَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ادَّخِرُوا ثَلاَثًا ثُمَّ تَصَدَّقُوا بِمَا بَقِىَ. فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ يَتَّخِذُونَ الأَسْقِيَةَ مِنْ ضَحَايَاهُمْ وَيَحْمِلُونَ مِنْهَا الْوَدَكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَمَا ذَاكَ. قَالُوا نَهَيْتَ أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلاَثٍ. فَقَالَ إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِى دَفَّتْ فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا.

Dari Abdullah bin Waqid Ra., ia berkata, “Rasulullah saw. melarang makan daging kurban sesudah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata, ‘Hal itu aku sampaikan kepada Amrah, lalu dia berkata, ‘Dia benar, aku mendengar Aisyah berkata, ‘Pada zaman Rasulullah beberapa orang wanita badui berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat penyembelihan kurban. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Simpanlah tiga hari, setelah itu sedekahkanlah apa yang masih tersisa. Suatu ketika setelah itu para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang menyimpan daging kurban dan membawa sebagian dari lemaknya. Rasulullah bertanya, ‘Mengapa begitu?’ Mereka menjawab, ‘Dahulu engkau melarang makan daging kurban setelah tiga hari.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya dahulu aku melarang kamu tiada lain karena orang-orang pendatang yang sedang menuju kemari. Dan sekarang silakan makan, menyimpan, dan bersedekah (daging kurban tersebut).” HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1561, No. 1971

 

[1]Lihat, Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, hal. 429 dan 340

[2]Rujukan dalil-dalil tentang ketetapan Nabi tersebut dapat dibaca antara lain pada lampiran

[3] Dari Salamah bin al-Akwa’, riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V:2115, No. 5249, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, XIII:253, No. 5929, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:292, No. 19.000. Dari Jabir, riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayalisi, I:240, No. 1740. Dari Abu Sa’id al-Khudriy dengan tambahan kalimat “sekehendakmu (maa syi’tum), riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, III:57, No. 11.560.

[4] Dari Qatadah bin an-Nu’man, riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. 16.255, 16.256.

[5] Dari Abdullah bin Waqid, riwayat Muslim, Shahih Muslim, III:1561, No. 1971, As-Syafi’I, al-Musnad, I:163, Ishaq bin Rahawaih, al-Musnad, II:443, No. 1012.

[6] Lihat, Shahih Muslim, II:954, No. 1317.

[7] Lihat, Shahih al-Bukhari, II:613, No. 1630.

[8] Lihat, Nail al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, VIII:336.

[9] Lihat, Musnad Abu Ya’la, I:392, No. 508, as-Sunan al-Kubra, II:457, No. 4148.

[10] Dari Qatadah bin an-Nu’man, riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. 16.255, 16.256.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}