Preloader logo

AL-QUR’AN: SEBAGAI PANGLIMA KEHIDUPAN

Duh, mau bahas soal apa sih ini. Di awal kalimat ada kata Al-Qur’an yang bisa menyejukkan hati. Tapi di tengah kalimat ada kata panglima, istilah militer kaya mau perang aja hehe…

Jadi gini sobat muslim Rahimakumullah, di kesempatan yang Insya Allah baik ini kita bakalan ngebahas soal fungsi sama kedudukan Al-Quran buat umat manusia (khususnya umat Islam).

Siapa sih yang ga tau Al-Qur’an? Seawam-awam nya orang, pasti tetep tau apa itu Al-Qur’an. Kitab suci umat Islam di seluruh penjuru dunia. Turun sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya, untuk menuntun manusia pada jalan keselamatan. Berlaku sejak Muhammad diutus jadi Nabi, zaman sekarang, sampai nanti saat dunia ini hanya tinggal cerita dan akhirat adalah nyata.

Sebagai pribadi Muslim, udah berapa kali kita khatam atau tamat baca Qur’an? Tiap minggu? Tiap bulan? Atau tiap Ramadhan aja, setaun sekali? Segitu juga udah uyuhan. Atau engga gini deh, sampai umur kita sekarang ini pernah ga minimal sekalii aja khatam? Yukk tanya diri masing-masing. Ini baru dari satu aspek; membaca.

Sekarang kaitannya sama penghayatan atau pemahaman. Kalau kita udah rutin khatam Qur’an, apa kita cuma sekedar baca atau udah nyoba juga nyari pemahaman? Dan kalo udah sampe ke pemahaman,  coba tanya lagi diri kita masing-masing, lebih gampang mana memahami Qur’an dalam format asli (bahasa arab) atau Qur’an yang udah diterjemah? Pasti yang terjemah kan? Setelah baca pemahaman lewat Qur’an terjemah kita pun seneng, karena bisa menghayati Qur’an dan bisa merasakan kehadiran Qur’an.

Ini sebenarnya engga menyenangkan tapi menyedihkan.

Loh kenapa menyedihkan? Terlepas dari formatnya asli atau terjemah yang penting kan bisa paham isi Qur’an?

Gini-gini sob, bener bahwa bisa paham isi Qur’an walaupun terjemahan aja udah bagus, tapi bakalan lebih bagus, sempurna, kalo kita pahamnya langsung lewat bahasa asli Qur’an. Kenapa? Soalnya bahasa Qur’an itu bahasa Allah langsung, sementara kalo terjemahan kan ada campur tangan manusia. Walaupun dia ahli terjemah bahasa dan paham kaidah peng-ejaan kata, tetep aja bakal ada makna yang tersembunyi bahkan ilang.

Kenapa menyedihkan? Sebab kita baru bisa paham sama ngerasa deket sama Qur’an, saat Qur’an disajikan dalam bahasa kita, bukan bahasa Qur’an. Jadi selama ini, Qur’an ada di posisi sebagai apa dalam hidup kita?

Lanjut lagi soal pengamalan, aplikasi di kehidupan sehari-hari. Kita sebagai orang yang hidup, pasti pernah berhadapan sama masalah kan? Wah, bukan pernah lagi kak, sering. Saking seringnya ketemu, aku sama masalah itu udah kayak sahabat. Ciyee curhat hahaha….

Apalagi di zaman sekarang ini, permasalahan idup kayanya kompleks banget ya? Aneh ih, kan makin kesini zaman makin modern, tapi kenapa makin modern, makin berkembangnya iptek, malah makin kompleks, makin mempersulit bukan mempermudah?

Nah, kaitan masalah hidup sama Qur’an tuh misalnya gini;

Pas lagi sakit, yang pertamakali terlintas di pikiran kan, makan obat apa? Harus ke dokter mana? Ke rumah sakit mana? Pernah ga kita berpikir pas dapet masalah yang kebayang itu Qur’an. Dicari, penyakit kita ini di Qur’an itu ada di surat dan ayat berapa? engga kan? Itu satu problem. Belum problem lain, saat kita dihadapkan pada masalah keluarga misalnya. Adik, kakak, atau sodara kita yang hiperaktif.  Pernah ga kita merujuk ke penjelasan Nabi, barangkali ada di riwayat mana, yang membahas soal anak hiperaktif. Engga kan? Yang kita cari konsultan, kita cari psikolog, kita cari orang pintar. Sedangkan Qur’an Sunnah nya engga jadi panglima dalam memandu kehidupan.

Kebayang deh sama kita saat Al-Qur’an engga dapet porsi sebagai panglima kehidupan. terbayang kalo pola pikir, pola sikap, dan pola rasa yang bakal dimiliki oleh orang Islam belum tentu bakal nunjukin warna Qur’an. Makannya ga usah heran, kalo orang Islam berhubungan sama Qur’an dan Sunnah itu terkenal dengan sindrom musim. Jadi, ingat Qur’an kalo ada sesuatu. engga ada sesuatu, engga inget Qur’an. Kasian deh nasib Qur’an.:)

Terus kalo kondisinya udah kaya gini, harus gimana dong? Gimana caranya ngedeketin lagi Qur’an ke kaum muslimin sehingga ditempatkan di tempat yang proporsional? Teringatlah, apa yang pernah diucapin sama Ali bin Abi Thalib “Ajak bicaralah Qur’an atau biarkanlah Qur’an berbicara sendiri.” Maksudnya apa? Kan gini sobat, kan kalo kita baca Qur’an kita kan yang pilih pilih. Jadi yang pilih ayat yang mau dibaca kita, terkadang cita rasanya juga cita rasa pilihan kita, disampaikan racikannya racikan kita. Bukan gimana kita ngambil Qur’an ini sesuai dengan pola pikir dan cita rasa yang dikehendaki oleh Qur’an.

Bisa jadi, Qur’an nya semarak, tapi cita rasanya campur sari. Qur’an nya menyebar, tapi cita rasanya ga “orisinil” Qur’an. Ini yang dimaksud sama Ali. “Biarkanlah Al-Quran berbicara dirinya sendiri” artinya kita cuma berusaha menggali sesuai arahan sama cita rasa hidangan yang emang disediakan oleh Qur’an.

Berarti selama ini salah dong ya?

Terkait pemahaman kita selama ini, bukan kita semua salah asuhan atau  salah asupan kok, tapi mungkin ada sesuatu yang belum lengkap. Baik di dalam pola pikir kita saat kita berhadapan dengan Qur’an atau saat kita bermuamalah dengan Qur’an. Sehingga nilai-nilai Al-Qur’an masih parsial atau kita ambil sebagian, dan kita biarin sebagian yg lain.

Nah dengan pembahasan kita sekarang ini mudah-mudahan ini bisa ngasih pencerahan sekaligus jadi langkah awal buat kita memahami dan menempatkan Qur’an ke fungsi sesungguhnya; menjadikan Al-Qur’an sebagai panglima dalam menjalani kehidupan. Aaamiin….

By Azmi Fathul Umam, sigabah.com/beta

There is 1 comment
  1. Subhanalloh …

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}