Preloader logo

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-34)

Syiah dan Hadis (3)

Islam Ahlussunnah diskriminatif?

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Syiah juga menggugat keilmuan hadis Ahlussunnah dengan klaim diskriminatif. Sebab kata mereka, Ahlussunnah tidak pernah meriwayatkan hadis-hadis dari sumber Syiah: “Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya?” Demikian Emilia Renita AZ, “Istri Muda” Jalal “berkicau” dalam buku “Mengapa Kita Memilih Syiah?” Atau seperti pernyataan Dr. Quraish Shihab: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari Imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadis-hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”

Menjawab pernyataan Emilia Renita AZ, adalah harus dipahami bahwa titik tekannya bukan pada soal diskriminasi atau tidak. Sudah dimaklumi bersama, baik oleh Syiah maupun Ahlussunnah, bahwa ulama ahli hadis Ahlussunnah memiliki metode yang berbeda dengan ulama Syiah dalam menerima hadis. Ulama Ahlussunnah punya konsep dan metode yang jelas, sementara ulama Syiah tidak memilikinya. Berbeda dengan Ahlussunnah, Syiah berkeyakinan bahwa hadis-hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahîh tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.[1] Maka, tidaklah mungkin bagi ulama Ahlussunnah mencomot begitu saja hadis-hadis Syiah tanpa ada riwayat yang jelas atau ada namun dibuat-buat dan palsu. Sementara Syiah, adalah logis jika mereka banyak mengambil hadis-hadis Ahlussunnah, sebab hadis-hadis tersebut sangat tampak otentisitasnya, valid dan akurat dengan riwayat-riwayat yang jelas, sebagaimana hadis yang menjelaskan tentang kedudukan Sayyidina Ali Ra. di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Harun As. Di sisi Nabi Musa As.[2]

Sementara asumsi dari Murtadha al-‘Askary yang dikutip oleh Dr. Quraish Shihab (Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka), seperti asumsi-asumsinya yang lain, sebenarnya muncul dari prasangka belaka, tanpa didasari penelitian ilmiah apa pun. Seperti dinyatakan sebelumnya, bahwa tidak mungkin bagi ulama Ahlussunnah mengambil hadis-hadis Syiah. Namun demikian, ulama Ahlussunnah juga meriwayatkan hadis-hadis dari para Imam Syiah dan Ahlul Bait, di mana hadisnya terbukti tidak terkontaminasi oleh Syiah dan bukan hadis yang dibuat-buat oleh Syiah.

Alhasil, tidak sebagaimana praduga Murtadha al-‘Askary, dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Lihatlah dalam Muwatha’ Imam Malik, pada hadis nomor 228, 464, 544, 652, 655, 713, 730, 731, 735, 766, 782, 946, 1020, dan 1210; Shahîh Muslim pada hadis nomor 1180, 1420, 1435, 2107, 2137, 2139, 2215, 2216, dan 3377; Dalam Sunan Abu Dâwud pada hadis nomor 1628, 1629, 1652, 3266, dan 3455; Pada Sunan at-Tirmidzî hadis nomor 477, 644, 743, 746, 784, 785, 790, 796, 797, 968, 1264, 1265, 1416, 1477, 1665, 2070, 2360, 2893, 3666, dan 3718; Dalam Sunan an-Nasâ’î pada hadis nomor 182, 214, 289, 389, 426, 540, 600, 649, 650, 1294, 1373, 1560, 1901, 2230, 2664, 2690, 2693, 2706, 2711, 2712, 2748, 2890, 2895, 2912, 2913, 2914, 2920, 2921, 2922, 2923, 2924, 2925, 2931, 2933, 2934, 2935, 2965, 2995, 3004, 3026, 3029, 4314 dan 4343; Dalam Sunan Ibnu Mâjah pada hadis nomor 44, 64, 484, 570, 998, 1108, 2229, 2360, 2400, 2407, 2904, 2910, 2942, 2951, 2957, 3065, 3119 dan 4300; Dan dalam Musnad Ahmad pada hadis nomor 543, 14012, 14021, 14044, 14133, 14637, 16280, 16331, 20209, 21856 dan 25294. Semua hadis-hadis tersebut merupakan riwayat dari Ja’far Shadiq bin Muhammad, Imam ke-6 Syiah. Sedangkan riwayat dari selain Ja’far ash-Shadiq Ra. masih lebih banyak dari yang telah kami cantumkan barusan.

