Preloader logo

MENIMBANG DALIL “SHAUM 9 DAN 10 HARI” DZULHIJJAH (TAMAT)

II. Hadis “‘Asyr”

Selain dengan “hadis 9”, pihak penetap hukum shaum 9 hari, merujuk pula kepada hadis ‘Asyr (10 hari), yang juga lemah sebagai dalil hukum dan boleh jadi keliru pula secara pendalilannya. Hadis yang dimaksud sebagai berikut:

عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ

Dari Hafshah, ia berkata, ”Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: shaum Asyura, shaum ‘Asyr, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.” HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hiban, Ath-Thabrani, dan Abu Ya’la. [1]

Dalam riwayat An-Nasai[2] bersumber dari “sebagian istri Nabi” dengan redaksi berikut:

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ الْعَشْرَ، وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَينِ.

Penjelasan tentang kelemahan hadis di atas dan kekeliruan pendalilan pihak penetap hukum dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Kehujahan Hadis Sebagai Dalil

Hadis ‘Asyr yang bersumber dari Hafshah, meski diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, meliputi Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hiban, Ath-Thabrani, dan Abu Ya’la, namun semua jalur periwayatannya bertumpu pada Abu Ishaq Al-Asyja’I, dari Amr bin Qais, dari Al-Hurr bin Ash-Shayyah (bin Ash-Shabbah versi Abu Dawud, Ibnu Hiban, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani), dari Hunaidah bin Khalid al-Khuza’I, dari Hafshah. Jalur yang sama (dari Al-Hurr hingga Hunaidah) digunakan pula dalam periwayatan hadis ‘Asyr yang bersumber dari “sebagian istri Nabi”, tanpa disebutkan namanya.

Hadis ‘Asyr statusnya dhaif dengan dua sebab: Pertama, kekacauan (idthirab) rawi Hunaidah bin Khalid Al-Khuza’I, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya pada “kasus hadis 9”. Dalam kasus “Hadis 10”, kekacauan juga terindikasi pada sanad maupun matan. Kekacauan sanad, pada “jalur Hafshah” disebutkan bahwa Hunaidah menerima dari Hafshah, tanpa perantara. Sementara pada “jalur sebagian istri Nabi” disebutkan bahwa Hunaidah tidak menerima langsung dari Hafshah, tapi melalui perantara istrinya (عن امرأته).

Sementara kerancuan dalam matan terindikasi pada kelainan dan simpang siur teks antara satu dengan lainnya. Sebagai misal, dari sumber yang sama, yaitu Hafshah, diriwayatkan dengan redaksi berlainan, sebagai berikut: Versi Ahmad bin Hanbal[3], Ibnu Hiban[4], dan Ath-Thabrani[5] dengan redaksi:

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Versi An-Nasai[6], dengan redaksi:

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِيَامُ عَاشُورَاءَ ، وَالْعَشْرُ ، وَثَلاَثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَينِ قَبْلَ الْغَدَاةِ.

Versi Ath-Thabrani[7], dengan redaksi:

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامُ عَاشُورَاءَ، وَالْعَشْرُ، وَثَلاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Versi Abu Ya’la[8], dengan redaksi:

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَدَعَهُنَّ : صِيَامَ الْعَشْرِ وَعَاشُورَاءَ ، وَصَوْمَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Versi Ath-Thabrani[9], dengan redaksi:

أَرْبَعًا لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Sementara yang bersumber dari “sebagian istri Nabi saw.”, diriwayatkan dengan redaksi berlainan, sebagai berikut: Versi An-Nasai[10], dengan redaksi:

يَصُومُ الْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَينِ

Versi Abu Dawud[11], Ahmad bin Hanbal[12], Al-Baihaqi[13], dengan redaksi:

يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ

Versi An-Nasai[14], dengan redaksi:

يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

Versi An-Nasai[15], dengan redaksi:

يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ

Kedua, rawi Abu Ishaaq Al-Asyja’i Al-Kufiy tidak dikenal (Majhuul). Kondisi kemajhulannya diterangkan oleh Imam Al-Mizzi berikut ini:

روى عنه:أبو النضر هاشم بن القاسم (س)

“Meriwayatkan darinya Abu An-Nadhr Hasyim bin Al-Qasim. Rijal An-Nasai.”[16] Selanjutnya beliau mencantumkan contoh hadis riwayat An-Nasai tentang shaum ‘Asyr.

