“Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah hari ultimatum dari umat Kristen Indonesia bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Menyambut Hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari esoknya, 18 Agustus, kita beristigfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa.” (M. Natsir)
Dengan penantian yang panjang disertai perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya Indonesia berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang, tanggal 17 Agustus 1945. Hari yang kemudian dijadikan hari bersejerah, hari sakral bagi kebanyakan bangsa Indonesia. Menghargai sejarah kemerdekaan merupakan salah satu cara untuk menjaga sprit kebangsaan dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia. Dengan begitu, spirit perjuangan untuk menjadikan Indonesia terus merdeka akan terpatri dalam setiap jiwa. Jika setiap jiwa bangsa Indonesia seperti itu, maka bangsa ini akan menjadi besar, mempunyai confident tinggi, berani dan berwibawa di mata dunia. Tidak akan mengekor pada kepentingan bangsa lain. Begitulah pentingnya mengetahui sejarah. Dahulu, Soekarno pernah berkata; “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya.”
Dalam Islam, sejarah amat penting. Islam memerintahkan pada umatnya agar senantiasa melihat sejarah untuk dijadikan proyeksi ke masa depan (al-Hasyr: 17). Dalam sejarah terdapat berbagai pelajaran yang dapat dipetik untuk melihat masa depan. Bagi umat Islam Indonesia, seperti dikatakan M. Natsir di atas, tanggal 17 Agustus merupakan hari dimana bertahmid, bersyukur karena Indonesia telah merdeka. Namun, tanggal 18 Agustus umat Islam beristigfar, karena telah terjadi suatu kedzaliman. Ada sesuatu yang sejatinya menjadi hak bagi umat Islam dalam sebuah kerangka konstitusional, kemudian dihilangkan tanpa ada proses musyawarah yang terbuka.
Ya, piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat hak konstitusional umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam, dihapus. Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, sebelum proklamasi kemerdekaan, perdebatan tentang dasar negara berlangsung sengit. Ketika merancang konsititusi negara, ketua BPUKPI, Radjiman Widiodiningrat melontarkan sebuah pertanyaan tentang landasan filosofis yang akan digunakan negara Indonesia. Hal itu sangat penting, mengingat Soekarno, berpandangan landasan filosofis bagi negara adalah fondasi yang fundamental, sebuah filsafat, alasan mendasar, sebuah spirit yang kuat dan hasrat yang mendalam yang mendasari struktur negara merdeka yang hendak dibangun. Kalangan nasionalis Islam menganjurkan Islam untuk dipakai sebagai spirit filosofis negara. Argumentasi yang dibangun sangat jelas. Menurut mereka, karena negara Indonesia yang bermula 90% membentuk nation Indonesia, sehingga tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. Apalagi Islam merupakan bagian integral dan dominan, baik secara kualitas maupun kuantitas, dalam kekayaan rohani Indonesia yang akan tetap hidup dalam keinsyafan nilai dan kesadaran norma bangsa sampai kapan pun. Akan tetapi, usulan nasionalis Islam mendapat tantangan dari kalangan nasionalis sekuler. Suara dari kalangan nasionalis Islami yang hanya 15 orang dari 68 orang anggota BPUPKI, tidak sepadan dengan kalangan sekuler. Diskusi pun pada akhirnya buntu. Maka dibuat panitia kecil yang terdiri dari empat wakil nasionalis Islam (Abi Koesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Mudzakkir, H. Agus Salim, dan Wahid Hasyim), dan lima wakil nasionlis sekuler (Soekarno, Moh. Hatta, AA. Maramis, Achmad Soebarjo dan Mohammad Yamin).
Lewat debat panjang panitia Sembilan, akhirnya dicapailah modus Vivendi berupa preambule yang ditandatangani di Jakarta 22 Juni 1945, bahkan diikuti pula dengan kesepakatan batang tubuh rancangan UUD. Kompromi ini oleh Mohammad Yamin disebut Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Soekiman menyebutnya Gentleman Agreement. Bagi Soekarno, kesepakatan itu merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan yang hanya didapat secara susah payah, didasarkan atas “memberi dan mengambil”. Nasionalis Islam memberi (nasionalis sekuler mengambil) dua konsesi; Pertama, Islam tak dijadikan dasar negara. Kedua, tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Sebaliknya, nasionalis sekuler memberikan (nasionalis Islam mengambil) konsesi; Pertama, sila ketuhanan ditaruh pada urutan pertama pancasila. Kedua, sila ketuhanan, dan pasal 29 batang tubuh, dirumuskan dalam; ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Ketiga, presiden Indonesia beragama Islam. (Dhurorudin Mashad, 2008: 56-57)
Rancangan landasan negara telah disepakati dan dipersiapakan untuk dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada malam hari sebelum proklamasi dibacakan, ketiga anggota PPKI berkumpul dirumah Laksamana Maeda untuk bersidang. Sebelum rapat, menurut Hatta, ia, Soekarno, Subardjo, Soekarni dan Sayuti Malik berkumpul di ruang lain untuk membuat teks proklamasi Indonesia. pernyataan Hatta ini agak mengherankan, sebab sebelumnya sudah disepakati bahwa teks yang akan dibacakan adalah yang telah disusun pada 22 Juni (Piagam Jakarta). Teks yang oleh Soekarno disebut sebagai kompromi nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Rupanya, menurut Hatta, alasannya sederhana saja; tak seorang pun di antara mereka yang membawa teks proklamasi yang asli (Piagam Jakarta). Entah di mana naskah yang sangat penting itu disimpan. Jika berada di rumah Hatta atau di rumah di mana BPUPKI pada 22 Juni bersidang, seharusnya bisa diambil dengan mudah. Sebab, jarak ketiga rumah tersebut tidak jauh dengan rumah Laksamana Maeda. Dari rapat mendadak tersebut akhirnya lahir teks baru yang disepakati dan akan dibacakan esoknya pada pukul 10.00 di lapangan Ikada. Menjelang jam 10.00, orang-orang sudah berkumpul di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur, No. 56, Jakarta.
Detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta alinea ke-4. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi. Menurut Ridwan Saidi, awalnya Soekarno berpidato tanpa teks. Barulah dia membacakan teks proklamasi yang disusun di rumah Maeda. Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Tokoh-tokoh yang hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).
Ada yang perlu kita tanyakan di sini? Mengapa pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, kalangan Kristen tidak hadir? Padahal, sejatinya mereka harus menghadirinya sebagai bentuk nasionalismenya. Sejatinya, mereka menghadiri peristiwa yang amat bersejarah itu. Ketidakhadiran mereka belakangan diketahui, sebab pada saat itu para aktivis Kristen sibuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10. Sebelum mahasiswa itu mengadu kepada Soekarno, mereka terlebih dahulu mengadu ke M. Hatta. Jika Soekarno menerima aduan mahasiswa pada malam harinya pasca proklamasi, Hatta menerima aduan tersebut pada sore harinya. Pada sore harinya pasca pembacaan teks proklamasi, Hatta mengaku menerima telepon dari Tuan Nishijama, pembantu Maeda, ia menanyakan apakah Hatta bisa menerima kedatangan seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) Jepang. Nishijama sendiri akan menjadi penerjemahnya. Hatta mempersilahkan mereka datang. Hatta lupa nama opsir itu. Si opsir datang untuk menyampaikan wakil-wakil protestan dan katolik dari kawasan timur Indonesia yang dikuasai oleh angkatan laut Jepang. Para wakil Kristen itu merasa sangat keberatan terhadap kalimat dalam pembukaan UU yang berbunyi “ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut mereka, kalimat tersebut diskriminatif. Jika ditetapkan, mereka lebih suka berada di luar RI. Pada awalnya Hatta menolak, sebab Mr. Maramis, seorang tokoh Kristen senior, ikut menandatangani naskah Piagam Jakarta saat rapat BPUPKI. Namun, akhirnya Hatta luluh juga. Lalu dari mana Mahasiswa saat itu mempunyai gagasan seperti itu? Adalah anggota PPKI, Latuharhary dan Sam Ratulangi (Kristen), I Gusti Ketut Pudja (Hindu) serta Tadjudin Noer dan Pengeran Noer (Islam).
Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi tanggungjawab mahasiswa. Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Pengakuan Hatta bebeda dengan pengakuan Dr. Sujono Marto Suwojo dalam bukunya “Mahasiswa ’45 Prapata 10”, Sujono mengatakan bahwa sebenarnya pada sore itu tidak ada opsir Jepang yang menghadap Hatta. Yang ada adalah dua mahasiswa dari Asrama Prapata 10 bernama Piet Mamahit dan Imam Slamet. Imam Slamet memiliki postur tubuh tinggi, rambut pendek, mata sipit dan suka berpakaian putih-putih. Ia mirip orang Jepang. Imam inilah yang dianggap Hatta sebagai opsir Jepang. Jadi, kata Sujono, Hatta hanya salah pengertian. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah buku yang diterbitkan Univeristas Indonesia tahun 1997 dengan judul “Lahirnya Satu Bangsa dan Negara” yang diberi kata sambutan oleh Soeharto. Dalam buku tersebut, para pelaku peristiwa seputar kemerdekaan menuturkan cerita yang berbeda dengan hatta. Menurut mereka, ada tiga mahasiswa yang menghadap Bung Hatta sore itu. Mereka mengatakan keberatan atas Piagam Jakarta, yaitu Piet Mamahit, Moeljo dan Imam Slamet (Tan Tjeng Bok). Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badanya pendek, jadi mrip orang Jepang. Juga disebutkan, Nishijama ketika datang ke Jakarta dan ditanya perihal orang Jepang yang datang ke Hatta, dia mengatakan tidak ada. Menurut Sujono, sebelum kedua Mahasiswa itu menghadap Hatta untuk meminta dihapuskannya tujuh kata, keduanya didatangi lima anggota PPKI yaitu; Latuharhary dan Sam Ratulangi (Kristen), I Gusti Ketut Pudja (Hindu) serta Tadjudin Noer dan Pengeran Noer (Islam). Setelah dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Atas desakan mahasiswa, keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, Soekarno dan Hatta mengadakan rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30 WIB. Mundurnya rapat tersebut disebabkan terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang. Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta. Dalam lobi itu, Ki Bagus bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan, sehingga berbunyi: ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku secara umum di Indonesia. Soekarno kemudian hanya mengirim Teuku Muhammad Hassan untuk turut dalam lobi. Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan tak mampu mengubah pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus. Melalui lobi Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menyetujuinya. Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo bahwa pembicaraan seputar piagam Jakarta akan bisa dibicarakan lagi di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap. (Artawijaya, Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular Menghapus Piagam Jakarta, selanjutnya disebut peristiwa 18 Agustus 1945).
Adanya intrik politik kotor tersebut amat disayangkan. Keterangan Hatta bahwa KH. Wahid Hasyim hadir dalam proses lobi tersebut disangsikan. Prawoto, seperti dikutip ESA, menyangkalnya, sebab KH. W. Hasyim sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur (Surabaya). Sedangkan Kasman Singodimejo, yang merupakan anggota tambahan, juga menerima undangan mendadak pada pagi hari. Karenanya, dapat dimengerti bila kemudian Kasman Singodimejo sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah tersebut. Kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk tidak jatuh ke tangan Jepang. Satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada saat itu adalah Ki Haji Bagus Hadikusumo. (ibid, dan ESA, Piagam Jakarta, hal. 52-53). Patut diketahui juga, kalau Ki Haji Bagus Hadikusumo tidak termasuk penandatangan Piagam Jakarta. Jadi, penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta benar-benar tidak gentl, sebab tidak mengikutsertakan satu pun dari kalangan nasionalis islami yang hadir pada saat itu. Dari kesembilan orang penandatangan Piagam Jakarta itu, hanya tiga orang saja, Soekarno, Hatta dan Soebardjo. Kasman Singodimejo, pada malam harinya setelah berhasil melobi Ki Bagus Hadikusomo baru menyadari akan siasat licik nasionalis sekuler. Malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur, sampai tidak bicara, diam membisu kepada keluarganya.
Siapa yang paling bertanggung jawab atas Kecelakaan sejarah tentang Piagam Jakarta ini? Banyak pihak yang menyalahkan Bung Hatta. Banyak yang mempertanyakan integritas Bung Hatta terkait khusus dengan piagam Jakarta. Isa Anshari dengan keras menanyakan sikap Hatta tersebut. Bahkan yang paling tegas datang dari R.M. A. B. Kusuma yang dengan tegas menyebut Hatta sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa dia berdusta.” (Artawijaya, 18 Agustus 1945). Dari piagam Jakarta yang telah disepakati itu, tanggal 18 Agustus, dirubahlah empat hal pokok; pertama, kata mukaddimah diganti dengan “pembukaan”, meskipun artinya sama. Kedua, “kalimat berdasarkan ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, baik dalam Preambule maupun dalam batang tubuh pasal 29. Ketiga,pasal 6 ayat 1 “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata “dan beragama Islam” dicabut. (Dhurorudin Mashad, 2008: 58)
Kaum nasionalis Islam saat itu tidak terlalu lantang menolak perombakkan tersebut. Hal tersebut bukan tanpa sebab. Seperti dikatakan Letnan Jendral Soedirman, saat itu, keadaan situasai dan kondisi tanah air masih dalam mara bahaya. Tentara sekutu sudah mengelilingi rakyat Indonesia mau mengembalikan kolonialisme Belanda/Nica untuk menjajah kembali. Selain itu, tentara Dai Nippon masih lengkap menguasai Indonesia. Bagi kalangan Islam saat itu, masa revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islam. Mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus didahulukan. Tidaklah tepat membahas atau membicarakan materi perombakan piagam Jakarta secara mendalam. Terlebih lagi, Soekarno menjanjikan pada kalangan nasionalis Islam untuk membicarakan masalah tersebut suatu saat nanti. Soekarno menjelaskan;
“Nanti…. Kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.”
Janji Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut senada dan sejiwa dengan janjinya sendiri terhadahulu dalam pidato tanggal 1 Juni 1945. Saat itu, Soekarno berkata;
“Untuk Umat Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memlihara agama… Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan negara, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan didalam permusyarawatan. Badan Perwakilan, inilah tempat untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam.”
Janji Seokarno inilah yang dipegang oleh kalangan nasionalis Islam. Seperti dikatakan Prawoto, pikiran-pikiran Soekarno seperti termaktub di atas dapat menentramkan dan menyabarkan gelora kalbu kalangan nasionalis Islam sesudah proklamasi. Karenanya, kalangan nasionalis Islam tidak memperhatikan perombakan piagam Jakarta saat itu. Perhatian kalangan nasionalis Islam dipusatkan seluruhnya kepada perjuangan menghadapi Belanda, baik secara fisik, maupun melalui diplomasi.
Akan tetapi, sikap Soekarno berubah seiring dengan perkembangan politik Indonesia saat itu. Pidato Seokarno di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953 mengagetkan banyak pihak kalangan Islam. Dalam pidatonya tersebut Soekarno menyitir kalangan yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sebab, jika Islam dijadikan dasar negara, maka Indonesia bagian Timur seperti Bali, Flores, Timor, Kain dan Irian Barat yang belum masuk wilayah Indonesia, tidak akan mau ikut dalam Republik. Nampaknya, keberanian Soekarno yang menentang Islam dijadikan sebagai dasar negara disebabkan adanya perpecahan internal di kalangan Islam saat itu. Masyumi yang menjadi representative suara politik umat Islam mengalami konflik internal dengan NU. Pada tahun 1952, NU yang mempunyai basis massa terbesar di Masyumi, keluar dari partai politik itu. Kekuatan Islam dengan begitu, menjadi berkurang.
Pidato Soekarno yang kontroversial itu mendapat respon keras dari kalangan Muslim. Respon paling pertama datang dari Isa Anshari, kemudian disusul PB NU, PB Front Mubalig Islam Medan, Dewan Tertinggi Perti, Pucuk Pimpinan Pemuda Islam Indonesia, PP. Persis. Konflik dan reaksi tentang pernyataan Soekarno tersebut terus terjadi hingga pada sidang Konstituante tahun 1956-1959. Polemik Islam dan Pancasila sebagai dasar negara kembali terjadi di sini. Pihak nasionalis Islam masih tetap bertahan agar Islam menjadi dasar negara. Masih banyak sebenarnya tabir sejarah yang belum terbuka sepenuhnya tentang tragedy 18 Agustus 1945 terkait dengan Piagam Jakarta. Dampak dari tragedi itu begitu terasa hingga saat ini, bahkan akan terus terasa di masa depan. Hak konstitusional ummat Islam untuk menerapkan syari’at Islam sepenuhnya (kaffah) telah direnggut oleh intrik-intrik politik yang tidak sehat.
Umat Islam Indonesia, seperti Natsir cs, berusaha menerapkan Islam sebagai dasar negara melalui cara-cara yang elegant dan aturan sah di negara ini. Jika sekarang ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan Islam sebagai dasar negara melalui cara-cara yang inkonstitusional, lalu siapa yang harus disalahkan? Semoga dapat mengambil pelajaran (‘ibrah) dari sejarah yang dulu menimpa umat Islam Indonesia, terlebih dalam berpolitik. Jangan sampai masuk jurang kecelakaan untuk yang kedua kalinya. Kekalahan politik masa lalu, sejatinya harus banyak dijadikan pelajaran bagi para politikus muslim saat ini yang menjadikan Islam sebagai landasan dasar berpolitiknya. Jangan sampai, Islam hanya dipakai embel-embel politik untuk mencapai kepentingan individu.
By Nizar A. Saputra, Ketua Umum PP HIMA Persis