Preloader logo

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (Bagian ke-2)

Penamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ibnu Hazm (w. 456 H/1063 M) berkata,
وَأَهْلُ السُّنَةِ أَهْلُ الْحَقِّ، وَمَنْ عَدَاهُمْ فَأَهْلُ الْبِدْعَةِ فَإِنَّهُمْ الصَّحَابَةُ وَمَنْ سَلَكَ نَهْجَهُمْ مِنْ خِيَارِ التَّابِعِيْنَ – رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ – ثُمَّ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ مِنَ الْفُقَهَاءِ جَيْلاً فَجَيْلاً إِلَى يَوْمِنَا هذَا
“Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang kami sebut ahlul haq, dan selain mereka adalah ahlul bid’ah. Adapun ahlul haq itu adalah para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jejak mereka, yaitu para tabi’in, kemudian ahlul hadis dan fuqaha dari generasi ke generasi sampai masa kita sekarang ini.” (Lihat, al-Fashl fil Milal, II:90)

Sehubungan dengan itu, Abu Al-Muzhaffar al-Isfarayaini (w. 471 H/1078 M) secara tegas menyatakan bahwa “Mereka disebut ahlus sunnah karena mengikuti sunnah Rasulullah saw.”
وَلَيْسَ فِي فِرَقِ الأُمَّةِ أَكْثَرُ مُتَابَعَةً لِأَخْبَارِ الرَّسُوْلِ وَأَكْثَرُ تَبَعاً لِسُنَّتِهِ مِنْ هؤُلاَءِ وَلِهذَا سُمُّوْا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ وَسُمُّوْا بِأَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“Tidak ada pada kelompok-kelompok umat yang paling banyak mengikuti khabar Rasul dan Sunnahnya daripada mereka, karena itu mereka disebut Ahlus Sunnah.” (Lihat, Mas’alatut Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syi’ah, I:26)

Keterangan serupa ditegaskan pula oleh Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1327 M):
وَإِنَّمَا سُمُّوْا أَهْلَ السُّنَّةِ لِاتِّبَاعِهِمْ سُنَّتَهُ
“Mereka dinamai Ahlus Sunnah tiada lain karena mereka mengikuti sunnah beliau.” (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)

Penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq (perpecahan umat dan munculnya Ahli bid’ah) pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Afan (tahun 35 H/656 M).

Bahwa penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq, tercermin pada ucapan sahabat Ibnu Abas sebagai berikut:
النَّظَرُ إِلَى الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ يَدْعُوْ إِلَى السُّنَّةِ وَيَنْهَى عَنِ الْبِدْعَةِ
“Memperhatikan seseorang dari Ahlus Sunnah berarti mengajak kepada sunah dan mencegah dari bid’ah.” H.r. al-Lalika’i (Lihat, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah I:29, No. hadis 8)

Demikian pula dalam ucapan para tabi’in antara lain:
a. Ayyub as-Sakhtiyani (w.131 H/748 M) berkata,
إِنِّيْ أُخْبَرُ بِمَوْتِ الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَكَأَنِّيْ أَفْقِدُ بَعْضَ أَعْضَائِيْ
“Sesungguhnya aku telah dikabari wafatnya seseorang dari ahlus sunnah, maka seakan-akan aku telah kehilangan sebagian anggota tubuhku.” (Ibid., I:46, No. hadis 25)

Dalam kesempatan lain ia menyatakan :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ الْحَدَثِ وَالأَعْجَمِيِّ أَنْ يُوَفِّقَهُمَا اللهُ لِعَالِمٍ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Sesungguhnya di antara kebahagian bagi seorang hadats (pemuda) dan orang non Arab adalah ketika Allah memberi taufik kepada mereka berdua untuk bertemu dengan ulama Ahlus Sunnah.” (Ibid., I:47, No. 26)

b. Fudhail bin Iyadh (w. 187 H/802 M) menyatakan:
إِنَّ للهِ عِبَادًا يُحْيِيْ بِهِمُ الْبِلاَدَ ، وَهُمْ أَصْحَابُ السُّنَّةِ ، وَمَنْ كَانَ يَعْقِلُ مَا يَدْخُلُ جَوْفَهُ مِنْ حِلِّهِ كَانَ مِنْ حِزْبِ اللهِ
“Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang melalui hamba-hamba itu Allah menghidupkan negeri-negeri. Mereka adalah Ashabus Sunnah dan orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam kerongkongannya, yaitu makanan halal. Mereka termasuk tentara Allah.” (Ibid., I:67, No. hadis 46)

Maksudnya, tidak memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para shahabat.

