Preloader logo

CATATAN HITAM DR.M.TIJANI (Bagian ke-2)

Mengenal AtTijani, Buku-Buku, dan Konsep Penulisannya

Tijani mengaku bahwa ia salah seorang alumni Universitas Az-Zaetunah di Tunisia, pada awalnya ia seorang Sufi Tijani kemudian ia pergi ke Saudi Arabia dan dengan spontan menjadi seorang Wahabi, kemudian ia kembali ke Tunisia dan menyebarkan faham Wahabi di sana dan mengingkari ajaran tasawuf dan ajaran lainnya, kemudian ia pergi ke Beirut dan ketika di atas kapal ia berjumpa dengan seseorang yang bernama Mun’im, dan iapun terpengaruh dengannya, kemudian ia menuju ke Irak, setelah itu ia menjadi seorang Syi’ie Itsna ‘Asyaryyiah (Rafidhah), dan iapun mengaku bahwa dirinya tidak menjadi seorang Syi’ie kecuali setelah mengadakan penelitian keras tentang hakekat yang sebenarnya, sehingga pada akhirnya ia sampai kepada titik final.

Alangkah indahnya jikalau ia seorang yang jujur dalam pengakuannya. Dan jikalau itu terjadi, sungguh akan kami letakkan tangan kami di atas tangannya. Namun sangat disayangkan, ia telah memenuhi buku-bukunya dengan kedustaan dan kebohongan, penipuan dan pengelabuan, cacian dan cercaan, dan inilah yang akan anda saksikan di dalam lembaran-lembaran buku ini.

Ia telah memfokuskan di dalam buku-bukunya pada satu permasalahan, yaitu celaan terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan pada hakekatnya kaum Syi’ah tidak memiliki pembahasan yang lain ketika mereka berdialog dengan Ahlus Sunnah selain pembahasan ini.

Padahal mereka tidak memiliki argumen sedikit pun juga dalam masalah ini, karena Ahlus Sunnah tidak pernah mengatakan kemakshuman individual para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi Ahlus Sunnah memungkinkan terjadinya kesalahan dari mereka, akan tetapi walau demikian Ahlus Sunnah tetap menghormati dan mengagungkannya dan memandang kesalahan-kesalahan tersebut dengan pandangan yang adil, mereka membandingkan antara sedikitnya kesalahan dan banyaknya kebenaran.

Di antara bahan yang dijadikan cacian oleh kalangan Syi’ah terhadap para Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbagi menjadi empat bagian:

  1. Kebohongan-kebohongan yang mereka buat yang tidak pernah terjadi pada diri para Sahabat radhiyallaahu anhum.
  2. Masalah-masalah ijtihadiah.
  3. Kesalahan-kesalahan kecil yang dibesar-besarkan dan dibubuhi berlipat kedustaan.
  4. Kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi dari mereka di tengah Samudera kebaikan mereka.

Dan jikalau Tijani benar-benar sebagai seorang pencari kebenaran tentulah ia tidak akan berdusta. Karena pengikut kebenaran tidak akan berdusta dan pengikut kebathilan tidak jujur, Wallahu Musta’an.

Kritikan Umum atas Tijani dan Konsepnya[1]

Sebelum kita masuk kepada bantahan terhadap masalah-masalah terpenting yang disebutkan oleh Tijani di dalam empat bukunya, saya akan menjelaskan tentang kepribadiannya, konsepnya dalam penulisan buku-bukunya, sejauhmana kejujuran dan sifat amanahnya, serta bobot ilmiah yang ia miliki, agar dengan demikian para pembaca yang budiman dapat mengukur kadar kualitas Tijani sebelum membaca bantahan terhadap dirinya.

Yaitu dengan menjelaskan kebodohan Tijani, ghururnya, kedustaannya, penipuannya, kontradiksi yang sering terjadi dalam perkataannya, selalu mengikuti prasangka dalam hukum-hukumnya, ketidak-telitiannya dalam menukil, ketidak-sesuaiannya dengan kaidah penulisan, serta penyelewangannya dari aqidah syi’ah yang dikenal oleh mereka.

Berikut ini perinciannya:

Pertama, Kebodohannya.

