Preloader logo

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (Bagian ke-8)

 

Ikhtilaf (Silang Pendapat) Ahlus Sunnah

Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, di antaranya tidak sepaham atau tidak sama. Dikatakan: khalaftuhu-mukhalafatan-wa khilaafan atau takhaalafa alqawm wakhtalafuu apabila masing-masing berbeda pendapat dengan yang lainnya. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.

Di sini perlu dijelaskan pula perbedaan antara ikhtilaf dan iftiraaq, karena ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar’i) yang menghukumi beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktepatan mereka dalam memahami prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq ? Demikian juga tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf.

Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaaraqah yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama’ iftiraaq adalah keluar dari Sunnah dan Jama’ah pada salah satu ushul (pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun amaliyah.

Perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk diperselisihkan. Pokok-pokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma’ atau telah jelas sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama’ah yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak boleh dicela sebagai yang termasuk firqah binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid’ah-nya pada masalah-masalah berikut: Pada masalah yang bersifat mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari’ah, atau pada pokok syari’ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari’ah. Syekhul Islam pernah ditanya tentang batasan bid’ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu), beliau menjawab : “Bid’ah yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) adalah bid’ah penyimpangannya dari Alquran dan Sunnah masyhur dikalangan ahli sunnah, seperti bid’ah -nya Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah ….” [1]

b. Ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang diperbolehkan itu bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan orang yang salah akan diberi pahala apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.

c. Iftiraq berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq menyimpang serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah seperti itu betapapun hebat ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin. [2]

 

B. Sebab-sebab Ikhtilaf Ahlus Sunnah

Ikhtilaf Ahlus Sunnah, secara umum pada dasarnya disebabkan empat faktor:

Pertama, Al-‘Ilmu bi al-nushush (pengetahuan tentang teks), dalam hal ini berkaitan dengan kelengkapan database atau perbendaharaan hadis, karena perbendaharaan hadis antara seorang ulama dengan ulama lainnya tidak sama. Ikhtilaf antara Umar bin Khatab dan Abu Musa al-Asy’ari tentang adab (etika) bertamu dapat dijadikan sebagai contoh. Imam al-Bukhari meriwayatkan:

عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ أَنَّ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ اسْتَأْذَنَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ وَكَأَنَّهُ كَانَ مَشْغُولًا

“Dari ‘Ubaid bin ‘Umair bahwa Abu Musa Al Anshariy meminta izin kepada ‘Umar bin Al-Khatab Ra. Untuk menemuinya, namun tidak diizinkan karena nampaknya dia sedang sibuk.”

فَرَجَعَ أَبُو مُوسَى فَفَرَغَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَمْ أَسْمَعْ صَوْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ ائْذَنُوا لَهُ قِيلَ قَدْ رَجَعَ فَدَعَاهُ فَقَالَ كُنَّا نُؤْمَرُ بِذَلِكَ

“Lalu Abu Musa kembali. Maka setelah ‘Umar  selesai dari urusannya, dia berkata, ‘Tidakkah tadi aku mendengar suara ‘Abdullah bin Qais (Abu Musa)? Berilah izin kepadanya.’ Umar diberitahu bahwa Abu Musa telah pulang. Maka ‘Umar memanggilnya, lalu Abu Musa berkata, ‘Kami diperintahkan hal yang demikian.’ Maksudnya, kembali pulang apabila setelah minta izin (mengucapkan salam) tiga kali tidak dijawab, berdasarkan hadis:

مَنْ اسْتَأْذَنَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ

“Barangsiapa meminta izin sebanyak tiga kali dan tidak diizinkan, maka hendaklah ia pulang.”

Umar merasa tidak puas dengan jawaban Abu Musa. Lalu Umar minta agar Abu Musa mendatangkan alat bukti atau saksi bahwa benar ada hadis seperti itu. Umar berkata:

تَأْتِينِي عَلَى ذَلِكَ بِالْبَيِّنَةِ

“Berikanlah kepadaku alasan yang jelas tentang masalah ini.”

فَانْطَلَقَ إِلَى مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا لَا يَشْهَدُ لَكَ عَلَى هَذَا إِلَّا أَصْغَرُنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ فَذَهَبَ بِأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ

Maka Abu Musa pergi menemui majelis Kaum Anshar, lalu dia bertanya kepada mereka. Kaum Anshar berkata, “Tidak ada yang menjadi saksi (mengetahui) perkara ini kecuali anak kecil kami yaitu Abu Sa’id Al Khudriy.” Maka Abu Musa berangkat bersama Abu Sa’id Al Khudriy menemui ‘Umar.

Maksud perkataan kaum Anshar itu sebagai peningkaran terhadap ucapan Umar:

تَأْتِينِي عَلَى ذَلِكَ بِالْبَيِّنَةِ

“Berikanlah kepadaku alasan yang jelas tentang masalah ini”.