Saat itu, selain dengan sebutan Ahlus Sunnah, Ahlul Haq dinamai pula al-Jama’ah, sehingga pada saat itu mereka populer dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nama itu dipergunakan bagi mereka setelah terjadinya fitnah pada akhir kekhalifahan Usman, yaitu timbulnya perpecahan dan menyebarnya berbagai bid’ah dan aliran kalam (bidang akidah).

Nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah disematkan sebagai pembeda dari Ahlul Ahwaa` wal Bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bidah). Hal itu tercermin dalam perkataan Ibnu Abas ketika menjelaskan tentang tafsir firman Allah Ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram…”. [Ali-Imran : 105].
يَعْنِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلُ الْبِدْعَةِ وَالْفُرْقَةِ
“Yaitu pada hari kiamat ketika wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang putih berseri dan wajah-wajah ahlul bid’ah wal furqah bermuram durja.” H.r. Al-Khatib al-Baghdadi dan Ibnu Abu Hatim. (Lihat, Fathul Qadir, I:371, ad-Durrul Mantsur, II:63)

Demikian pula dalam ucapan para ulama generasi pasca sahabat antara lain:
a. Sufyan ats-Tsawri (w. 161 H/777 M) berkata,
إِسْتَوْصُوْا بِأَهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
“Berbuatbaiklah terhadap Ahlus Sunnah karena mereka itu ghuraba (kaum yang dianggap asing).” (Ibid., I:65, No. 44)

Dalam kesempatan lain, ia berkata:
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ رَجُلٍ بِالْمَشْرِقِ صَاحِبِ سُنَّةٍ وَآخَرَ بِالْمَغْرِبِ ، فَابْعَثْ إِلَيْهِمَا بِالسَّلاَمِ وَادْعُ لَهُمَا ، مَا أَقَلَّ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur dan yang lain di arah barat, maka kirimkanlah salam kepada keduanya dan do’akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Ibid., I:66, No. 45 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis, hal. 9)

b. Al-Imam Malik (w. 179 H/795 M) pernah ditanya:
مَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ لَقَبٌ يُعْرَفُوْنَ بِهِ لاَجَهْمِيٌّ وَلاَ قَدَرِيٌّ وَلاَ رَافِضِيٌّ
“Siapakah Ahlus Sunnah itu ?” Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah dikenal, yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidhi.” (Lihat, Al-Intiqa fi Fadhailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha, hal.35)

Mereka disebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena bersatu dalam Alquran, sunnah Rasul, dan ijma’ sahabat. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah:
وَسُمُّوا أَهْلَ الْجَمَاعَةِ لأَنَّ الْجَمَاعَةَ هِيَ الإِجْتِمَاعُ وَضِدُّهَا الْفِرْقَةُ وَإِنْ كَانَ لَفْظُ الْجَمَاعَةِ قَدْ صَارَ إِسْمًا لِنَفْسِ الْقَوْمِ الْمُجْتَمِعِيْنَ وَالاِجْمَاعُ هُوَ الأَصْلُ الثَّالِثُ الَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ فِى الْعِلْمِ وَالدِّيْنِ وَهُمْ يَزِنُوْنَ بِهذِهِ الأُصُوْلِ الثَّلاَثَةِ جَمِيْعَ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَعْمَالٍ بَاطِنَةً أَوْ ظَاهِرَةً مِمَّا لَهُ تَعَلُّقٌ بِالدِّيْنِ وَالإِجْمَاعُ الَّذِى يَنْضَبِطُ هُوَ مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ إِذْ بَعْدَهُمْ كَثُرَ الإِخْتِلاَفُ وَانْتَشَرَتِ الأُمَّةُ
“Mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena jama’ah itu adalah ijtima’ (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafaz jama’ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma’ merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Alquran, Sunnah dan Ijma’). Dan ijma yang ia yang dipegang oleh as-Salaf as-Shalih, karena setelah mereka semakin banyak ikhtilaf dan tersebarnya umat.” (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)

Selain dibedakan dari segi nama atau sebutan, mereka dibedakan pula dari segi sikap selektif terhadap riwayat, yaitu pada masa itu mereka mulai mengklasifikasikan siapa orang yang dapat diterima riwayatnya dan siapa yang di tolak. Maka orang yang mengikuti Sunnah diterima riwayatnya, sedangkan Ahli Bid’ah di tolak, kecuali dengan persyaratan yang ketat. Ibnu Sirin (w. 110 H/728 M) berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Para sahabat tidak pernah bertanya tentang isnad (jalur periwayatan) ketika menerima hadis, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mengatakan, ‘Sebutkan rijalnya kepada kami’ Kemudian diperiksa, hadis yang rijalnya ahlus sunnah diterima, sedangkan hadis yang rijalnya ahlul bid’ah ditolak.” H.r. Muslim (Lihat, Shahih Muslim, I:10)

