Preloader logo

SKENARIO UTAK-ATIK: “PAKAI”

BANDUNG (sigabah.com)—Kesalahan Ahok yang demikian terang benderang membuat panik dan bingung tim kampanye dan pendukungnya. Ragam pembelaan dan segala cara upaya “pembersihan Noda Ahok” dicoba mereka lakukan. Setelah gagal pembelaan dengan memlintir fakta-fakta “masalah penafsiran” oleh “Intelektual Terbelakang” dan “Mujahid Honorer”, mereka merancang skenario distraksi (mengalihkan perhatian) dan mendeskreditkan gerakan umat Islam dalam Aksi Bela Islam II (14/10/2016) dengan sepetak taman dimanipulasi. Namun, usaha ini pun tampaknya GaTot (Gagal Total). Selanjutnya, mereka mencoba menggoyang dan mendelegitimasi keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Cara ini juga mengalami kegalalan, karena MUI dipastikan tidak akan mencabut sikap tegasnya terhadap dugaan penistaan Al-Quran oleh Ahok.

Tak senang dengan sikap DAMAI DAN BERADAB yang ditunjukkan umat Islam dalam AKSI BELA ISLAM II  pada Jumat (4/11/2016), mereka berupaya menghasut perseteruan di antara sesama peserta aksi itu: antara ormas Islam dengan organisasi mahasiswa di satu sisi, umat Islam dengan aparat kepolisian dan TNI pada sisi lainnya. Namun, upaya itu pun tidak berhasil karena tragedi 4 Nov 2016 itu tidak berlangsung lama dan keadaan dapat terkendali.

Pasca tragedi 4 Nov 2016, gelar perkara secara terbuka terhadap kasus Ahok santer disebutkan. Untuk menyongsong moment itu, para pelindung Ahok berupaya untuk mencari berbagai celah agar Ahok dinyatakan tidak bersalah, baik dengan melempar isu delegitimasi putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahok maupun dengan skenario “utak-atik: Pakai”  dalam pernyataan Ahok.

Seperti telah diketahui bahwa MUI pada Selasa (11/10/2016), mengeluarkan sikap keagamaan resminya terkait kasus dugaan penistaan agama Ahok. MUI menyatakan Ahok telah menistakan agama. Menurut MUI, menyatakan kandungan surat Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran dan penghinaan kepada ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Isu delegitimasi putusan MUI itu diungkit oleh Hamka Haq, sebagai saksi ahli agama dari pihak terlapor (Ahok), di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Selasa (8/11/2016). Sebelum menjalani pemeriksaan, Hamka balik menyinggung putusan MUI yang langsung ‘memvonis’ Ahok bersalah melakukan penistaan agama.

MUI, menurut anggota DPR dari PDI Perjuangan ini, seharusnya lebih dulu mendengarkan keterangan Ahok sebelum membuat sebuah keputusan terkait pelaporan Ahok. Permintaan keterangan dari banyak pihak penting agar keputusan yang diambil obyektif.

“Fatwa itu keluar tanpa konfirmasi dengan Ahok. (Surat) al-Hujurat ayat 6 menganjurkan konfirmasi dulu kalau ada berita. Wartawan saja konfirmasi dulu biar tidak salah, masa majelis ulama tidak konfirmasi? Mestinya seperti itu kan Al-Hujurat ayat 6,” tegas Hamka Haq.

Dikhawatirkan keputusan yang salah malah membuat persoalan tidak selesai. “Ya kalau sesuai prosedur salah, apalagi yang (Buni Yani) sudah mengaku salah, kalau fatwa didasarkan pada kesalahan tentu hasilnya salah,” ujar Hamka.

Namun tudingan Hamka dibantah langsung oleh pihak MUI. Wakil Ketua MUI Pusat Zainut Tauhid mengatakan, dalam mekanisme penetapan fatwa MUI membentuk tim. Keanggotaannya terdiri dari komisi atau gabungan dari beberapa komisi, tergantung cakupan masalahnya.

Terkait kasus kontroversi pidato Ahok yang dianggap telah menistakan agama, lanjut Zainut, MUI telah membentuk tim yang keanggotaannya melibatkan banyak komisi. Masalah ini dinilai serius, sehingga banyak komisi yang dilibatkan.

“Tim telah bekerja sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan,” kata Zainut saat dihubungi detikcom lewat telepon, Senin (7/11/2016).

“Persoalan apakah harus mekakukan tabayyun (klarifikasi) kepada pihak terlapor itu tidak menjadi keharusan sepanjang data pendukungnya sudah cukup kuat. Beberapa putusan fatwa misalnya, fatwa tentang Gafatar, fatwa tentang Lia Eden, fatwa tentang Al-Qiyadah al-Islamiyah dan masih banyak fatwa yang serupa yang lainnya, semua itu kami tidak memanggil terlapor. Jadi sudah ada yurisprudensinya. Dan oleh penegak hukum diakui kedudukannya,” sambung Zainut memaparkan.

