Preloader logo

Setop Reklamasi, Anies Rugikan Jokowi?

Penghentian proyek reklamasi akan menguntungkan Prabowo. Gagasan ekonomi kerakyatan dan anti-neoliberalisme Prabowo telah terwakili oleh kebijakan Anies Baswedan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru saja mengeluarkan keputusan berani. Ia secara resmi menghentikan proyek reklamasi teluk Jakarta. Di depan awak media, Anies mengatakan bahwa izin reklamasi di 13 pulau dihentikan.

Menghentikan reklamasi adalah salah satu janji Anies pada saat kampanye Pilgub DKI 2017. Setelah dilantik, pemerintah DKI di bawah Anies terus ditagih oleh berbagai pihak untuk merealisasikan janji tersebut. Hari ini janji tersebut terjawab sudah.

Anies dengan berani menghentikan reklamasi dengan mengatakan bahwa reklamasi adalah bagian dari sejarah, bukan masa depan Jakarta. Selain melanggar aturan, reklamasi menurut Anies telah merugikan masyarakat kecil dan merusak lingkungan.


Pencabutan izin tentu saja bukan tanpa risiko, karena reklamasi telah melibatkan kepentingan investor dan pemerintah pusat.  Namun, Anies Baswedan seperti ingin menunjukan bahwa ia tidak gentar dengan hal tersebut. Bahkan ia mempersilahkan para investor jika ingin menempuh jalur hukum.

Mengapa Anies tampak begitu berani dengan keputusan penghentian reklamasi tersebut? Adakah pihak-pihak yang menjadi pelindung Anies ketika nanti ia diserang berbagai pihak? Lantas mengapa penghentian reklamasi ini diumumkan di tahun-tahun politik? Adakah maksud di balik hal itu?

Anies Melawan Konglomerat

Terdapat 9 nama perusahaan pengembang pulau reklamasi, dan dua di antara pengembang itu adalah anak perusahaan dari Agung Podomoro dan Agung Sedayu. Sebagian pengembang sudah menyatakan legowodengan keputusan Anies dan tidak akan mengguggat Anies lewat jalur hukum.

Pengembang itu adalah PT Jakarta Propertindo (JakPro) selaku pemegang izin pulau O dan F, juga PT Pembangunan Jaya selaku pemegang izin pulau I, J dan K. Di lain pihak, anak perusahaan Agung Sedayu, PT Kapuk Niaga Indah belum memberikan komentar mengenai penghentian ini.

Sementara itu, sebelum Anies menghentikan reklamasi, beberapa pengembang diduga pernah melobi Anies agar tidak menghentikan proyek tersebut. Anies pun mengakui pernah bertemu dengan sejumlah pengembang pulau reklamasi. Pertemuan berlangsung di kediaman Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor tahun 2017.

Menurut liputan tempo.co ketika itu ada Richard Halim, anak Sugianto Kusuma, pemilik Agung Sedayu Grup dan tangan kanan Sugianto Kusuma, Ali Hanafi. Ali berusaha menjelaskan lebih jauh soal proyek reklamasi kepada Anies. Dia membawa segepok berkas mengenai apa saja yang telah dilakukan PT Kapuk Naga Indah. Pengembang pun menjanjikan kepada Anies untuk menambah kontribusi sebesar 15 persen.

Anies menolak mentah-mentah rencana pengembangan proyek reklamasi. Penolakan tersebut sudah dibuktikan Anies saat ini ketika dia secara resmi menghentikan reklamasi teluk Jakarta. Anies lebih memilih berseberangan dengan pengembang dibandingkan harus mengkhianati janjinya kepada warga DKI.

Selain pengembang, Anies mungkin akan berhadapan dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2016, mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah menyatakan bahwa perkenalan dia dengan para pengembang reklamasi tidak terlepas dari peran Jokowi. Hal itu bisa saja memperkuat dugaan bahwa hubungan antara Jokowi dengan konglomerat tersebut merupakan sebab mengapa pemerintah mendukung reklamasi.

Reklamasi Jakarta Anies

Sama dengan Jokowi, Anies pun tidak bergerak sendirian. Jalan Anies ke kursi kekuasaan DKI didukung oleh berbagai pihak. Salah satu dukungan itu datang dari adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo. Hashim adalah seorang konglomerat di internal partai Gerindra. Diduga kuat Hashim juga merupakan salah satu penyandang dana Prabowo untuk maju ke kontestasi Pilpres 2019.

Hashim tercatat pernah mendorong Anies untuk menghentikan reklamasi sekalipun berbeda pendapat dengan pemerintah pusat. Hashim menganggap rakyat Jakartalah yang memilih Anies, bukan pemerintah pusat. Menurut Hashim, pemerintah pusat harus legowo ketika rakyat Jakarta punya sikap sendiri.