Maksudnya, masa Umar tidak tahu hadis itu? Padahal hadis tentang izin berkunjung itu telah masyhur dan dikenal di antara kami, hingga anak kecil pun di antara kami hapal dan telah mendengarnya dari Rasulullah saw.

Setelah Abu Musa dan Abu Sa’id menemui Umar, dan Abu Said menyampaikan hadis itu, Umar berkata:

أَخَفِيَ عَلَيَّ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْهَانِي الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ يَعْنِي الْخُرُوجَ إِلَى تِجَارَةٍ

“Kenapa aku bisa tidak tahu urusan Rasulullah saw. aku telah dilalaikan oleh kesibukan di pasar.” Maksudnya kegiatan berdagang.

Peristiwa ini terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab (13-23 H/634-644 M). Peristiwa di atas menunjukkan bahwa ikhtilaf bisa saja terjadi karena tidak meratanya perbendaharaan nash (teks) hadis, seperti yang dialami oleh tokoh panutan sekaliber Umar.

Kedua, mashadir Al-ahkam, yakni perbedaan dalam menetapkan sumber-sumber hukum, terutama sumber taba’iyyah (sekunder) selain Al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti istihsan, maslahah mursalah.

Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:

 

A. Tawtsiqus Sunnah (autentifikasi sunah)

Misalnya, berkaitan dengan syarat kehujjahan sunnah. Sebagai contoh kasus, Madzhab Malik menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat: (a) tidak bertentangan dengan amal (praktik keagamaan) penduduk Madinah, yakni para sahabat dan tabi’in yang tinggal di Madinah. (b) Tidak bertentangan dengan qiyâs.

Sementera madzhab Hanafi menerima kehujahan hadis ahad dengan syarat antara lain; para rawi tersebut tidak menyalahi dalalah hadis yang diriwayatkannya itu, baik dalam pengamalan maupun fatwa. Misalnya perintah mencuci bejana 7 kali yang dijilat anjing dalam hadis Abu Hurairah mereka tidak mengamalkan hadis itu karena menemukan fatwa Abu Hurairah yang bertentangan dengan riwayatnya sendiri. Yakni cukup dicuci 7 kali.

Adapun madzhab Syafi’i menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat sanadnya sahih dan muttashil (bersambung).

 

B. Fatwa sahabat dan kedudukannya.

Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat mana pun tanpa berpegang dengan sahabat tertentu, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.

 

C. Kehujjahan Qiyâs.

Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyâs sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyâs sebagai sumber hukum sesudah Al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma.

 

D. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma.

Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena dalilun ‘ala wujud dalilin (menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah).

Ketiga, kaifiyyat fahmin nushush, yakni perbedaan dalam memahami nash karena berbeda dalam rumusan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa).

Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash karena berbeda dalam rumusan kaidah bahasa misalnya:

 

A. Dilalah (penunjukkan) lafal amm (umum)

Apakah dilalah lafal amm itu qath’i (pasti)  atau zhanni  (dugaan kuat), dalam perkataan lain apakah cakupan lafal amm kepada seluruh afrad (satuan-satuan)nya itu bersifat qath’i atau zhanni. Sebagian Hanafiyyah, mayoritas Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa dilalah itu zhanni. Sedangkan mayoritas Hanafiyyah berpendapat qath’i.

B. Hukum lafal mutlaq.

Ulama madzhab sepakat bahwa lafal mutlaq itu selama tidak ditaqyid (dibatasi) berlaku atau diamalkan berdasarkan kemutlakannya sehingga lahir kaidah:

المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلاَقِهِ

“Lafal mutlak dimaknai sesuai kemutlakannya

حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ

“Lafal mutlak dimaknai muqayyad apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya.”

Meski begitu, namun ulama berbeda pendapat dalam menetapkan faktor apa yang menyebabkan bahwa makna mutlak itu harus dipahami muqayyad (terikat).

Menurut sebagian madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian semata-mata faktor bahasa. Menurut mayoritas madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian tidak semata-mata faktor bahasa, namun tidak mutlak harus demikian. Menurut penganut madzhab Hanafi, qiyas shahih yang mengharuskannya demikian. Namun ada pula yang berpendapat, karena faktor logika.

