Preloader logo

MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-27)

Pada dua edisi sebelumnya telah disebutkan konsep bada’ dalam keyakinan Syiah—yang identik dengan keyakinan Yahudi—diartikan sebagai penyesalan Tuhan karena telah terlanjur mengerjakan hal-hal yang kurang tepat. Selanjutnya dikupas masa kemunculan konsep bada’—dalam keyakinan Syiah—yang awalnya tidak dikenal di kalangan Islam. Pada edisi ini akan dibedah usaha Syiah dalam mencari dalil pembenaran keyakinan bada’.

Syiah Mencari Pembenaran Bada’

Setelah Syiah terlanjur mematok bada’ sebagai doktrin dan kepercayaan keagamaan yang harus diakui oleh seluruh pengikut mereka, maka untuk menguatkan doktrin ini, para tokoh-tokoh Syiah berusaha mencari-cari dalil dari kitab suci al-Qur’an, untuk menguatkan hujjah (pembenaran) mereka. Mereka menjadikan ayat ke-39 sari surat ar-Ra’d sebagai dalil – yang mereka anggap – paling kuat dan paling mewakili atas kebenaran konsep bada’:

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (الرعد ]13[: 39).

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh al-Mahfuzh). (QS. Ar-ra’d [13]: 39).

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa orang pertama yang menggunakan ayat ini sebagai dalil bada’ adalah seorang pemuka Syiah bernama al-Mukhtar bin Abi Ubaid al-Tsaqafi. Para tokoh Syiah-pun selanjutnya menggunakannya sebagai tameng atas kekeliuran mereka. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ayat ini jelas tidak bisa dijadikan pembenaran bagi akidah bada’, sebab penghapusan atau penetapan apapun yang dikehendaki Allah SWT merupakan pelaksanaan atas semua rencana yang telah ditulis-Nya pada zaman Azali dalam Ummul Kitab. Sengaja Allah SWT melakukan semua itu karena al-Mahwu (menghapus) dan al-Itsbat (menetapkan) merupakan bagian dari skenario drama kehidupan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Jadi, Allah SWT benar-benar tahu tentang apa yang akan terjadi. Bagaimana mungkin Allah SWT tidak tahu terhadap apa yang akan terjadi, sebagaimana dinyatakan Syiah, sedang Dia telah menegaskan dalam Kitab-Nya:

وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا (الطلاق ]65[: 12).

Dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath-Thalaq [65]: 12)

Dia SWT memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk mengatakan:

وَمَا نُنَزِّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا (مريم ]19[: 64).

Dan tidaklah Kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa. (QS. Maryam [19]: 64).

Mereka juga menjadikan pergantian Syariat atau yang lazim disebut Nasikh dan Mansukh sebagai bagian dari dalil bada’, seperti Tahwilu al-Qiblah (perpindahan kiblat), iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya dan lain-lain.

Upaya untuk memperkuat doktrin ini selanjutnya dilakukan dengan bersusah payah, melalui pendekatan-pendekatan ilmiah yang mereka anggap mungkin, meski harus melakukan pemaksaan-pemaksaan, penalaran, dan analogi yang rumit. Mufassir kenamaan Indonesia, Dr. Quraish Shihab, juga menyinggung hal ini dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Pada halaman 169-183. Dalam hal ini, beliau mengutip beberapa tulisan ulama Syiah yang menyatakan bahwa bada’ itu memiliki persamaan arti (sinonim) dengan Nasakh yang sering dipakai oleh Ahlussunnah. Dalam kutipan itu juga ditegaskan bahwa tidak ada ulama Syiah yang berpendapat bahwa bada’ itu memiliki arti munculnya sesuatu yang sebelumnya belum jelas bagi Allah SWT.

Di sini, tampak bahwa Dr. Quraish Shihab juga mengerahkan segala kemampuannya, memperjuangkan dengan berbagai cara, bagaimana sekira eksistensi bada’ bisa diakui dan keberadaannya dapat dianggap absah sebagaimana konsep Nasikh-Mansukh yang digunakan Ahlussunnah. Secara halus dan perlahan, Dr. Qurais Shihab hendak masuk pada poin kunci yang beliau tuju, bahwa Ahlussunnah tidak perlu mengkritisi bada’, sebab konsep itu pada dasarnya tidak berbeda dengan Nasakh, atau bisa disamakan dengan penambahan umur yang (dilakukan Allah SWT) disebabkan seseorang gemar bersedekah atau rajin mempererat hubungan famili (ber-silatur-rahim) dan lain-lain.