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah semakin populer pada abad ke-3 H/ke-9 M, masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247 H/847-861 M) yang berkuasa di Irak setelah al-Wasiq. Pada waktu itu aliran Mu’tazilah berada dalam tahap kemunduran, setelah sebelumnya mengalami masa kejayaan pada masa Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) hingga al-Wasiq bin al-Mu’tashim (227-232 H/842-847 M). Popularitas ini tidak terlepas dari peranan Imam Ahmad (w. 241 H/855), ulama yang dengan tegas mempertahankan pendiriannya, berbeda dengan paham mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara, di samping andil gerakan Asy’ariyyah dan Maturidiyah.

Meski demikian, penggunaan istilah itu kemudian mengalami reduksi sedemikian rupa setelah diadopsi oleh Ahli Kalam hingga istilah ini hanya diindentikan dengan kedua aliran tersebut. (Lihat, Qawaid al-Fiqh, I:197. Bandingkan dengan Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299, At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-Nasafi, hal.2, Al-Farq Bainal Firaq, hal. 323, I’tiqadat Firaqil Muslimin wal Musyrikin, hal. 150)

Az-Zubaidi mengatakan, “Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.” (Lihat, Ittihafus Saadatil Muttaqin, II:6)

Abu Udaibah mengatakan, “Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.” (Lihat, ar-Raudhatul Bahiyyah, hlm. 3)

Al-Ayji mengatakan, “Adapun al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah saw. berkata tentang mereka: ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya’. Mereka itu adalah Asy’ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadis dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Lihat, al-Mawaqif, hal. 429)

Penamaan Ahlul Hadis, Ashabul Hadis, atau Ahlul Atsar

Selain dengan Ahlus Sunnah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Haq dinamai pula Ahlul Hadis, Ashabul Hadis, atau Ahlul Atsar. Nama itu telah dipergunakan sejak masa sahabat terkait dengan washiyat Rasul untuk memuliakan para pelajar hadis yang dikenal dengan sebutan washiyyatur Rasul. Hal itu tercermin dalam ucapan Abu Sa’id al-Khudriy sebagai berikut:
مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ أَوْصَانَا رَسُوْلُ اللهِ أَنْ نُوَسِّعَ لَكُمْ فِي الْمَجْلِسِ وَأَنْ نُفْهِمَكُمُ الْحَدِيْثَ فَإِنَّكُمْ خُلُوْفُنَا وَأَهْلُ الْحَدِيْثِ بَعْدَنَا
“Marhaban bi washiyyatir Rasulillah (selamat datang wasiat Rasul)’ Rasulullah saw. telah berwasiat kepada Kami agar memberi kelapangan/keleluasaan bagi kalian di majlis ilmu dan memberi pemahaman tentang suatu hadis pada kalian. Karena kalian generasi pengganti kami (pada masa mendatang) dan ahli hadis setelah kami.” H.r. al-Khatib al-Baghdadi dalam Syarf Ashhabul Hadis, hal. 22.

Di samping itu terkait pula dengan sabda Rasul:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku yang komitmen di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya ketetapan Allah (hari kiamat).” H.r. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah (Lihat, Shahih Muslim, III:1523, Musnad Imam Ahmad V:278-279, Sunan Abu Dawud IV:420, dan Sunan Ibnu Majah I:4-5. Dan redaksi ini versi riwayat Ahmad)

Penamaan itu terus berlanjut hingga abad ke-3 H/9 M. Hal tercermin dari keterangan para ulama yang hidup pada masa-masa itu, terkait dengan sabda Rasul di atas, antara lain:
a. Abdullah bin Mubarak (w. 181 H/797 M), berkata :
هُمْ عِنْدِيْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
“Mereka menurutku adalah Ashabul Hadis.” H.r. al-Khatib al-Baghdadi (Lihat, Syarf Ashhabul Hadis, hal 26)

b. Yazid bin Harun (w. 206 H/821 M) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) berkata:
إِنْ لَمْ يَكُوْنُوْا أَصْحَابَ الْحَدِيْثِ فَلاَ أَدْرِيْ مَنْ هُمْ
“Kalau mereka bukan Ashabul Hadis, aku tidak tahu siapa mereka.” (Ibid. hal 26 dan 27)

c. Imam Ali Ibnul Madini (w. 234 H/848 M) dan al-Bukhari (w. 256 H/869 M) berkata:
هُمْ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ
“Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadis.” (Ibid., hal 27)

