Preloader logo

Neraca Dagang RI Defisit, Alarm Perlu Dinyalakan?

Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data perdagangan internasional. Hasilnya mungkin tidak terlalu memuaskan, karena jauh dari ekspektasi.

Pada Selasa (15/5/2018), BPS menyatakan ekspor April 2018 tumbuh 9,01% year-on-year (YoY) ke US$14,47 miliar. Lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni tumbuh 12% YoY. Sementara impor meroket hingga 34,68% YoY ke US$16,09 miliar, jauh di atas konsensus CNBC Indonesia yang meprediksikan kenaikan sebesar 19,09% YoY.

Dengan demikian, neraca perdagangan mencatatkan defisit hingga US$ 1,63 miliar. Jauh dari konsensus yang memperkirakan akan ada surplus sebesar US$ 672 juta.

Sebagai catatan, neraca perdagangan Indonesia pada Januari dan Februari 2018 mencatatkan defisit, masing-masing US$ 756 juta dan US$ 52,9 juta. Baru pada Maret neraca perdagangan berhasil membukukan surplus, yaitu senilai US$ 1,12 miliar. Defisit neraca perdagangan April lantas menjadi yang ketiga pada tahun ini.

Neraca Dagang RI Defisit, Alarm Perlu Dinyalakan?

 

Apabila ditinjau dari data historis, maka defisit bulan April 2018 merupakan yang terdalam sejak April 2014 yang tekor hingga US$ 1,96 miliar. Dengan data ini, perlukah alarm kewaspadaan mulai dinyalakan?

Hal tersebut dapat dijawab dengan melihat beberapa faktor, yaitu:

Pertama, apabila diihat per golongan barang, impor bahan baku pada April naik sangat signifikan, yakni sebesar 78,96% YoY. Tidak mau kalah, barang modal dan barang konsumsi juga melambung, masing-masing 40,81% YoY dan 38,01% YoY.

Neraca Dagang RI Defisit, Alarm Perlu Dinyalakan?

Tingginya impor bahan baku dan barang modal dipicu oleh melonjaknya dua golongan barang (Kode HS 2 Digit) yang menyumbang paling besar bagi pangsa impor Indonesia, yakni Mesin serta Pesawat Mekanik dan Mesin serta Peralatan Listrik yang masing-masing meningkat 29,17% YoY dan 29,15% YoY pada periode Januari-April 2018.

Hal ini lantas menjadi indikasi bahwa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) Indonesia akan cenderung menguat pada kuartal II-2018, yang berarti akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pertanyaannya seberapa besar daya dongkrak itu?

Jawabannya, hal tersebut tergantung seberapa besar peningkatan PMTDB tersebut mampu mengompensasi komponen net ekspor (ekspor dikurangi impor). Seperti diketahui, net ekspor juga menjadi salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Saat defisit neraca perdagangan berlanjut, maka net ekspor pun terancam negatif.

Namun demikian, jangan lupa bahwa melambungnya impor bahan baku dan barang modal di bulan lalu lagi-lagi menjadi indikasi masih lemahnya proses industrialisasi Tanah Air, di mana barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.

Kedua, pelaku pasar akan kembali menyoroti kinerja transaksi berjalan (current account) Indonesia yang bisa semakin memburuk. Padahal, ransaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit  US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Neraca Dagang RI Defisit, Alarm Perlu Dinyalakan?

Apa penyebab defisit neraca transaksi berjalan yang begitu lebar pada kuartal I-2018? Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), penyebabnya adalah ekspor minyak nabati yang terkoreksi 14,5% YoY, sementara ekspor karet olahan juga amblas 17,6% YoY.

Senada dengan data BI, BPS juga mencatat bahwa dari 10 golongan barang HS utama, hanya ada 2 golongan barang yang tumbuh melambat pada Januari-April 2018, yakni Lemak dan Minyak Hewani/Nabati (-15,73% YoY) dan Karet dan Barang dari Karet (-22,05% YoY). Padahal ekspor Lemak dan Minyak Hewani/Nabati berkontribusi sebesar 12,69% bagi ekspor Indonesia pada periode Januari-April 2018, atau kedua terbesar setelah ekspor bahan bakar mineral.

Neraca Dagang RI Defisit, Alarm Perlu Dinyalakan?

Performa ekspor minyak nabati yang mengecewakan didorong oleh India, salah satu negara pengimpor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, yang menaikkan tarif impor dari semula 30% menjadi 44%. Sebagai tambahan, Negeri Bollywood juga menaikkan tarif impor produk minyak sawit dari semula 40% menjadi 54%.

Indonesia terpukul oleh ketergantungan ekspor komoditas. Saat terjadi disrupsi dari sisi permintaan, otomatis harga komoditas pastinya akan terpukul. Sebagai informasi, harga CPO sudah terkoreksi 3,12% di sepanjang kuartal I-2018. Setali tiga uang dengan CPO, harga karet juga anjlok 14,85% di 3 bulan awal tahun ini.

Ketiga, seiring risiko melebarnya defisit transaksi berjalan ada di depan mata, pelaku pasar juga akan mewaspadai risiko memburuknya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).

Biasanya defisit transaksi berjalan bisa ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, kali ini rumus itu nampaknya tidak berlaku. Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus di kuartal I-2018, yaitu sebesar US$1,81 miliar, tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$6,93 miliar.

Akibatnya, jumlah surplus transaksi modal dan finansial di kuartal-I 2018 tidak bisa menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Alhasil, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$ 3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.

Pasar keuangan Indonesia pada 2018 memang agak menegangkan. Berbagai sentimen negatif datang bertubi-tubi, termasuk risiko kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang lebih agresif tahun ini. Akhirnya, investor (terutama asing) cenderung bermain aman dan meninggalkan Indonesia.

Saat performa transaksi modal dan finansial tertekan, sementara defisit neraca transaksi berjalan juga semakin membesar, maka NPI praktis tidak tertolong. Padahal, NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.

Oleh karena itu, rilis data defisit neraca perdagangan hari ini jelas menjadi sentimen negatif bagi pelaku pasar, seiring potensi semakin melebarnya defisit neraca transaksi berjalan, dan akhirnya mendorong membesarnya defisit NPI. Rupiah pun jadi tidak memiliki pijakan untuk terapresiasi.

Hal ini sudah mulai tercermin pada rupiah yang langsung bergerak melemah 0,47% ke Rp 14.030/US$ pada pukul 12.00 WIB siang ini, merespons rilis data neraca perdagangan. Jika defisit neraca perdagangan ini tidak diwaspadai, maka bukan tidak mungkin tekanan pada mata uang garuda akan semakin besar.

Kesimpulannya, mungkin Indonesia sudah perlu menyalakan alarm tanda waspada…

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

(RHG/aji)

sigabah.com | cnbcindonesia.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}