Ini ditunjukkan oleh perkatannya sendiri yang menyebutkan bahwa dirinya tidak memiliki perpustakaan khusus kecuali setelah ia diberi hadiah sejumlah buku oleh orang-orang Syi’ah di Irak, ia berkata, “Ketika tiba di rumah, Aku dikejutkan dengan banyaknya bungkusan buku yang telah sampai sebelumku. Aku tahu siapa pengirimnya…Aku sangat gembira. Kususun buku-buku itu di ruangan khas yang kunamakan perpustakaan.”[2]

Kemudian setelah itu ia berkata, “Aku berangkat ke Ibu Kota di sana Aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwatha’ Imam Malik dan kitab-kitab lain yang terkenal. Belum sempat sampai ke Rumah, sepanjang jalan ke Qafsah dengan bis umum, Aku buka lembaran-lembaran kitab Bukhari. Kucari riwayatTragedi hari kamis, dengan harapan Aku tidak akan menjumpainya di sana. Di luar dugaan kudapati ada disana…[3]

Cobalah pembaca perhatikan perkataannya: Kususun buku-buku itu di ruangan khas yang kunamakan perpustakaan.” Seakan-akan ia adalah orang yang pertama kali menemukan perpustakaan dalam rumah, kemudian ia menamakannya dengan nama tersebut seakan-akan nama yang belum pernah dikenal sebelumnya, kemudian ia membeli Shahihaen dan buku-buku hadis terkenal lainnya yang sebelumnya belum ia miliki dan belum ia kenal.

Padahal saat ini buku-buku tersebut merupakan buku-buku pokok yang mesti dimiliki oleh seorang santri, apalagi oleh seseorang yang dinamakan dengan Ulama dan penulis, dan apalagi yang ia tulis adalah masalah-masalah terpenting dan rinci dalam masalah aqidah.

Dan di tempat yang lain di dalam bukunya “Akhirnya kutemukan kebenaran” penulis telah mengakui bahwa dirinya tidak memiliki ilmu syari’ah, ia mengira—karena kebodohannya—ia tidak membutuhkannya dalam pembahasan tentang keadaan para sahabat.

Kemudian ia menukil dialog yang terjadi antara dirinya dan seorang ulama Sunni: “(ia berkata) Engkau tidak boleh berijtihad kecuali apabila telah kau kuasai tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Antara lain ilmu tafsir, lughah, nahwu, shraf, balaghah, hadis, sejarah, dan lain sebagainya.” Kemudian Tijani memotongnya: “Aku bukan ingin berijtihad untuk menerangkan kepada orang tentang hukum AlQur’an dan Sunnah, atau ingin menjadi imam suatu madzhab di dalam Islam. Aku hanya ingin tahu siapa yang berada dalam pihak yang benar dan siapa yang salah, untuk mengetahui apakah Imam Ali dalam pihak yang benar ataukah Muawiyah, misalnya. Hal ini tentu tidak akan memerlukan tujuh belas cabang ilmu pengetahuan. Cukup hanya dengan mempelajari kehidupan dan tingkah laku mereka agar dapat diketahui suatu kebenaran.”[4]

Oleh sebab itu saya katakan: “Tijani sering terperosok ke dalam kesalahan fatal yang tidak boleh terjadi bahkan pada seorang santri kelas bawah sekalipun.”

Seperti perkataannya dalam bukunya: Fas’aluu Ahladz Dzikri, versi buku terjemah berjudul: Tanyakanlah kepada Ulama: “Apabila Anda bertanya kepada mereka—maksudnya Ahlus Sunnah—siapakah orang-orang munafik yang banyak disebutkan di dalam Al Qur’an lebih dari seratus lima puluh ayat di dalam dua surat At Taubah dan Al Munafiqun? Maka mereka akan menjawab: dialah Abdullah bin Ubay dan Abdullah bin Abi Salul, dan setelah dua nama ini mereka tidak menyebutkan nama lain.[5]

Dan perkataannya pula: “Lalu bagaimana mungkin mereka mengkhususkan kemunafikan pada Ibnu Ubay dan Ibnu Abi Saul yang keduanya telah diketahui oleh kaum muslimin.[6]

Dengan ungkapannya tersebut di atas, ia telah terjerumus ke dalam kesalahan yang sangat fatal:

  1. Perkataannya tentang orang munafik telah diturunkan lebih dari 150 ayat dalam At-Taubah dan Al-Munafiqun. Padahal surat At-Taubah dan Al-Munafiqun jikalau kita hitung jumlah ayat di kedua surat tersebut tidak mencapai 150 ayat, surat At-Taubah 129 ayat dan surat Al-Munafiqun 11 ayat, di samping dalam kedua surat tersebut tidak semua ayatnya membahas tentang orang-0rang munafiq, ketiga ayat terakhir dari surat al-Munafiqun tidak membahas orang-orang munafiq, demikian pula dengan surat At-Taubah di sana banyak ayat yang tidak membahas tentang orang-orang munafiq.

