Preloader logo

ARTI SEBUAH JABATAN

Islam menempatkan kedudukan dan jabatan sebagai amanah yang memiliki konsekuensi yang berat. Allah Swt. berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, maka semua enggan untuk memikulnya dan merasa berat menerimanya. Dan dipikul lah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya mereka amat zhalim dan bodoh.” Q.s. Al Ahzab: 72

 

Ayat ini mengingatkan kita agar sangat berhati-hati dalam memelihara amanah yang diembannya, sebab langit dan bumi saja merasa berat untuk menerima amanah.

 

Mengingat demikian beratnya konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan oleh pengemban amanah di hari kiamat nanti, maka seyogyanya setiap muslim melakukan evaluasi dan instrospeksi diri sebelum menerima sebuah amanah dalam bentuk apapun. Apakah amanah yang akan diterimanya itu akan dapat jalankan atau tidak. Karena dalam Islam, amanah merupakan suatu bentuk tugas yang harus dijalankan secara baik, bertanggungjawab dan adil. Tidak heran, jika Alquran dan hadis sangat banyak memperbincangkan tentang bagaimana suatu amanah harus dijalankan dan betapa besarnya akibat yang harus diterima jika amanah tidak berjalan dengan semestinya. Nabi saw. bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ – رواه البخاري –

“Sesungguhnya kalian akan berambisi kepada kepemimpinan, padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 6, hlm. 2.613, Hadis No. 6.729
Dari Abu Dzar, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا – رواه مسلم –

“Wahai Rasulullah, mengapa anda tidak memberiku jabatan? Maka beliau menepuk bahuku, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah, sedangkan jabatan itu amanah, dan jabatan itu adalah kerugian dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mendapatkannya secara haq dan menunaikan tanggungjawabnya’.” HR. Muslim, Shahih Muslim, Juz 3, hlm. 1.457, Hadis No. 1.825

 

Dari Shalih bin Yahya, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. menepuk pundak al-Miqdam bin Ma’dikariba, kemudian beliau bersabda,

أَفْلَحْتَ يَا قُدَيْمُ إِنْ مُتَّ وَلَمْ تَكُنْ أَمِيرًا وَلَا كَاتِبًا وَلَا عَرِيفًا – رواه أبو داود –

“Wahai Qudaim, kamu beruntung jika mati ketika tidak menjadi pemimpin, sekretaris, dan tokoh. HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 3, hlm. 131, Hadis No. 2.933

Sehubungan dengan itu, para sahabat, tabi’in serta para ulama yang saleh, sangat penuh kehati-hatian dan kekhawatiran untuk menduduki sebuah jabatan.  Apalagi kalau mereka harus menawarkan dirinya, bahkan memperebutkannya. Ketakutan dan kekhawatirannya tidak dapat menjalankan amanah tersebut senantiasa meliputinya, karena mahkamah akhirat akan mengadili dan menghukum bagi siapa yang tidak amanah atau khianat terhadap jabatan. Mari kita bercermin pada kisah Khalid bin Walid, seorang ahli perang yang diberi gelar dengan “Saifullah” (pedang Allah). Pencopotan dirinya sebagai komandan perang oleh Khalifah Umar bin Khattab tidak menjadikannya kendor dalam berjihad di jalan Allah. Kedudukan bukan masalah bagi Khalid, baginya sama saja nilai sebuah perjuangan apakah ia seorang komandan atau prajurit biasa. Ia bahkan pernah menyebutkan, “Saya berjihad bukan karena Umar, tapi karena Allah”.

 

Demikian pula kita dapat bercermin dari kisah Abu Hanifah yang tercatat dalam sejarah hidupnya, ketika ia lebih memilih dipenjara dan dihukum cambuk 120 kali daripada menerima tawaran berbagai jabatan tinggi di pemerintahan. Jabatan tinggi yang ditawarkan Gubernur Irak Yazid bin Amr Hurairah al Fazzary, kepada Imam Abu Hanifah adalah sebagai kepala perbendaharaan Negara (Baitul Mal), sebagai Qadhi dan kepala kantor tata usaha Gubernuran. Semua tawaran itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. “Beliau lebih memilih hukuman dunia dengan cemeti di dunia yang dianggapnya lebih baik daripada ia nanti menerima hukuman cemeti di akhirat.

 

Begitu hati-hati dan khawatirnya orang-orang saleh di atas jika tidak kuat dan sanggup untuk menjalankan amanah tersebut. Mereka sangat takut kalau kemudian ada umat yang terabaikan haknya, sehingga itu menjadi catatan dosa dihadapan Allah. Refleksi mahkamah akhirat senantiasa hadir dalam kehidupan mereka, sehingga mereka begitu penuh kehati-hatian dalam menerima dan mengemban suatu amanah. Bagi mereka, kedudukan memangku amanah kenegaraan dan jabatan lainnya, bukanlah suatu kebanggaan dan kehebatan, justru tidak jarang diantara mereka langsung beristigfar dan beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika diserahkan kepada amanah.

 

Apa yang dapat kita ambil dan petik dari sikap dan perilaku mereka itu? Mereka menempatkan jabatan dan kedudukan bukan suatu kehormatan dan kebanggaan yang harus diperebutkan. Karena kedudukan dan jabatan senantiasa sangat berdekatan dengan amanah dan khianat, sorga dan neraka. Karena suatu kedudukan dan jabatan sangat sarat dengan kekuasaan dan kemewahan, maka jika tidak memiliki iman yang kuat untuk istiqomah dalam menjalankan amanah tersebut, maka sikap untuk berkhianat kerap kali menyertainya.

Bisikan dan rayuan setan untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang kekuasaannya acapkali menjadikannya lupa amanah alias mengkhianati dan mengingkari kepercayaan aspirasi umat dan amanah dari Allah.

 

Ingat dan yakinlah, bahwa kekuasaan adalah hanya karunia Allah yang diberikan kepada seseorang untuk dijalankan dalam rangka membumikan dan membesarkan keagungan dan kekuasaan Allah. Kepercayaan dan karunia Allah tersebut, baru bisa dikatakan sebagai sarana untuk membesarkan dan mendekatkan kepada keridhoan-Nya, jika kekuasaan tersebut dilandasi atau berpijak dari ketentuan Allah. Khianat terhadap amanah merupakan pengingkaran terhadap Allah.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}