Baik Anies ataupun Jokowi sama-sama memiliki political enterpreneur di belakang mereka. Seperti yang dikatakan oleh Alvin Carpio bahwa dalam politik elektoral, para pengusaha politik berada di semua sisi spektrum di kiri dan kanan. Alvin Carpio ingin menegaskan bahwa para pengusaha berada di dua kaki.

Seperti dalam berbisnis, political entrepreneur mengetahui pasar dengan sangat baik dan akan merancang “produk dan jasa” demi memenuhi kebutuhan pelanggan mereka. Mungkinkah ada keuntungan bagi Anies ketika menghentikan proyek reklamasi?

Melihat Anies, Melihat Prabowo

Hasil survei Indo Barometer mengatakan mayoritas warga DKI Jakarta menolak reklamasi. Disebutkan bahwa 58,3 persen warga menolak dan hanya 38,3 persen yang setuju dengan reklamasi.

Pengamat politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan kebijakan yang diambil oleh Anies terkait reklamasi tersebut akan memberikan dampak elektoral tersendiri. Ia berpendapat penghentian reklamasi tersebut secara tak langsung bisa meningkatkan popularitas Anies di mata masyarakat Jakarta. Hal ini dikarenakan reklamasi adalah isu populis, sangat menyentuh kalangan menengah ke bawah.

Populisme memang telah menjadi tren di dunia politik. Di Amerika, gagasan populisme “anti-immigrant” Donald Trump mampu mengantarkan Trump menjadi seorang presiden. Sedangkan di Inggris, menurut Shimon Shuster, gagasan “Brexit” dan penolakan Nigel Farage terhadap Uni Eropa telah membuat politisi asal Inggris tersebut mendapatkan dukungan massa.

Dengan menggagalkan reklamasi, Anies Baswedan mungkin akan menjadi populer seperti Trump dan Farage. Dalam konteks tertentu, popularitas itu bisa saja tak cuma dirasakan oleh Anies Baswedan seorang diri, melainkan juga akan menguntungkan Prabowo dalam pertarungan politik elektoral. Hal ini terutama karena momen gagalnya reklamasi bertepatan dengan tahun politik.

Anies Baswedan lahir menjadi pemimpin di DKI Jakarta atas restu Prabowo. Artinya, bisa saja ketika orang melihat Anies, maka masyarakat sedang melihat Prabowo. Dengan begitu, seluruh kebijakan Anies akan dianggap sebagai cerminan sikap politik Prabowo seandainya nanti dia diberikan kesempatan menjadi presiden.

Anies Baswedan lahir menjadi pemimpin di DKI Jakarta atas restu Prabowo. Artinya, bisa saja ketika orang melihat Anies, maka masyarakat sedang melihat Prabowo.CLICK TO TWEET

Secara politik elektoral, kebijakan Anies Baswedan untuk menghentikan proyek reklamasi akan menguntungkan Prabowo. Gagasan ekonomi kerakyatan dan anti-neoliberalisme ala Prabowo seperti telah terwakili oleh kebijakan Anies tersebut.

Di sisi lain, Anies tergolong cerdik menghentikan izin reklamasi pada momentum tahun politik menjelang Pilpres 2019. Pemerintah pusat akan sulit untuk menentang Anies karena Jokowi akan dianggap tidak pro terhadap orang kecil ketika pemerintah pusat menggagalkan upaya Anies untuk menghentikan reklamasi.

Seperti yang dikatakan oleh Antonio Argandona, Professor IESE Business School, bahwa istilah populis sering kali digunakan sebagai senjata politik untuk menunjukkan kebencian terhadap suatu kebijakan. Selain itu, menurut Marina Prentoulis dari University of East Anglia, wacana populis membagi medan politik menjadi dua kubu, antara “us” versus “them”, “people” vs “the establishment

Maka bukan tak mungkin jika pemerintah pusat menentang Anies dalam menggagalkan proyek reklamasi. Hal itu akan menghantam balik Jokowi dan menguntungkan Prabowo secara politik. Hal ini dikarenakan Jokowi akan dianggap sebagai kubu them dan the establishment yang harus dilawan oleh people atau masyarakat secara luas.

Mungkin saja momentum penghentian reklamasi ini bisa mengantarkan Prabowo sebagai pemenang dalam pertempuran Pilpres karena Prabowo dan oposisi berhasil merebut hati rakyat dengan gagasan-gagasan yang populis. (D38)

sigabah.com | pinterpolitik.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}