Preloader logo

PENGOBATAN ALA RUQYAH (Bagian ke-3)

Ruqyah dan Fenomena Kesurupan Jin (1)

Posisi Ruqyah, jika tidak mengindahkan dua syarat: bersih dari Syirik dan taat kode etik sesuai tutorial (baca: petunjuk) Nabi saw.—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—maka selain “bergaris tipis” antara surga dan neraka; antara syirik dan tauhid; antara mahmud (terpuji) dan madzmum (tercela), juga “rawan jebakan” saat dihadapkan pada fenoma “keganjilan” dalam kehidupan yang menuntut kehadiran Ruqyah sebagai alternatif pengobatan, misalnya fenomena yang sudah umum dikatakan sebagai kesurupan atau kerasukan jin. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan ketelitian dan keapikan tersendiri dalam aplikasi ruqyah, sehingga baik pihak yang meruqyah maupun yang diruqyah benar-benar selamat, bukan saja dari sesuatu yang dianggap sebagai penyakit di dunia, namun juga dari unsur syirik yang berdampak pada kesengsaraan di akhirat.

Agar “benang tipis” dalam ruqyah dapat kita hindari, dalam edisi ini kita akan coba gali petunjuk syariat tentang  kesurupan atau kerasukan jin, dengan ajuan pertanyaan: Apa makna kesurupan? Mungkinkah jin nyurup atau merasuk ke dalam diri manusia??

Kesurupan berasal dari bahasa sunda, yaitu surup. Surup asal artinya pantas atau serasi. Tetapi menjadi bermakna tenggelam bila disambung dengan panon poe (matahari) atau bulan, seperti dalam kalimat surup panon poe. Adapun bila kata itu menjadi nyurup maka berarti roh halus, jin, dan lain sebagainya masuk ke dalam badan manusia, sehingga dikenallah bahasa kasurupan dan saat dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia menjadi kesurupan atau kerasukan. (Lihat, Kamus lengkap bahasa sunda-Indonesia, Indonesia-Sunda, Sunda-sunda, karya Drs. Budi Rahayu Tamsyah Spk).

Sedangkan di dalam bahasa Inggris disebut trance, yang berarti keadaan mabuk atau kemasukan roh atau setan. Dengan demikian, pertanyaan pertama telah selesai terjawab. Kini, tinggal pertanyaan kedua: mungkinkah jin merasuk ke dalam diri manusia??

Jika kita serahkan pada persepsi dan pengalaman setiap orang, tentu saja kita akan mendapatkan jawaban yang tentatif (sementara) dan relatif (tidak mutlak). Namun tidak demikian halnya jika jawaban itu kita cari dari Allah, Sang Pencipta Jin dan orang yang dianggap kerasukkan itu.  Karena Allah tidak pernah memberikan jawaban yang tidak pasti, dan kebenarannya mutlak. Dalam konteks inilah, kita akan telusuri jawaban Allah dalam Al-Quran dan Sunnah tentang fenomena jin.  Selamat menyimak, semoga Anda tidak menjadi “kesurupan” gara-gara membaca ulasan ini.

 

Mengapa disebut Jin?

Secara bahasa jin berarti:

الجِنُّ سَتْرُ الشَّيْءِ عَنِ الْحَاسَةِ

“Al-Jin itu adalah tertutupnya sesuatu dari panca indra.” Demikian Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam masterpiece-nya (Mufradaat Alfaazh al-Qur’aan: 192) menjelaskan.

Kata kerja jin (janna) digunakan dalam Al-Quran untuk menerangkan keadaan malam yang gelap gulita. Allah berfirman:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا

“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang.” (QS. Al-An’am: 76)

Dari kata itu pula hati (qalbu) manusia disebut janaan, karena keadaannya tersembunyi dari indra manusia.

Adapun secara istilah, jin dapat didefinisikan sebagai berikut:

الجِنُّ عَالَمٌ غَيْرُ مَرْئِيٍّ لِلْبَشَرِ حَسْبَ أَصْلِ خَلْقَتِهِ فَهُمْ مِنْ عَالَمِ الأَثِيْرِ وُجُوْدٌ بِلاَ ظِلٍّ غَيْرُ قَابِلِيْنَ لِرُأْيَةِ الْبَشَرِ فَالْجِنُّ حَقِيْقَةٌ وَاقِعَةٌ غَيْرُ مَنْظُوْرَةٍ لَنَا بِدَلِيْلِ قَوْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Jin alam yang tidak diperlihatkan bagi manusia seukuran asal penciptaannya, maka mereka dari alam halus, wujud tidak berbayang, tidak berhadapan dengan penglihatan manusia. Maka jin adalah hakikat yang ternyata tidak diperlihatkan kepada kita, dengan dalil firman Allah azza wa jalla

…إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ (الأعراف :27)

Sesunguhnya ia dan teman-temannya melihat kamu dari tempat yang kamu tidak melihat mereka.” (Q.s. Al-A’raf:27). [1]

Di sini perlu diterangkan pula sebutan lain yang suatu waktu identik dengan jin, yakni setan dan Iblis.

Setan (syaithan), menurut bahasa, berasal dari kata syathana apabila ba’uda (jauh), yaitu jauh dari setiap kebaikan karena kefasikannya. [2]

Sedangkan secara istilah, menurut Abu Ubaidah

أَلشَّيْطَانُ إِسْمٌ لِكُلِّ عَارِمٍ  مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسَانِ وَالْحَيَوَانَاتِ

“Syetan itu adalah nama bagi setiap perbuatan yang jahat/jelek, baik dari golongan jin, manusia, maupun hewan.[3]

Definisi ini merujuk kepada dalil-dalil sebagai berikut:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

“Dan demikian Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” QS. Al-An’am:112

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ فِيهِ فَجِئْتُ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِينِ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ قُلْتُ أَوَ لِلْإِنْسِ شَيَاطِينُ قَالَ نَعَمْ – رواه النسائي –

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku masuk mesjid, ternyata di sana ada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, berlindunglah kamu kepada Allah dari kejahatan syetan (jenis) jin dan (jenis) manusia.’ Aku bertanya, “Apakah ada syetan dari jenis manusia?’ Beliau menjawab, ‘Benar’.” HR. An-Nasai

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa setan itu sifat atau perilaku yang menyimpang dari kebenaran, dan sifat ini berlaku bagi manusia dan jin.

Adapun Iblis adalah makhluk Allah yang diciptakan dari api. Dalam Alquran Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنْ السَّاجِدِينَ # قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ – الأعراف : 11 – 12 –

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam” Maka mereka pun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud # Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” Q.s. Al-A’raf:11-12

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنْ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ … – الكهف : 50 –

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya…Q.s. Al-Kahfi:50

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ – الرحمن : 15 –

dan Dia menciptakan jin dari nyala Api. Q.s. Ar-Rahman:15

Sehubungan dengan itu Rasulullah saw. bersabda:

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ – رواه مسلم –

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifati bagi kamu.” H.r. Muslim

Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat diambil kesimpulan bahwa baik dari bangsa jin maupun dari bangsa manusia, yang jauh dari kebenaran dan dari rahmat Allah adalah setan.

Abu ‘Umar bin Abdul Bar mengatakan:

الجن عند أهل الكلام والعلم باللسان منزلون على مراتب فإذا ذكروا الجن خالصا قالوا جني فإن أرادوا أنه ممكن يسكن مع الناس قالوا عامر والجمع عمار فإن كان ممن يعرض للصبيان قالوا أرواح فإن خبث وتعزم فهو شيطان فإن زاد على ذلك فهو مارد فإن زاد على ذلك وقوى امره قالوا عفريت والجمع عفاريت والله تعالى أعلم بالصواب

“Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh orang Arab untuk menyebutkan makhluk jin ini, tergantung kepada tingkatan jin itu sendiri. Jin secara umum mereka sebut dengan Jinni. Jin yang tinggal bersama manusia mereka sebut dengan ‘aamir (bentuk jamaknya ‘umar atau ‘awaamir). Jin yang suka mengganggu anak-anak mereka sebut dengan arwah. Adapun jin yang berbuat jahat (menyakiti), maka mereka menyebutnya dengan syaithan. Jin yang lebih jahat lagi mereka sebut dengan maarid, dan yang lebih jahat lagi dari itu mereka sebut dengan ‘Ifrit bentuk jamaknya ‘afaariit.”[4]

 

Asal Penciptaan Jin

Jin diciptakan Allah dari api. Firman-firman Allah swt berikut ini menyatakan demikian.

وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ

“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Q.S. al-Hijr [15]: 27)

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

”… dan Dia menciptakan jin dari nyala api,” (QS. Ar-Rahman [55]: 15) dan,

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

“Engkau ciptakan aku (Iblis) dari api sedang dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf [7]: 12)

Sebagian orang berkata, “Jika benar jin itu berasal dari api, mengapa ia bisa terbakar oleh api neraka?” Menanggapi pertanyaan seperti ini dapat kita katakan bahwa maksud sebenarnya dari ayat-ayat di atas bukanlah bahwa jin itu adalah nyala api, melainkan hanya berasal dari api, seperti halnya manusia bukanlah tanah, melainkan hanya berasal dari tanah. Sebab, Rasulullah saw bersabda:

اعْتَرَضَ لِيَ الشَّيْطَانُ فِي مُصَلاَّيَ هَذَا فَأَخَذْتُهُ فَخَنَقْتُهُ ، حَتَّى إِنِّي لأَجِدُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى ظَهْرِ كَفِّي

Setan mencoba menggangguku saat aku melaksanakan salat, aku cekik lehernya hingga aku rasakan dingin air liurnya menetes pada pundakku.” [5]

Jika benar setan (jin) itu adalah nyala api, tentulah air liurnya panas, sebab api memiliki sifat panas dan membakar.

Hadis lainnya yang menunjukkan bahwa jin itu bukanlah nyala api sesungguhnya adalah sabda Nabi saw. berikut ini:

إِنَّ عَدُوَّ اللَّهِ إِبْلِيسَ لَعَنَهُ اللَّهُ جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ ، لِيَجْعَلَهُ فِى وَجْهِى

Sesungguhnya musuh Allah, Iblis—semoga Allah melaknatnya—telah  datang kepadaku dengan membawa percikan api guna ditimpakan ke wajahku.” [6]

Padahal jika benar bahwa iblis itu nyala api sesungguhnya, tidaklah perlu ia datang dengan membawa percikan api segala, dan pastilah bagian tubuh manusia yang disentuhnya akan terbakar sebagaimana lazimnya bila tersentuh oleh api sebenarnya.  Sehubungan dengan itu, Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani mengatakan:

ولسنا ننكر مع ذلك يعني أن الأصل الذي خلقه منه النار أن يكثفهم الله تعالى ويغلظ أجسامهم ويخلق لهم أعراضا تزيد على ما في النار فيخرجون عن كونهم نارا ويخلق لهم صورا وأشكالا مختلفة .

“Walaupun demikian (jin bukanlah api sesungguhnya), tidak kami pungkiri bahwa Allah swt telah menebalkan dan mengasarkan tubuh jin itu, lalu menciptakan bagi mereka sifat-sifat yang membuat mereka memiliki kemampuan lebih dari sekedar api. Dengan demikian, mereka telah berubah dari wujud mereka yang asli, yakni api, dan beralih kepada wujud lain yang bermacam-macam jenisnya.” [7]

Untuk memperkaya landasan dalam menyikapi fenomena kesurupan perlu diungkapkan pula tentang “dunia Jin” menurut Alquran dan Sunah, yang insya Allah akan disampaikan pada pada edisi berikutnya.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

[1]Lihat, al-Jin, hal. 6.

[2]Lihat,Tafsir Ibnu Katsir, I: 176

[3]Lihat, Al-Mufradat Fi Gharibil Quran, hal. 261.

[4]Lihat, Akamu Marjan fi Ahkamil Jan, hal. 24.

[5]HR. An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, Juz 1, hal. 197, No. hadis 551; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, Juz 10, hal. 505, No. hadis 6122; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, Juz 14, hal. 328, No. hadis 6418.

[6]HR. Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, hal. 385, No. hadis 542; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, Juz 2, hal. 263, No. hadis 3238; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, Juz 5, hal. 316, No. hadis 1979.

[7]Lihat, Akamu Marjan fi Ahkamil Jan, hal. 28.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}