 

C. Amr (kata perintah)

Berkaitan dengan shigah (bentuk kata), dilalah (petunjuk), dan madlul (pemahaman dari petunjuk)

 

C.1. dilalah sighah amr terhadap hukum pelaksanaan

Apakah setiap amr (kata perintah) pasti menunjukan wajib? Dalam hal ini terjadi sembilan pendapat, khususnya di kalangan madzhab Syafi’iyyah, antara lain:  Imam Syafi’I sendiri berpendapat bahwa secara hakiki menunjukan wajib dan jika menunjukan mandub (sunat) atau ibahah (boleh) itu secara majazi (makna kiasan). Sebagian syafi’iyyah, misalnya Abu Al-Hasyim Az-Zuba’I, berpendapat secara hakiki menunjukan mandub, sedangkan selain mandub secara majazi. Sebagian ulama syafi’iyyah lainnya, seperti Tajudin As-Subki, berpendapat secara hakiki menunjukan ibahah selain ibahah berarti secara majazi.

 

C.2. dilalah sighah amr terhadap jumlah pelaksanaan

Apakah suatu perintah itu sudah cukup jika hanya dikerjakan satu kali saja atau harus dikerjakan berulang kali?

 

Menurut pendapat syafi’iyyah dan malikiyyah:

الأَصْلُ فِي الأَمْرِ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ

“Prinsip dalam perintah itu mengharuskan pelaksanaan secara berulang.”

Sementara menurut hanafiyyah, hanabilah, dan Zahiriyyah:

الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ

“Prinsip dalam perintah itu tidak mengharuskan pelaksanaan secara berulang.”

 

Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan dalam istinbath (penetapan) hukum, misalnya dalam masalah tayamum. Yang berpendapat  يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (mengharuskan pelaksanaan secara berulang) beristinbath: (a) kewajiban tayamum harus dikerjakan setiap kali hendak shalat sekalipun belum berhadas. (b) Tidak boleh menjama’ shalat dengan satu tayamum.

Sedangkan yang berpendapat  لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (tidak mengharuskan pelaksanaan secara berulang) beristinbath: cukup dengan satu kali tayamum untuk beberapa kali shalat selama tidak berhadas.

 

D. Penggunaan makna hakiki dan majazi (kiasan)

Apakah penggunaan kedua arti (hakiki dan majazi) dalam satu ucapan dibolehkan atau tidak. Misalnya kalimat:

 أُقْتُلِ الأَسَدَ

“Bunuhlah singa itu.”

Apakah kalimat itu diartikan suatu perintah membunuh singa (arti hakiki) sekaligus dapat diartikan pula membunuh seorang pemberani (arti majazi). Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:

  1. Imam syafi’I dan sebagian ulama mutakallimun membolehkan kerena tidak ada penghalang untuk hal itu.
  2. hanafiyah dan jumhur ulama dan ulama mutakallimun melarang penggunaan dua arti sekaligus dalam satu ucapan, karena penggunaan keduanya sekaligus itu bertentangan dengan ketentuan bahwa pemakaian lafaz menurut arti hakiki tidak memerlukan qarinah (indikasi/keterangan lain) sedangkan menurut arti majazi memerlukan qarinah.

 

E. Dilalah lafal ala Alma’na (penunjukan lafal terhadap makna)

Dalam hal ini (penunjukan makna) ulama berbeda pendapat. Hanafiah membagi lafal kepada empat macam; ibarah, isyarah, dilalah/nash dan iqhtidha. Sedangkan Syafi’iyyah membagi lafa kepada dua macam; (a) Dilalah manzhum, disebut juga mantuq dan sharih. (b) Dilalah ghair manzhum. Dilalah ini terbagi kepada dua macam: Pertama, Maqsudal ma’na, meliputi Dilalah Iqtidha, Isyarah / Iima’, dan Mafhum. Dilalah mafhum terbagi kepada dua: Muwafaqah (fahwal khithab dan lahnah khithab) dan Mukhalafah (shifat, syarat, illat, hashr, ghayah, adad, dan laqab). Kedua, Maqsudal ma’na.

Faktor-faktor tersebut bersifat manhajiyyah (metodologis)—yang seringkali tidak mudah dipahami oleh kita sebagai orang awam—yang secara otomatis akan berdampak pada ikhtilaf dalam masail furuiyyah (fiqih), seperti tata cara turun ke sujud antara tangan dan lutut dan Isbal dalam berpakaian. Selain itu,  berdampak pula pada ikhtilaf dalam masalah I’tiqadiyyah—meskipun lebih sedikit—seperti pemaknaan Asma was Shifat Allah serta konsep ilmiah dalam Islam, seperti konsep Bid’ah Hasanah.

 

Keempat, fi maa laa nasha fiih, yakni persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya didalam nash.

Demikian beberapa faktor yang memicu terjadinya ikhtilaf (silang pendapat) di kalangan sesama ahlus Sunnah.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

 

 

[1] Lihat, Majmu’ Fatawa, XXXV:414

[2] Perbedaan di antara keduanya telah dijelaskan oleh Syekh Nashr al-Aql dalam kitab Mafhumul Iftiraaq

There is 1 comment
  1. Your’s is a point of view where real inlngtileece shines through.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}