Selanjutnya, Imam Adz-Dzahabi menegaskan:

ما علمت أحداً روى عنه غير أبي النضر هاشم

“Saya tidak mengetahui seorang pun meriwayatkan darinya selain Abu An-Nadhar Hasyim.” [17] Selanjutnya beliau mencantumkan contoh hadis riwayat An-Nasai tentang shaum ‘Asyr.

Abu Ishaaq Al-Asyja’I, oleh Imam Adz-Dzahabi dikelompokkan pada rawi dha’if  dalam kitabnya yang lain, dan beliau menegaskan:

أبو إسحاق الأشجعي تفرد عنه أبو النضر

“Abu Ishaaq Al-Asyja’I, Abu An-Nadhar menyendiri dalam meriwayatkan darinya.” [18]

Penjelasan Imam Al-Mizzi dan Ad-Dzahabi di atas menunjukkan bahwa Abu Ishaaq Al-Asyja’I dikategorikan rawi dha’if Majhul ‘Ayn, karena hadisnya hanya diriwayatkan oleh Hasyim bin Al-Qasim. [19]

Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani mengatakan:

قلت: وهذا إسناد ضعيف. رجاله ثقات غير أبى إسحاق الأشجعى فهو مجهول

“Saya berpendapat, ‘Dan ini sanad yang dhaif, para rawinya tsiqat selain Abu Ishaaq Al-Asyja’I, maka dia majhul.” [20]

Pernyataan senada disampaikan pula oleh Syekh ‘Allamah Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri:

وَسَنُدُهُ ضَعِيْفٌ بِذِكْرِ الْعَشْرِ فَإِنَّ فِيْهِ أَبَا إِسْحَاقَ الأَشْجَعِيَّ مَجْهُوْلٌ

“Dan sanadnya dhaif dengan menyebut sepuluh hari, karena pada sanadnya terdapat Abu Ishaaq Al-Asyja’I, dia majhul.” [21]

Dengan demikian, hadis ‘Asyr yang bersumber dari Hafshah dan “sebagian istri Nabi” tidak dapat dijadikan hujjah penetapan shaum Dzulhijjah 9 hari karena statusnya dha’if.

Kedua, Formula Fiqih Pendalil

Selain berdalil dengan “hadis 10” yang lemah, pendalil juga keliru secara metode istinbath hukumnya, sebab kata ‘Asyr pada dasarnya harus dimaknai “10 hari”, bukan “9 hari”. Jika pendalil konsisten dengan formula fiqih seharusnya dari dalil itu ia menetapkan hukum “shaum Dzulhijjah sebanyak 10 hari” bukan “shaum 9 hari”. Mengalihkan “makna asal kata ‘Asyr (10)” kepada “makna 9 (tis’un)” tentu saja perlu kepada dalil atau qarinah. Begitu pula membatasi ‘Asyr dengan “9 hari pertama” Dzulhijjah.

Jika dalil pengalih makna dimaksud adalah “hadis 9” yang telah dibahas sebelumnya, maka pengalihkan makna “10 hari” dengan hadis “9 hari” lebih menunjukkan bahwa pendalil sedang terjebak “kerancuan rawi Hunaidah”, seperti yang telah diingatkan para ulama, karena dalil “9 & 10” bersumber dari orang yang sama, sementara kita tahu 10 itu bukan 9, demikian pula sebaliknya. Dengan cara pendalilan demikian itu menjadi tidak jelas mana “penjelas (Mubayyin)” dan mana “yang dijelaskan (Mubayyan)”. Apakah 10 yang menjelaskan 9 ataukah 9 yang menjelaskan 10???