Dalam kajiannya tentang bada’, Dr. Quraish Shihab tidak masuk pada kajian terhadap dalil-dalil yang dipegang oleh masing-masing dari kedua belah pihak, yakni Syiah sebagai pihak yang pro dan Ahlussunnah sebagai pihak yang kontra. Beliau hanya mengutip komentar-komentar dari para tokoh Syiah tanpa menelaah lebih mendalam terhadap pernyataan-pernyataan itu, di samping Dr. Quraish Shihab hanya menampilkan data yang timpang: memaparkan data dari satu arah dan mengabaikan data dari arah yang berseberangan (yang muncul dari kalangan Syiah sendiri). Karena itulah tak ada koreksi, komparasi atau tarjih dari Dr. Quraish Shihab terkait dengan kenyataan bahwa dalam Syiah juga terjadi silang pendapat yang tak mungkin dikompromikan dalam tema ini.

Jika kita telaah lebih seksama, maka sebetulnya secara substansial, konsep dan arti Nasikh-Mansukh tidak ditemukan dalam bada’. Mansukh merupakan hukum sementara yang dibatasi masa berlakunya oleh Allah SWT, yang apabila waktu tersebut telah habis, maka akan segera diganti dengan hukum lain yang telah dipersiapkan sebelumnya (Nasikh).[1] Sekali lagi ini merupakan bagian dari skenario yang telah dituliskan oleh Allah SWT pada zaman azali, dan telah ada dalam ‘Ilmu-Nya. Naskh akan sangat kontras dengan bada’ manakala ditinjau dari kenyataan bahwa Isma’il bin Ja’far saat itu masih belum menjadi Imam. Andai saja Ismail meninggal setelah ia sempat menjadi Imam, barangkali masih ada peluang untuk menyamakan bada’ denagan Naskh, karena pemberlakuan hukum sementara masih akan kelihatan, namun nyatanya sejarah menyuguhkan cerita yang berbeda kepada kita.

Maka, apa yang disampaikan oleh Dr. Quraish Shihab rupanya perlu ditinjau ulang, karena riwayat bada’ yang termaktub dalam kitab al-Kafi tampaknya tidak bisa dipaksakan agar memakai arti Nasakh:

نَعَمْ يَا اَبَاهَاشِمْ, بَدَا للهِ فِيْ أَبِيْ مُحَمَّدْ بَعْدَ أَبِيْ جَعْفَرَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَالَمْ يَكُنْ يَعْرِفُ لَهُ…

“Benar wahai Abu Hasyim, tampak pada Allah dalam diri Abu Muhammad setelah kematian Abu Ja’far AS sesuatu yang belum diketahui-Nya.[2]

Dapatkah bada’ di sini disamakan dengan Naskh, atau dengan penambahan umur seseorang sebab ia rajin bersedekah dan mempererat tali persaudaraan? Jika Dr. Quraish Shihab bersikukuh memegang pendapat ulama-ulama Syiah yang datang setelah al-Kulaini yang menyamakan bada’ dengan Naskh, maka itu adalah hak pribadi beliau. Lalu manakah yang benar? Al-Kulaini yang disebut sebagai ‘Bukhari-nya’ Syiah yang meriwayatkan badaa lillaahi maa lam yakun ya’rif (tampak pada Allah sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui-Nya), atau para ulama Syiah belakangan yang jelas-jelas berseberangan dengannya?

Apa pun namanya, toh Syiah mengaplikasikan bada’ dalam rangka untuk menutupi kesalahan ramalan para Imam yang maksum. Dengan mudah mereka akan mengatakan “bada’” setiap kali menjumpai apa yang disampaikan Imamnya ternyata tidak menjadi kenyataan.

Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa Nasikh-Mansukh telah berlalu dengan meninggalnya Rasulullah SAW.[3]

Berbeda dengan Syiah yang terus memberlakukannya sesuai kebutuhan dan kepentingan mereka, kapan dan di mana pun.

 

Riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ahlul Bait

Untuk lebih meyakinkan ucapan para tokoh Syiah dalam menyelipkan beberapa riwayat yang diafiliasikan kepada Ahlul Bait, berikut kami kutip beberapa hadits Syiah berkenaan dengan bada’, yang antara lain ditulis oleh al-Kulaini dalam al-Kafi-nya:

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ عليه السلام بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ: كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عليه السلام وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا, إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ عليه السلام فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ: نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ عليه السلام مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ ,كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كُشِفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ, وَ أَبُو مُحَمَّدٍ ابْنِي الْخَلَفُ مِنْ بَعْدِي عِنْدَهُ عِلْمُ مَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ وَ مَعَهُ آلَةُ الْإِمَامَةِ.