Zainut mengingatkan agar pihak-pihak lain sebaiknya tidak usah sibuk mengurusi rumah tangga MUI. Keputusan yang sudah menjadi ketetapan MUI harus dihormati.

“Secara hukum dan moral MUI siap mempertanggungjawabkan kepada umat dan negara,” ucapnya. Cek di sini

Selain melempar isu delegitimasi putusan MUI, Hamka—yang  dikritik banyak pihak dalam acara ILC TVOne (11/10/2016) karena ahistoris tentang larangan memilih pemimpin kafir di periode Madinah—itu berupa mengalihkan substansi perkara Ahok dengan skenario “otak-atik” penyataan Ahok ketika mengutip surat Al-Maidah ayat 51, khususnya frasa: “pakai” dalam kalimat Ahok: “Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macam-macam..”

“Saya sebagai saksi ahli agama. Saya mengatakan tidak ada penistaan di situ,” ucap Hamka di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Selasa (8/11/2016).

“Kan ucapan Pak Ahok itu kan mengucapkan dibohongi pakai surat Al Maidah 51. Ini tidak jelas siapa membohongi. Tapi yang jelas di situ bukan Alquran membohongi,” ujar kolega Buya Syafi’I Ma’arif di Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (PP Bamusi), Ormas PDIP, periode 2010-2015 itu

fotoo-1

Hamka Haq yang juga anggota DPR Komisi VIII dari Fraksi PDI Perjuangan ini memberi contoh terkait, penghilangan kata pakai, seperti yang dituduhkan terhadap Ahok.

“Misalnya saya mengatakan, saya makan pakai sendok. Itu (artinya) saya makan pakai sendok. Beda kan kalau (kata pakai dihilangkan) saya makan sendok. Selain itu, ada kata-kata ditusuk pakai pisau. Beda dengan ditusuk pakai pisau, sama ditusuk pisau. Kalau ditusuk pisau, bisa saja salah letak. Tapi kalau ditusuk pakai pisau, pisaunya letaknya bagus, berarti ada orang di situ itu pakai pisau memakai. Tapi nanti biar ahli bahasa menjelaskan, saya sebagai ahli agama di sini,” pungkas Hamka, yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum Pengurus PP Bamusi periode 2015-2020.

Upaya “pembersihan Noda Ahok” dengan otak-atik frasa “pakai”, ditanggapi oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) , Prof. Dr. Din Syamsuddin. Prof. Din meminta agar transkrip perkataan Ahok dalam video kunker ke Pulau Pramuka yang menyebut surat Al-Maidah ayat 51 tak dipersoalkan. Menurutnya, ada atau tidaknya kata “pakai” dalam transkrip tersebut tidak menghilangkan unsur penistaan agama.

Menurut Prof. Din, jika kata “pakai” terus dipersoalkan, berarti ada upaya untuk mencari celah supaya Ahok dinyatakan tidak bersalah.

“Sudahlah, ini mohon tidak perlu diperdebatkan (kata pakai), justru kalau di utak-atik “dipakai” “pakai” atau tidak ada kata “dipakai” berarti ini tidak ada niat baik. Ini yang menimbulkan masalah,” ujar Prof. Din usai menggelar rapat pleno di kantor MUI, Jakarta Pusat, Rabu (9/11).

Prof. Din menuturkan pernyataan Ahok dalam video yang saat ini menjadi bumerang bagi mantan Bupati Belitung Timur itu telah terpenuhi unsur penistaan agama. Dia juga mengatakan, bahwa fatwa penistaan tidak hanya serta merta berasal dari pemikiran MUI.

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu merujuk segala kamus bahasa pasti ada definisi tentang penistaan.

“Sebenarnya bukan pandangan MUI saja, tapi juga pandangan ilmu pengetahuan (penistaan agama) itu ketika menyinggung keyakinan dalam arti menyalahkan orang lain, hal-hal suci figur-figur suci, para ulama para aulia, jika dilihat dari sudut pandang itu apa yang dilakukan Ahok sudah termasuk,” jelasnya. Cek di sini  dan di sini

Jadi, cara apapun dilakukan oleh mereka tidak akan dapat menghapus “noda hitam” Ahok, karena kebatilan tidak akan pernah menang meski dikemas dengan beragam kemasan “teori ilmiah” dan “topeng keadilan”.

Insya Allah bangsa Indonesia pada umumnya, umat Islam pada khususnya tidak akan terkecoh oleh “Skenario Otak-Atik: Pakai”

Tonton video tanggapan terhadap penggunaan kata ‘pakai’ atau tanpa ‘pakai’ di sini

By Tim Sigabah Waspada

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}