Preloader logo

WUKUF BUKAN MUQADDAMAH WUJUD (Bagian Ke-3-Tamat)

Ketiga, Sejarah Penetapan Shaum Arafah dan Iedul Adha

 Penetapan hukum sementara pihak itu, selain dengan latar belakang penamaan dan struktur kalimat (shaum Yawm ‘Arafah) dapat kita uji pula melalui analisa tarikh tasyri’ (sejarah Penetapan syariat) Shaum Arafah dan Iedul Adha sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya di masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Redaksi di atas versi Ahmad.[1]

Terkait hadis ini, Imam Ibn Taimiyyah[2] (w. 652 H/1254 M) berkomentar:

الحَدِيْثُ يُفِيْدُ حُرْمَةَ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي أَعْيَادِهِمْ لِأَنَّهُ لَمْ يُقِرَّهُمَا عَلَى العِيْدَيْنِ الجَاهِلِيَيْنِ وَلَا تَرَكَهُمْ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا عَلَى العَادَةِ وَقَالَ أَبْدَلَكُمْ وَالإِبْدَالُ يَقْتَضِيْ تَرْكَ المُبْدَلِ مِنْهُ إِذْ لَا يَجْتَمِعُ بَيْنَ البَدَلِ أَوْ المُبْدَلِ مِنْهُ وَلِهَذَا لَا تُسْتَعْمَلُ هَذِهِ العِبَارَةُ إِلَّا فِي تَرْكِ اجْتِمَاعِهِمَا

“Hadis ini memberi faidah keharaman menyerupai dengan mereka (orang musyrik) pada hari raya mereka karena sesungguhnya beliau tidak menetapkan dua hari itu menurut dua hari raya orang jahiliyah dan tidak membiarkan mereka bersuka-ria pada dua hari itu menurut kebiasaannya. Ucapan Nabi: ‘Allah mengganti bagi kalian.’ Kata penggantian (ibdaal) menuntut ditinggalkankanya sesuatu yang diganti (mubdal minhu), karena tidak dapat disatukan antara badal (yang mengganti) dan mubdal minhu (yang diganti). Karena itu, ungkapan ini (abdala) tidak digunakan kecuali dalam pengertian meninggalkan penyatuan keduanya.” [3]

Sementara menurut Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H.):

وَكَانَتْ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَلْعَبُوْنَ فِي يَوْمَيْنِ كُلَّ سَنَةٍ، وَيَعْمَلُوْنَ مَا لَا يَرْضَى بِهِ اللهُ تَعَالَى، فَلَمَّا ظَهَرَ الإِسْلَامُ، أَبْدَلَ اللّهُ مِنْهُمَا هَذَيْنِ اليَوْمَيْنِ الَّذَيْنِ يُظْهَرُ فِيْهِمَا تَكْبِيْرُ اللّهِ تَعَالَى وَتَحْمِيْدُهُ وَتَوْحِيْدُهُ ظُهُوْراً شَائِعاً يُغِيْظُ المُشْرِكِيْنَ، وَقِيْلَ: إِنَّهُمَا يَقْعَانُ شُكْراً عَلَى مَا أَنْعَمَ بِهِ مِنْ أَدَاءِ العِبَادَاتِ الَّتِي وَقَّتَهَا، فَعِيْدُ الفِطْرِ شُكْراً لِلّهِ تَعَالَى عَلَى إِتْمَامِ صَوْمِ رَمَضَانَ، وَعِيْدُ الأَضْحَى شُكْراً لِلّهِ تَعَالَى عَلَى الْعِبَادَاتِ الوَاقِعَةِ فِي العَشْرِ، وَأَعْظَمُهَا إِقَامَةُ وَظِيْفَةِ الحَجِّ.

“Orang-orang Jahiliyyah bermain-main pada dua hari setiap tahun, dan melakukan perkara yang tidak diridhai Allah Ta’ala. Tatkala Islam muncul, Allah mengganti kedua hari itu dengan dua hari yang padanya diperlihatkan pengagungan Allah, pemujian-Nya dan peng-Esaan-Nya secara nampak lagi tersiar yang membuat kaum musyrikin marah. Dan ada pula yang berpendapat, ‘Sesungguhnya kedua hari itu terjadi sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan Allah berupa penunaian ibadah-ibadah yang telah Allah tetapkan waktunya, maka ‘Iedul Fitri sebagai rasa syukur pada Allah atas penyempurnaan pelaksanaan shaum Ramadhan, sedangkan ‘Iedul Adha sebagai rasa syukur atas ibadah-ibadah yang terjadi pada hari sepuluh, dan yang paling utama ialah pelaksanaan tugas haji.” [4]

Syekh Muhammad Syamsul Haq (w. 1329 H) berkata:

( قَدِمَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ ) : أَيْ مِنْ مَكَّةَ بَعْدَ الْهِجْرَةِ ( وَلَهُمْ ) : أَيْ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ( يَوْمَانِ ) : وَهُمَا يَوْمُ النَّيْرُوْزِ وَيَوْمُ المِهْرَجَانِ، كَذَا قَالَهُ الشُّرَّاحُ

Perkataan: ‘Rasulullah sampai di Madinah’, yaitu dari Mekah setelah hijrah. Perkataan: ‘Dan bagi mereka’, yaitu penduduk Madinah. Perkataan: ‘Dua hari’, yaitu hari Nairuz dan hari Mihrajan, sebagaimana dinyatakan oleh para pensyarah.”

(أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً) : اَلْبَاءُ هُنَا دَاخِلَةٌ عَلَى المَتْرُوْكِ وَهُوَ الأَفْصَحُ أَيْ جَعَلَ لَكُمْ بَدَلاً عَنْهُمَا خَيْراً ( مِنْهُمَا ) : أَيْ فِي الدُّنْيَا وَالْأُخْرَى وَخَيْراً لَيْسَتْ أَفْعَلَ تَفْضِيْلٍ إِذْ لَا خَيْرِيَّةَ فِي يَوْمَيْهِمَا

“Perkataan: ‘Mengganti keduanya bagi kalian dengan yang lebih baik’ Huruf ba di sana (pada kata bihimaa) masuk pada perkara yang ditinggalkan, dan itu lebih fasih, yaitu Allah menetapkan untuk kalian pengganti yang lebih baik dari kedua hari itu. Perkataan: ‘dari keduanya’, yaitu di dunia dan akhirat, dan kata “khairan” bukanlah kata berpola af’al tafdhil karena tidak ada yang lebih baik pada kedua hari sebagai pengganti dua hari sebelumnya.”

(يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ) بَدَلٌ مِنْ خَيْراً أَوْ بَيَانٌ لَهُ وَقَدَّمَ الْأَضْحَى فَإِنَّهُ الْعِيْدُ الْأَكْبَرُ قَالَهُ الطِّيبِيُّ وَنَهَى عَنِ اللَّعِبِ وَالسُّرُورِ فِيهِمَا أَيْ فِي النَّيْرُوْزِ وَالمِهْرَجَانِ. وَفِيهِ نِهَايَةٌ مِنْ اللُّطْفِ وَأَمَرَ بِالْعِبَادَةِ لِأَنَّ السُّرُوْرَ الْحَقِيقِيَّ فِيهَا قَالَ اللَّه تَعَالَى : { قُلْ بِفَضْلِ اللَّه وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا }

“Perkataan: ‘Iedul Adha dan ‘Iedul Fitri’, sebagai kata pengganti (badal) dari kata “Khairan” atau sebagai penjelas (bayaan) baginya. Dan didahulukan penyebutan kata hari Adha, karena hari ied terbesar, sebagaimana dinyatakan oleh at-Thibi, dan Nabi melarang bermain-main dan bersuka cita pada keduanya, yaitu hari Nairuz dan Mihrajan. Padanya terdapat puncak kelembutan dan beliau memerintah beribadah karena suka cita sejati terdapat pada ibadah, Allah Ta’ala berfirman, ‘(artinya) Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS. Yunus:58) [5]

Para ulama sepakat bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, selanjutnya Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. [6] Dalam hal ini para ulama menerangkan:

وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ

“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah). [7]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama. Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah, mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama. [8] Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. [9]

Jadi, waktu pensyariatan Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada pensyariatan wukuf di Arafah. Dengan demikian, wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud (syarat) shaum Arafah dan pelaksanaan Iedul Adha.

Setelah diuji melalui tiga aspek: (1) Latar belakang Arafah, (2) Struktur Kalimat (Shaum Arafah) dan Latar belakang penamaannya, (3) Sejarah Penetapan Shaum Arafah dan Iedul Adha, tampak jelas bahwa pendapat yang mengatakan “waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” merupakan pendapat yang lemah, sehingga tidak dapat dijadikan rujukan amaliah.Wallahu A’lam.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

[1] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, III:103, No. 12.025; XXIV:114, No. 11568; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:353, No. 959, al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, I:434, No. 1091

[2] Namanya Abd al-Salam bin Abdullah bin Abu al-Qasim bin Muhamad al-Harani, bergelar Majduddin, lahir 590 H/1193 M. Ia kakek Ibn Taimiyah penyusun kitab Majmu’ Fatawa, namanya Ahmad bin Abd al-Halim bin Taymiyyah, bergelar Taqiyuddin. Lahir 661 H/1262 M.

[3] Lihat, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shagir, IV:511.

[4] Lihat, Syarh Sunan Abi Dawud, IV: 447.

[5] Lihat, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, III:341

[6] Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulugh al-Amani, VI:119; Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, I:60.

[7] Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘al al-Manhaj, IV:235

[8] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III:442

[9] Lihat, Zaad al-Ma’ad min Hady Khair al-‘Ibad, II:101, Manar al-Qari Mukhtashar Syarh Shahih al-Bukhari, III:64.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}