Ali bin Muhammad dari Ishaq bin Muhammad dari Abi Hasyim al-Ja’fari, dia berkata: “Aku ada di samping Abu al-Hasan AS setelah kematian putranya, Abu Ja’far. Sebenarnya aku berfikir ingin berkata (pada Abu al-Hasan) “Sesungguhnya nasib Abu Ja’far dan Abu Muhammad (dua putra Abu al-Hasan) sama seperti kisah Musa dan Isma’il, dua putra Ja’far bin Muhammad AS, karena ternyata Abu Muhammad menjadi pengganti Abu Ja’far AS. Lalu Abu al-Hasan berpaling padaku sebelum aku sempat berkata-kata: “Benar wahai Abu Hasyim, tampak pada Allah dalam diri Abu Muhammad setelah kematian Abu Ja’far AS sesuatu yang belum diketahui-Nya, sebagaimana tampak pada Allah dalam diri Musa setelah kemaitan Isma’il sesuatu yang tersingkap tentang diri Musa, seperti yang diucapkan hatimu, walaupun orang-orang yang ingkar tidak menyukainya. Abu Muhammad, Anakku, adalah pengganti setelahku. Pada dirinya terdapat ilmu-ilmu yang ia butuhkan, dan bersamanya pra-syarat imamah.[4]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ الْحَجَّالِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ثَعْلَبَةَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيُن عَنْ أَحَدِهِمَا عليهما السلام قَالَ: مَا عُبِدَ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِثْلِ الْبَدَاءِ.

Artinya: Tidak ada penyembahan kepada Allah yang lebih baik dari pada bada’.[5]

وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلام: مَا عُظِّمَ اللهُ مِثْلَ الْبَدَاءِ.

Artinya: Tidak ada pengagungan kepada Allah seperti halnya bada’.[6]

Lebih jauh, mereka membuat riwayat bahwa Allah SWT telah meminta anak Adam untuk menerima bada’ sejak dalam kandungan ibunya. Disebutkan dalam al-Kafi fi al-Furu’ (juz 6 hlm. 13-14): setelah dua malaikat yang bertugas menulis qadha’ dan qadar Allah SWT meniupkan ruh kehidupan pada janin, Allah SWT berfirman:

اُكْتُبَا عَلَيْهِ قَضَائِي وَ قَدَرِي وَ نَافِذَ أَمْرِي, وَاشْتَرِطَا لِيَ الْبَدَاءَ فِيمَا تَكْتُبَانِ, فَيُمْلِي أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ فَيَكْتُبَانِ جَمِيعَ مَا فِي اللَّوْحِ وَ يَشْتَرِطَانِ الْبَدَاءَ فِيمَا يَكْتُبَانِ.

Tulislah padanya qadha’ dan qadar-Ku, serta laksanakan perintah-Ku! Buatlah perjanjian untuk-Ku agar menerima bada’ atas apa yang kalian tulis, maka salah satunya mendiktekan apa-apa yang ada pada Lauh dan ditulis oleh yang lain, serta membuat perjanjian untuk menerima bada’.[7]

Bahkan dengan berani mereka membuat riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Luth AS meminta kepada malaikat yang mendatanginya untuk segera menyiksa kaumnya yang durhaka, karena takut Allah SWT berubah pikiran dan mengubah rencana-Nya. Runyamnya, riwayat ini mereka sandarkan kepada Imam al-Baqir:

قَالَ لَهُمْ لُوطٌ: يَا رُسُلَ رَبِّي فَمَا أَمَرَكُمْ رَبِّي فِيهِمْ؟ قَالُوا: أُمْرِنَا أَنْ نَأْخُذَهُمْ بِالسَّحَرِ, قَالَ: فَلِي إِلَيْكُمْ حَاجَةٌ, قَالُوا وَ مَا حَاجَتُكَ؟ قَالَ: تَأْخُذُونَهُمُ السَّاعَةَ, فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَبْدُوَ لِرَبِّي فِيهِمْ. فَقَالُوا: يَا لُوطُ, إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَ لَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ.

Nabi Luth berkata kepada para malaikat: “Wahai para utusan Tuhan, apa yang Tuhan  perintahkan kepada kalian mengenai umatku? Para utusan menjawab: “Kami diperintahkan untuk meyiksa mereka pada waktu tengah malam.” Nabi Luth berkata: “Aku punya keperluan pada kalian.” Para utusan berkata: “Apa keperluanmu?” Nabi Luth berkata: “Siksalah mereka saat ini juga! Karena aku takut muncul pada diri Tuhan pemikiran lain (yang belum ada sebelumnya) pada mereka.” Para utusan menjawab: “Wahai Luth! Siksa akan ditimpakan pada waktu subuh, bukankah subuh sudah hampir menjelang?”[8]

 

By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)

[1] Lihat, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1143-1147

[2] Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 327.

[3] Lihat, At-Tasyayyu’, hlm. 233.

[4] Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 327.

[5] Ushul al-Kafi, juz 1 hlm. 146.

[6] Ibid

[7] Ar-Raddu al-Kafi, hlm. 206.

[8] Al-Kafi fi al-Furu’, juz 5 hlm. 546.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}