Masih ingatkah “peristiwa terpaksa” yang terjadi setahun lalu, tepatnya pada Jumat, 23 Oktober 2015. Saat itu, “Bandung 1” (Walikota Bandung), Bapak Ridwan Kamil, atau yang akrab dipanggil Kang Emil, “terpaksa” memberikan izin kepada Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) untuk menggelar acara peringatan hari Asyura Syiah di Stadion Persib.
“Terpaksa” dalam konteks Kang Emil kala itu dilatarbelakangi oleh “dampak keamanan”. Maka dengan terpaksa saya bilang, ini harus cepat-cepat beres supaya tidak menimbulkan dampak keamanan. Akhirnya secara lisan saya izinkan, itu pun saya bilang maksimal satu jam dan segera bubar,” papar Kang Emil.
Kang Emil memaparkan Sababul Kurunyung (asal-usul)nya: “Kronologisnya begini, waktu itu saya sedang berada di luar kota. Sekira Maghrib saya ditelepon oleh pengurus IJABI sebagai panitia acara yang mengaku sudah ada ribuan orang untuk mengikuti acara namun belum mendapat tempat. Khawatir dan takut terjadi chaos dan gesekan dengan massa yang kontra maka saya harus memutuskan sesuatu yang masuk logika, yaitu Bandung harus aman,” jelasnya di hadapan puluhan perwakilan ormas Islam yang tergabung dala Pembela Ahlu Sunnah (PAS) di kantornya Jalan Wastukencana Kota Bandung, Selasa (27/10/2015).
“Terpaksa” versi “Bandung 1” kala itu dibuat tidak secara resmi (hanya lisan, tanpa surat edaran). Kang Emil menegaskan bahwa dirinya tak pernah memberi izin tertulis ataupun rekomendasi tempat atas terselenggaranya Asyura. Ia mengaku terpaksa mengizinkan secara lisan, karena saat itu kondisinya darurat.
Di pihak lain, “keterpaksaan” Kang Emil berbuah manis bagi pihak Syiah. Karena tak lama setelah sukses “memaksa” Kang Emil agar “terpaksa”, para tokoh dan umat Syiah mengapresiasi Kang Emil dalam beragam komentar. Sekilas ragam komentar apresiatif itu menunjukkan bahwa “Izin Kang Emil” bukan karena “keterpaksaan”, melainkan karena Kang Emil memang berkomitmen menjadikan Bandung sebagai Kota HAM. Lantas siapa yang dapat dipercaya, apakah Kang Emil sebagai pihak yang merasa “terpaksa” ataukah Syiah sebagai pihak yang “memaksa”? Pertanyaan ini layak diajukan kembali untuk mengingatkan kita semua agar Kang Emil tidak terpaksa lagi memberikan izin perayaan Asyura Syiah di tahun ini (1438 H/2016 M).
Mari kita ingat-ingat kembali pernyataan Kang Emil berikut ini: “Dalam hidup saya ada persimpangan-persimpangan emergensi yang saya terpaksa harus memutuskan. Tapi Allah Maha Tahu isi hati saya. Pada akhirnya kebenarannya saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Saya tidak menyukai Syiah.”
Agar Kang Emil Tidak Kembali Terpaksa
Catatan saya mengenai “keterpaksaan” Kang Emil tahun lalu “terpaksa” saya buka kembali mengingat manuver terselubung pihak syiah di balik beberapa “bendera” komunitas, baik lintas agama maupun pegiat HAM, yang berupaya mendesak agar “keterpaksaan” Kang Emil itu menjadi permanen, tak terkecuali pada tahun ini.
Dalam konteks ini, usulan saya pada tahun lalu perlu disuarakan lagi sekarang agar Kang Emil tidak selalu “tersandera dengan keterpaksaan”. Usulan dimaksud, Kang Emil perlu mempertemukan dua pihak di antara “pemilik rumah Islam”, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Syiah, sehingga Kang Emil tidak terpaksa memutuskan siapa “pemilik rumah Islam” sesungguhnya. Dengan cara itu pula Kang Emil dapat berpikir jernih, ajaran (believe) mana yang sejatinya menjadi pemicu in-toleransi. Ajaran mana yang menjadi penyebab mayoritas warga Bandung belum merasa aman dan tenteram, can ngarasa genah merenah tur tuma’ninah, seiring belum nyamannya pengguna berbagai jalan di Bandung karena muaacet melulu 🙂
Untuk itu, Kang Emil dapat memperluas forum pertemuan ini dengan melibatkan institusi keagamaan yang lebih kompeten, seperti Kemenag dan MUI, selain juga ormas-ormas Islam lain yang lebih banyak jumlahnya di luar NU dan Muhamadiyyah.
Tak lupa juga ada baiknya jika Kang Emil menyarankan kepada pihak-pihak yang selama ini berada di luar “rumah Islam”, baik pegiat HAM maupun lintas agama (di luar Islam), untuk turut serta “mendengarkan”, tanpa harus ikut campur, bagaimana syiah menistakan para sahabat Nabi Muhammad, yang mereka itu dihormati dan dijunjung tinggi oleh umat Islam atas peran besar mereka dalam mengukir sejarah kegemilangan Islam. Dengan begitu, komunitas pegiat HAM dan forum lintas agama akan tahu siapa yang sesungguhnya toleran dan siapa pula yang in-toleran.
Jika langkah ini tidak segera diwujudkan, “hantu” chaos dan gesekan akan tetap bergentayangan, paling tidak setiap bulan Muharram. Suatu kondisi yang dikhawatirkan dan ditakutkan oleh Kang Emil, saya, juga seluruh warga Bandung tercinta ini.
Untuk menghalau “Hantu bergentayangan” itu, mari kita kawal terus Kang Emil, agar hari ini atau esok lusa beliau dapat stand by di “dalam kota”, sehingga ketika mendapat telepon dari pengurus IJABI sebagai panitia acara Asyura, yang kembali meminta izin tempat kegiatan, beliau dapat menolak permintaan itu tanpa “harus terpaksa” karena tahu persis situasi dan kondisi lapangan yang sesungguhnya. Dengan demikian, “Bandung Aman” dapat dijaga sedari dini.
Saya yakin, Kang Emil dan kita semua sebagai warga masyarakat kota Bandung ingin hidup dengan aman dan tenteram secara sukarela tanpa “keterpaksaan”. Semoga saja usulan kongkrit ini dapat menjaga Kang Emil dari kehilangan logika dalam berpikir, sehingga tidak “terpaksa” untuk menyatakan: “Saya Sunni, dan saya tidak suka Syiah.”
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta