Preloader logo

MUNGKINKAH SYI’AH & SUNNAH BERSATU? (Bagian Ke-3)

Teks Lengkap Surat Al Wilayah

Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:

يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم # نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك وعلي من الشاهدين#

“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”

Al-Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At-Taqiyyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al-Quran telah di selewengkan, mustahil mereka mensifati penulis buku yang memuat dua ribu hadis yang membuktikan penyelewengan Al-Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: ”semoga Allah mensucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadis.” Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir, karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al-Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al-Quran tersebut dengan Al-Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al-Mushaf Al-Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An-Nury At-Thabarsy untuk menuliskan bukunya yang berjudul:

فصل الخطاب في إثبات تحريف كتاب رب الأرباب

“Fashl al-Khithaab fii Itsbaati Tahriif Kitaab Rabb al-Arbaab.” [1]

fashl al-Khitaab

Screenshot Manuskrip Kitab Fashl al-Khithaab

Apapun perihalnya, bukan hanya An-Nury At-Thabarsy, pemuka para imam ahli hadis dan rijal (biografi ulama) yang menyatakan bahwa Al-Quran telah diselewengkan, namun didapatkan pula dari imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya, yang sekelas dengannya, yang menyatakan hal yang sama, misalnya Al-Kulainy, penulis Al-Kafi dan Ar-Raudhah, Al-Qummi, penulis buku tafsir, yang disebut oleh An-Najasyi dalam buku Rijal an-Najasy (hlm. 183): “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadis dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya.” Begitu pula Syekh al-Mufid, yang dinyatakan oleh An-Najasyi dalam buku Rijal an-Najasy (hlm. 284): “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang,” dan ia juga dipuji oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya A’yan asy-Syi’ah, jilid I, hlm. 237, juga oleh Al-Kasyy, Al-Ardubily, dan juga Al Majlisy.

Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al-Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadis yang membuktikan penyelewengan Al-Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: ”Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadis.” Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al-Quran telah diselewengkan?

Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An-Nuri At-Thabarsy dalam rangka menerapkan ideologi At-Taqiyyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al-Quran.

Dengan demikian, ada dua versi Al-Quran: Pertama, Al-Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang. Kedua, Al-Quran khusus yang tersembunyi, yang berisi antara lain surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!”

Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan dari Al-Quran ialah ayat:

وجعلنا عليا صهرك

“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”

Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat أَلَمْ نَشْرَحْ . Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat أَلَمْ نَشْرَحْ adalah surat Makkiyyah (Surat Makkiyyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  masih berada di kota Mekah dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam  kala itu ialah Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ Al-Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  dari atas mimbar masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu ‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Thalib kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. [2]

Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Usman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:

لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها

“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.” [3]

Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib At-Thabarsy, salah seorang syekh Ibnu Syahruasyub, wafat tahun 588 H, dalam bukunya: Al-Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj, menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat), ia tidak menyebutkan namanya, “Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)

Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik[4] telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al-Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?

Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al-Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.

Dan tatkala pertama kali buku “Fashl al-Khithaab fii Itsbaati Tahriif Kitaab Rabb al-Arbaab” terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam, sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini, kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al-Ashfahani Al-Kazhimi, pada jilid 2 hlm. 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, sebagai penyempurna buku: “Rawdhah al-Jinan.”

Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shahih Bukhori menurut mereka, yaitu buku “Al-Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hlm. 54, edisi tahun 1278 H. di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al-Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al-Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al-Kafi” ini, yang kedudukannya bagaikan Shahih al-Bukhari menurut Ahlusunnah, pasti mengimani teks ini.

Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al-Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sendiri selama masa khilafahnya, padahal beliau berada di kota Kuffah, tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebarluaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru, sebagai karunia dari Allah ta’ala, oleh khalifah Usman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki mushaf lain, sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya, niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebarluaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama Islam!!

Sedangkan Jabir Al-Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al-Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al-Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar, hlm. 307, edisi tahun 1372 H).

Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau, Ja’far As-Shadiq rahimahullah ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shahih al-Bukhari mereka, “Al-Kafi” hlm. 57, edisi 1278 H. Iran:

“Dari Abi Bashir, ia menuturkan: ‘Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As Shadiq)……hingga Abu Abdillah berkata: ‘Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan, ‘Aku pun bertanya, ‘Apa itu Mushaf Fatimah?’ Ia menjawab, ‘Mushaf seperti Al-Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al-Quran kalian’.”

Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama para imam Ahlul Bait telah muncul sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini Ar-Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut telah ada jauh-jauh hari sebelumnya, dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi’ah.

Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al-Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al-Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca “AlFashal Fi AlMilal wa AnNihal” karya Ibnu Hazm, juz 2, hlm. 78 dan juz 4, hlm. 182, edisi pertama Kairo.

Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyriyyah yang dikenal juga dengan Al-Ja’fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah Islam sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  hingga saat ini, terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, merupakan pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!

By Maman Rukmana, diadaptasi dari buku: Mungkinkah Syi’ah & Sunnah Bersatu?” karya Syekh Muhibbuddin terbitan Pustaka Muslim.

 

[1] Salah seorang ulama Syi’ah terkemuka, Agha Bazrak At-Thahrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang popular, adz Dzari’ah Ilaa Tashaanif AsSyi’ah, dalam bukunya Thabaqaat A’laam AsSyi’ah, pada bagian kedua dari juz pertama, dengan judul: Nuqaba’ AlBasyar fii AlQarni ArRabi’ ‘Asyar, pada hlm. 544, cetakan Pustaka Al-Ilmiah Najef, 1375 H-1956 M, berkomentar tentang An-Nury At-Thabarsy, “Ia adalah pemuka para imam ahli hadis dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”

[2]Catatan dari penerjemah: Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam  kepada menantunya Al-‘Ash bin Ar-Rabi’ Al-Umawi ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.

[3]Catatan dari penerjemah: Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usud al-Ghabah, I:749 & 1458.

[4] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At-Thabarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al-Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al-Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al-Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al-Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al-Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At-Thabarsy, dengan bukunya ini, telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}