Dari berbagai penjelasan di atas kiranya tidak berlebihan untuk dinyatakan bahwa  “menetapkan hukum shaum 9 hari pertama bulan Dzulhijjah” dengan dalil “hadis 10” merupakan pertimbangan yang tidak benar dan tidak tepat.

Lain soal jika pendalil dalam menetapkan pengalihan makna itu merujuk kepada “Qaala Ulama (pendapat ulama)” daripada “Qultu (Saya berpendapat), tapi nyatanya tidak dapat menunjukkan dalil atau qarinah serta tidak jelas metode istinbath hukumnya.” Dalam konteks ini, “Qaala Ulama” dapat kita diskusikan, dengan mengabaikan “Qultu.”

Bukti Kelemahan Dalil dan Pendalilan “9 & 10 Hari”

Fakta lain kelemahan hadis “Shaum 9 & 10 Hari” sebagai dalil hukum adalah menyalahi keterangan Aisyah yang menyatakan:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 hari (Dzulhijjah).” HR. Muslim.[22]

Pernyataan negasi dari Aisyah (Naafiy) tidak perlu dipertentangkan dengan hadis “Shaum 9 & 10 Hari” (Itsbaat). Karena hadis Aisyah shahih dan sharih (tegas dan jelas) menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak shaum pada 10 hari di bulan Dzulhijjah, selain shaum Asyura pada 9 Dzulhijjah. Sementara hadis “9 & 10 Hari” dhaif dan tidak sharih.

Sehubungan dengan itu, dalam mengomentari Imam Al-Baihaqi, Syekh ‘Allamah ‘Ala’uddin bin Ali bin Usman Al-Maaridiniy, atau yang lebih popular dengan sebutan Ibnu At-Turkumaniy, mengatakan:

ذكر فيه حديث هنيدة (عن امرأته عن بعض ازواجه عليه السلام كان عليه السلام يصوم تسع ذي الحجة) ثم ذكر حديث مسلم (عن عائشة ما رأيته عليه السلام صائما في العشر قط) ثم قال (المثبت مقدم على النافي) – قلت – انما يقدم على النافي إذا تساويا في الصحة وحديث هنيدة اختلف عليه في اسناده فروى عنه كما تقدم وروى عنه عن حفصة كذا اخرجه النسائي وروى عنه عن امه عن ام سلمة كذا آخرجه أبو داود والنسائي – في ابن التركماني الجوهر النقي 4: 285

“Padanya, ia (Imam Al-Baihaqi) menyebut hadis Hunaidah (dari istrinya, dari sebagian istri Nabi saw., beliau shaum tis’a Dzilhijjah), kemudian menyebutkan hadis Muslim (dari Aisyah: ‘Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 hari.’ Kemudian ia berkata (Keterangan yang menetapkan didahulukan daripada yang menegasikan). Saya berpendapat, ‘Didahulukan daripada yang menegasikan itu tiada lain apabila sama dalam kesahihan, sementara hadis Hunaidah diperselisihkan atasnya pada sanadnya. Maka diriwayatkan darinya, dari Hafshah, sebagaimana terdahulu. Diriwayatkan darinya, dari Hafsah, demikian An-Nasai meriwayatkannya. Diriwayatkan darinya, dari ibunya, dari Ummu Salamah, demikian Abu Dawud dan An-Nasai meriwayatkannya.” [23]

Dalam redaksi lain, Syekh ‘Allamah Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri mengatakan:

ومثل هذا لايقال فيه من علم حجة على من لم يعلم، اذا انها قد عاشت معه عدد سنين فلو كان هذا الصوم مشروعا لفعله ولرأته والله اعلم، وكل الاحاديث المعارضة لحديثها ضعاف فمنها المضطرب كما ترى…