Dan yang dapat kita pahami juga dari perkataannya bahwa ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq hanya terbatas pada surat At-Taubah dan Al-Munafiqun, dan ini kesalahannya yang lain, padahal pembahasan tentang orang-orang munafiq tidak hanya pada dua surat tersebut di atas, seperti dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah[7] dan dalam surat-surat yang lain dalam Al-Qur’an.

  1. Ia mengira bahwa Ibnu Ubay berbeda degan Ibnu Salul dan keduanya pria yang berbeda, padahal dia adalah seorang pria yang sama yaitu: Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik di Madinah.”[8]
  2. Ia mengatakan: “setelah dua nama ini mereka tidak menyebutkan nama lain.” Ini dari kebodohannya yang sangat, dan keberaniannya yang sembrono untuk berbicara tanpa ilmu, jikalau ia mau kembali kepada buku-buku sirah yang terkenal, seperti buku Sirah Ibnu Hisyam, sungguh ia akan mendapatkan sederet nama dari orang-orang munafiq yang telah dikumpulkan oleh penulis lebih dari sepuluh halaman dengan menyebut nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka dengan menjelaskan sebagian apa yang telah diturunkan kepada masing-masing di antara mereka dari ayat Al-Qur’an, dan di samping itu banyak lagi yang disebutkan oleh Ahli sejarah yang lain dan para Mufassirin.

Dan dari kebodohan besar Tijani adalah perkataannya: “Aku juga telah menggantikan sahabat yang berpaling seperti Muawiyah, A’mar bin A’sh, Mughirah bin Syu’bah, Abu Huraerah, A’kramah (begini tertulis dalam edisi Indonesia; yang benar ‘Ikrimah) dan Ka’bul Ahbar serta orang-orang yang sejenisnya dengan para sahabat yang bersyukur kepada Tuhannya….[9] Perkataan ini mengandung unsur kesesatan dan penyelewengan yang sangat jauh, dan insya Allah bantahannya akan tiba pada tempatnya, karena ia telah menggabungkan Ka’bu Ahbar dari kalangan sahabat, padahal ia dari kalangan Tabi’in, beliau masuk Islam setelah wafat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau datang ke Madinah pada masa Khilafah Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu,[10] dan ini sangat terkenal di kalangan para ulama, akan tetapi karena kebodohan Tijani ia akhirnya terperosok ke dalam kesalahan yang memalukan ini.

Kesimpulannya, kesalahan-kesalahan ilmiah Tijani ini menunjukkan kebodohan dan keminiman pengetahuannya, dan yang saya paparkan di sini hanyalah sebagai contoh kecil dari kesalahan-kesalahan tersebut, sebelumnya saya tambahkan perinciannya dalam bantahan terhadap kesesatannya Insya Allah.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Sumber:

Kasyf al-Jaani Muhammad at-Tijani fii Kutubih al-Arba’ah, karya Syekh Usman al-Khamis.

Buku Catatan Hitam Dr. Muhammad al-Tijani, penerjemah Ustadz Zezen Zainal Mursalin, Lc.

 

Lampiran Teks Asli Syekh Usman al-Khamis

1 

2

3

4

5

 

 

[1] Disarikan dari buku: Al-Intishar Lish Shuhbi Wal Aal, DR. Ibrahim Ar-Ruhaeli, hlm. 154-200.

[2] Lihat, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, hlm. 96-97.

[3] Ibid, hlm. 98.

[4] Lihat, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, hlm. 171.

[5] Lihat, Fasaluu ahladz Dzikri, hlm. 119.

[6] Ibid, hlm. 119.

[7] Di antara ayat-ayat tersebut misalnya, dalam QS. Al-Baqarah ayat: 8-20, 204-206, di dalam QS. Ali Imran: 120, 154, dalam QS. An Nisa’ 60-66, 72-73, 138-146, dan di dalam Al-Maidah: 41, 52, dan 53.

[8] Lihat, Biografinya dan sebagian kisahnya di dalam Sirah Ibnu Hisyam, II:260, 469 dan 555.

[9] Lihat, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, hlm. 183.

[10] Lihat, Siyar A’lam an-Nubala, III:349.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}