Sekadar contoh, akan kami cantumkan beberapa riwayat saja dalam beberapa kitab Ahlussunnah yang sambung kepada Sayyidina Ali Ra, Imam pertama Syiah.

Dalam kitab Muwaththa’ dengan nomor hadis 994:

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.

“Yahya telah menceritakan kepada saya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya putra Muhammad bin Ali, dari ayah keduanya, dari Ali bin Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di hari Khaibar, dan beliau juga telah melarang memakan daging-daging keledai piaraan.

Dalam ShahÎh Muslim, pada hadis nomor 2511:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.

Dalam Sunan at-Tirmidzî pada hadis nomor 1040:

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.

Dalam Sunan an-Nasa’î pada hadis nomor 3313:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.

Dalam Sunan Ibni Majah dengan nomor hadis 1951:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.

Dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadis 558:

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا وَكَانَ حَسَنٌ أَرْضَاهُمَا فِي أَنْفُسِنَا أَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.

Dalam Mukhtashar Târîkh Dimasyqa, Ibnu Mandzur menulis satu riwayat dari Imam Ja’far ash-Shadiq, diklaim sebagai Imam ke-6 Syiah, sebagai berikut:

حَدَّثَ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْلَةً أُسْرِيَ بِيْ رَأَيْتُ عَلَى الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، أَبُوْ بَكْرٍ الصديقُ، عُمَرُ الفَارُوْقُ، عُثْمَانُ ذُو النُّورَيْنِ يُقْتَلُ مَظْلُوْمًا.

“Ja’far bin Muhammad telah menceritakan dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam saya diisrakan, saya melihat pada ‘Arsy tertulis Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasululullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, Usman Dzunurain, yang terbunuh secara zalim.” [3]

Sementara Imam Bukhari, memang harus diakui bahwa beliau tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad Ra.. Ada banyak alasan untuk langkah al-Bukhari ini, antara lain, sebagaimana yang telah dimaklumi, sebab seleksi Bukhari sangat ketat melebihi Imam Muslim dan yang lain. Namun demikian, Ahlussunnah, termasuk Imam Bukhari, tetap mengakui jika Ja’far bin Muhammad Ra. adalah perawi yang tsiqah.[4] Ahlussunnah juga mengakui akan keutamaan, ketinggian ilmu dan pemahaman agamanya. Hanya saja, Syiah mendustakan beliau dengan tumpukan hadis palsu yang diafiliasikan pada beliau, sehingga, karena ulah Syiah sendiri tampaknya Imam Bukhari menampik hadis yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para rawi tsiqah dari beliau, maka Ahlussunnah men-shahîhkan dan mengambilnya.[5]

Hal ini juga diakui oleh Ibnu Abi al-Hadid, di mana beliau dengan tegas menyatakan bahwa sumber kebohongan dalam hadis-hadis fadhâ’il adalah muncul dari Syiah. Mulanya mereka menciptakan hadis-hadis palsu mengenai keutamaan-keutamaan Imam-imam mereka. Kreasi ini, masih menurut Ibnu Abi al-Hadid, didorong oleh rasa permusuhan terhadap rival-rival mereka.[6] Berikut pernyataan Ibnu Abi al-Hadid:

إِنَّ أَصْلَ الأَكَاذِيبِ فِي أَحَادِيثِ الفَضَائِلِ كَانَ مِنْ جِهَةِ الشِيعَةِ، فَإِنَّهُمْ وَضَعُوا فِي مَبْدَإِ الأَمْرِ أَحَادِيثَ مُخْتَلِفَةً فِي صَاحِبِهِمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى وَضْعِهَا عَدَاوَةُ خُصُومِهِمْ.

“Sesungguhnya pemalsuan hadis-hadis keutamaan berasal dari pihak Sy’ah. Pada mulanya, mereka menciptakan berbagai hadis yang beragama tentang para sahabat mereka. Faktor pendorong mereka memalsulkan hadis-hadis itu adalah rasa permusuhan dengan lawan-lawan mereka. [7]

Bukan hanya itu, Syiah juga melakukan pemalsuan-pemalsuan pendapat dan diafiliasikan kepada Sayyidina Ali Ra. Ibnu al-Qayyim mengatakan, bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. merupakan sahabat Rasulullah saw. yang banyak mengeluarkan hadis-hadis, fatwa-fatwa dan hukum-hukum, hanya saja patut disayangkan, bahwa Syiah merusak kebanyakan ilmu-ilmu yang datang dari Sayyidina Ali Ra. dengan kebohongan-kebohongan yang diafiliasikan kepada beliau.[8]