“Dan yang semacam ini tidak boleh dikatakan bahwa yang tahu adalah hujah atas yang tidak tahu, karena Aisyah telah hidup bersama Nabi saw. beberapa tahun. Sekiranya shaum ini (10 hari) disyariatkan niscaya beliau melakukannya dan tentu saja Aisyah melihatnya. Wallahu A’lam. Dan semua hadis yang bertentangan dengan hadis Aisyah statusnya dha’if, maka di antaranya ada yang mudhtharib, sebagaiman telah Anda lihat…”[24]

Dari berbagai penjelasan di atas kiranya tidak berlebihan untuk dinyatakan bahwa tidak ada syariat shaum 9 hari pertama bulan Dzulhijjah, karena hadisnya dh’aif lagi tidak jelas penunjukkannya (Ghair Sharih). Sementara berdasarkan hadis shahih lagi sharih bahwa shaum Dzulhijjah yang disyariatkan hanya 1 hari tanggal 9 Dzulhijjah (Shaum ‘Arafah).

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, HR. Ahmad, al-Musnad, VI: 287, No. 26.502, an-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II: 135, No. 2724, Sunan an-Nasai, IV: 220, No. 2416, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, XIV:332, No. 6422, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, XXIII:205, No.354, XXIII:216, No.396; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, XII:477, No. 7048

[2] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:136, No. 2726; Sunan An-Nasai, IV:221, No. 2418

[3] Lihat, Musnad Ahmad, VI:287, No. 26.502.

[4] Lihat, Shahih Ibnu Hiban, XIV:333, No. 6422.

[5] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXIII:205, No. 354.

[6] Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:135, No. 2724; Sunan An-Nasai, IV:220, No. 2416.

[7] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXIII:216, No. 396.

[8] Lihat, Musnad Abu Ya’la, XII:477, No. 7048.

[9] Lihat, Al-Mu’jam Al-Awsath, VIII:20, No. 7831.

[10] Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:136, No. 2726; Sunan An-Nasai, IV:221, No. 2418.

[11] Lihat, Sunan Abu Dawud, II:325, No. 2437.

[12] Lihat, Musnad Ahmad, V:272, No. 22.388; VI:288, No. 26.511.

[13] Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV:284, No. 8176.

[14] Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:124, No. 2681; Sunan An-Nasai, IV:205, No. 2372.

[15] Lihat, As-Sunan al-Kubra, II:135, No. 2725; Sunan An-Nasai, IV:221, No. 2417.

[16] Lihat, Tahdzib Al-Kamal, 33:28

[17] Lihat, Mizan Al-I’tidal, IV:489

[18] Lihat, Al-Mughni fii Ad-Dhu’afa, II:253; Al-Muqtanaa fii Sarad Al-Kunaa, I:53

[19] Menurut para ahli hadis, ”Majhul ‘Ayn adalah seorang rawi yang tidak dinilai tsiqah (kredibel) oleh seorang pun ahli hadis, dan hadisnya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Dalam redaksi Imam Al-Khatib Al-Baghdadi: “Setiap orang yang tidak dikenal oleh para ulama dan hadisnya tidak diketahui kecuali dari arah seorang rawi.” (Lihat, Al-Manhal Ar-Rawiyy Fii Mukhtashar ‘Ulum Al-Hadits An-Nabawiy, hlm. 66)

[20] Lihat, Irwaa’ al-Ghalil, IV:111

[21] Lihat, Shahih wa Dha’if al-Maafariid, hlm. 36

[22] Lihat, Shahih Muslim, II:833, No. 1176. Lihat pula penjelasan lengkap Imam asy-Syaukani tentang masalah ini dalam ad-Darariy al-Mudhiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyyah, II:178.

[23] Lihat, Al-Jawhar An-Naqiyy ‘Alaa Sunan Al-Baihaqiy, IV:285.

[24] Lihat, Shahih wa Dha’if al-Maafariid, hlm. 35-36.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}