Ahmad bin Sinan (w. 258 H/871 M) cenderung menyebut mereka Ashabul Atsar. (Ibid., hal 27) Sedangkan Imam al-Asy’ari (w. 324 H/935 M) dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin menyebut Ahlul Hadis was Sunnah. (Lihat, Maqalat al-Islamiyyin, I:320) Sementara dalam kitabnya yang lain al-Ibanah, mempergunakan sebutan Ahlul Haq was Sunnah.

Penamaan itu semakin populer terutama setelah munculnya aliran kalam yang menetapkan kebenaran akidah atas dasar akal pikiran atau logika, bahkan sebagiannya mendahulukan akal atas hadis Rasul dalam bidang tersebut. Maka tampilah Ahlul Hadis untuk membela dan membersihkan akidah islamiyah dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli bid’ah. Karena itu hampir semua Ashabul Hadis, baik dari kalangan fuqaha’ (ahli fikih), mufassir (ahli tafsir) maupun seluruh ulama-ulama dari Ahlul Hadis menulis kitab-kitab sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang sesat. Dengan demikian nama itu disematkan sebagai pembeda dari Ahlul Kalam. Hal itu tersirat dalam perkataan para ulama sebagai para saksi zaman itu, sebagai berikut:

a. Sufyan at-Tsauri (w. 161 H/777 M) berkata:
إِنَّمَا الدِّيْنُ بِالآثَارِ لَيْسَ بِالرَّأْيِ إِنَّمَا الدِّيْنُ بِالآثَارِ لَيْسَ بِالرَّأْيِ إِنَّمَا الدِّيْنُ بِالآثَارِ لَيْسَ بِالرَّأْيِ
“Agama itu tiada lain berdasarkan atsar (sunah) bukan berdasarkan akal. Agama itu tiada lain berdasarkan atsar (sunah) bukan berdasarkan akal. Agama itu tiada lain berdasarkan atsar (sunah) bukan berdasarkan akal.” H.r. al-Khatib al-Baghdadi (Lihat, Syarf Ashhabul Hadis, hal. 6)

b. Harun al-Rasyid (berkuasa 170-193 H/786-809 M) berkata:
طَلَبْتُ أَرْبَعَةً فَوَجَدْتُهَا فِي أَرْبَعَةٍ طَلَبْتُ الْكُفْرَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْجَهْمِيَّةِ وَطَلَبْتُ الْكَلاَمَ وَالشَّغَبَ فَوَجَدْتُهُ فِي الْمُعْتَزِلَةِ وَطَلَبْتُ الْكَذِبَ فَوَجَدْتُهُ عِنْدَ الرَّافِضَةِ وَطَلَبْتُ الْحَقَّ فَوَجَدْتُهُ مَعَ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ
“Aku cari empat perkara maka aku dapati hal itu pada empat kelompok. Aku cari kekufuran, maka aku dapati pada Jahmiyyah. Aku cari kalam (perdebatan akidah) dan kekacauan maka aku dapati pada Mu’tazilah. Aku cari kedustaan, maka aku dapati pada Syiah Rafidhah. Dan Aku cari kebenaran, maka aku dapati bersama Ashabul Hadis.” (Ibid., hal. 28)

c. Imam Ali Ibnul Madini (w. 234 H/848 M) berkata tentang thaifah manshurah:
هُمْ أَهْلُ الْحَدِيْثِ وَالَّذِيْنَ يَتَعَاهَدُوْنَ مَذَاهِبَ الرَّسُوْلِ وَيَذُبُّوْنَ عَنِ الْعِلْمِ لَوْلاَهُمْ لَمْ تَجِدْ عِنْدَ الْمُعْتَزِلَةِ وَالرَّافِضَةِ وَالْجَهْمِيَّةِ وَأَهْلُ الإِرْجَاءِ وَالرَّأْيِ شَيْئًا مِنَ السُّنَنِ
“Mereka adalah Ashabul Hadis dan orang-orang yang memperhatikan ketetapan-ketetapan Rasul dan membela serta mempertahankan ilmu itu. Andaikata tidak ada mereka, maka kamu tidak akan mendapatkan sedikit pun sunah Rasul pada Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyyah, Murjiah, dan Ahlul Kalam.” (Ibid., hal. 10)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}