Kendati tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad Ra., dengan alasan-alasan sebagaimana disebutkan barusan, namun Imam Bukhari meriwayatkan hadis-hadis dari Ahlul Bait yang lain, semisal riwayat yang sambung kepada Sayyidina Ali. Riwayat tersebut dapat ditemukan dalam Shahîh Bukhâri, misalnya dalam hadis nomor 247, 3894, 4723, 2132, 2486, 2904, 3897, 4032, 4511, 5096, 5098, 5099, 6098, 6446, dan 6577. Untuk lebih jelasnya, berikut kami kutip sebagian dari riwayat Bukhari tersebut:

3894- حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ.

“Yahya bin Qaza’ah telah menceritakan kepada saya. Malik telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya putra Muhammad bin Ali, dari ayah keduanya, dari Ali bin Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di hari Khaibar, dan beliau juga telah melarang memakan daging-daging keledai piaraan.

4032- وَعَنْ عَمْرٍو عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ جِئْتُهُ فَقَالَ لِي أَبُو بَكْرٍ عُدَّهَا فَعَدَدْتُهَا فَوَجَدْتُهَا خَمْسَ مِائَةٍ فَقَالَ خُذْ مِثْلَهَا مَرَّتَيْنِ.

“Dan dari Amr, dari Muhammad bin Ali, Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ‘Aku mendatanginya, lalu Abu Bakar berkata, ‘Hitunglah.’ Maka aku pun menghitung, ternyata berjumlah 500. Lalu beliau berkata, ‘Ambilah yang senilai dengannya dua kali’.”

4723- حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.

“Malik bin Ismail telah menceritakan kepada kami. Ibnu Uyainah telah menceritakan kepada kami, bahwa ia mendengar (Ibnu Syihab) Az-Zuhri berkata, ‘Al-Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad, dari ayah keduanya, bahwa Ali bin Abu Thalib Ra. Berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di masa Khaibar.

Selanjutnya, kenyataan bahwa al-Bukhari tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan alasan-alasan di atas, tidak lantas dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari benci kepada Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Syiah. Sebab, jika kesimpulan dari Syiah ini kita terima, maka kenyataan bahwa al-Bukhari tidak meriwayatkan dari Imam Syafi’i (Imam madzhab yang dianut al-Bukhari) dan Ahmad bin Hanbal (seorang pakar hadis yang agung) juga harus dipahami dengan kesimpulan yang sama, yakni al-Bukhari juga membenci asy-Syafii dan Ahmad bin Hanbal, padahal realitanya tidak demikian. Al-Bukhari juga tidak meriwayatkan Hadis dari Muhammad bin Ishaq, kendati beliau juga menilainya kredibel (tsiqah).[9] Maka dari itu, kesimpulan dari Syiah-lah yang harus kita sangsikan.

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

[1] Lihat, Abdullah Fayyadh, Târîkh al-Imâmiyah, hlm. 140.

[2] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahîhnya, hadis No. 3430 dan 4064; Shahîh Muslim, hadis No. 4418, 4419, 4420, dan 4421; Sunan at-Tirmidzî, No. 3658, 3663, dan 3664; Sunan Ibn Majah, hadis No. 112 dan 118; Musnad Ahmad, hadis No. 1384, 1408, 1423, 1427, 1450, 1465, 1498, 1514, 1522, 2903, 10842, 14111, 25843, dan 26195. Hanya saja permasalahnnya, orang-orang Syiah memiliki pemahaman sendiri terhadap hadis yang mereka ambil dari Ahlussunnah tersebut.

[3] Lihat, Mukhtashar Târîkh Dimasyqa, juz 5 hlm. 178

[4] Lihat, Mîzân al-I’tidâl, juz 1 hlm. 414.

[5] Lihat,Tafsîr ath-Thabarî, juz 2 hlm. 36.

[6] Lihat , Syarh Nahj al-Balaghah, juz 3 hlm. 17, Dar ar-Rasyad al-Hadisah.

[7] Lihat, Syarh Nahj al-Balaghah, Juz 5, hal. 61-62.

[8] Lihat , A’lâm Muwaqqi’în, hlm. 31.

[9] Lihat , Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah (dalam Muqaddimah), hlm. Abjad (ج).

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}