Preloader logo

MENIMBANG DAKWAH PERSIS JELANG 1 ABAD

Awal abad ke-21, menjelang  seabad  berdirinya organisasi Persatuan Islam (Persis), dinamika organisasi masa Islam mulai menapaki beragam persoalan yang semakin kompleks, rumit, dan berbahaya apabila tidak diantisipasi dengan berbagai aktivitas yang dapat memperkuat jati diri umat, meningkatkan ketakwaan, dan berserah diri kepada Allah Swt.

Demikian pula jam’iyyah Persis sebagai organisasi Islam yang berdiri sejak tahun 1923, memasuki milenium ketiga ini perlu mempersiapkan sumber daya da’i yang handal, komitmen berjam’iyyah yang kuat, dan aktivitas jam’iyyah yang lebih mengutamakan kemaslahatan umat. Sebab, bagaimanapun  tampilnya Persis dalam pentas sejarah Islam Indonesia sejak  awal abad 20 hingga keberadaannya sekarang ini telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme dengan faham-faham yang menyesatkan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik. Di saat yang sama umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformisme” Islam yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam.

Dinamika gerakan awal, ketika Persis berdiri di awal abad 20 menunjukkan komitmen yang tetap istiqamah pada penekanan dakwah dan pendidikan. Seiring dengan tuntutan umat dan dinamika sosial budaya yang berubah cepat, Persis mulai menyesuaikan diri seirama dengan gerak zaman, tidak dalam khittah, tetapi dalam pola dan dinamika dakwah. Landasan dan tujuan dakwah utama: mengembalikan umat kepada Al-Qur’an dan Sunnah, tetap menjadi prioritas, namun improvisasi dakwah di sana sini mulai mengadopsi dari berbagai pola dakwah organisasi masa Islam lain dengan merambah aktivitas sosial dan pelayanan kemasyarakatan.

Bagi Persis, gerakan pemurnian Islam penting didakwahkan ke tengah-tengah masyarakat, mengingat Islam itu bagaikan aliran sungai yang membentang dari hulu ke hilir. Kualitas air di hulu sungai tentu berbeda dengan air yang ada di hilir atau dimuaranya. Air sungai Cikapundung yang membelah kota Bandung, di hulunya air sungai itu sangat jernih dan bisa diminum tanpa takut penyakit. Tetapi dihilirnya, sungguh sangat bau dan sangat jelek kualitas airnya.  Demikian pula sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta, dihulunya, di Bogor, sungguh indah dipandang mata, tetapi dihilirnya di Jakarta, justru sungai itu menjadi masalah bagi warga ibukota. Selain jadi tempat pembuangan sampah, juga menjadi sumber banjir di musim hujan.

Karena itu, Islam yang diumpamakan sebagai aliran sungai itu, membutuhkan penelitian dan gerakan pemurniannya sehingga akan terlihat mana Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw dan mana ajaran-ajarannya yang dipandang palsu, bukan termasuk ajaran Islam sekalipun ada kemiripan.

Gerakan Persis yang menekuni bidang ini, tentu mendapat hambatan dan tantangan yang tidak sedikit dalam perjalanan sejarahnya. Ia berhadapan dengan faham-faham Islam lainnya, yang terkadang individu-individu yang berada dalam naungan gerakan ini tidak kuat menghadapinya, sehingga keluar dari barisan atau cukup hanya sebagai simpatisan saja, untuk tidak disebut sebagai penentang atau penonton. Karena banyak orang berpandangan bahwa berislam itu sifatnya individual, ke surga atau ke neraka, kata mereka adalah tanggungjawab pribadi bukan tanggungjawab pihak lain atau lembaga.

Di Indonesia gerakan pemurnian Islam yang didakwahkan Persatuan Islam sejak tahun 1923 hingga sekarang, dipandang oleh sebagian tokoh-tokoh muslim tanah air, yang membencinya sebagai kepanjangan gerakan Wahabi di Indonesia. Atau terpengaruh oleh ajaran Mohammad Abduh di Mesir, dan lebih jauh lagi sebagai penganut ajaran Ibnu Taymiah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Namun dalam buku ini dibuktikan sepenuhnya bahwa Persis, memandang para tokoh itu bukan sebagai panutan, apalagi sebagai penerus ajaran.

Sikap Persis terhadap tokoh madzhab sekalipun atau para pemikir Islam lainnya adalah sama, yakni selama pemikirannya bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, pemikiran mereka akan diterima. Sebaliknya, jika bertentangan dengan kedua sumber ajaran Islam ini, tentu akan ditolak.  Muhammad Ibn Abdul Wahab, yang melarang umat Islam memuja-muja kuburan para wali yang sudah wafat, diterima ajarannya oleh Persis, karena sesuai dengan ajaran tauhid Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun pemikiran Mohammad Abduh yang menggunakan hadits dha’if karena dianggap berkesesuaian dengan hasil penelitian ilmiah, maka para mubaligh Persis, lebih cenderung berkiblat kepada pemikiran muridnya, Mohammad Rasyid Ridha atau tokoh lainnya, yang berpegang kuat pada riwayat dan pada kaidah-kaidah Ilmu Hadits yang telah dirumuskan para ulama terdahulu, sehingga tafsir bi al- ra’yi tidak diterima ketimbang tafsir bi al-riwayah.

Jadi, anggapan bahwa Persis sebagai gerakan kepanjangan ajaran Wahabi atau madzhab tertentu, sama sekali tidak benar. Kalaupun ada kesamaan pada hal-hal tertentu dalam satu pandangan, hal itu tidak bisa digeneralisasi secara umum. Namun yang jelas Persis akan menerima suatu pandangan, jika hal itu rasional atau berkesesuaian dengan sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana diharuskan dipedomani oleh setiap umat Islam. Dalam buku ini terungkap secara jelas dan tegas bahwa Persatuan Islam menentang ajaran Ahmadiyah Qodian dan Syiah Imamiyah.

Buku setebal 507 halaman itu, ditulis oleh Prof.Dr. Dadan Wildan bersama dengan M. Taufik Rahman, Ph.D,  Dr. Badri Khaeruman,  dan Latif Awaludin, MA. Penulis pertama sebaga ketua Dewan Tafkir, sebuah lembaga pemikiran yang ada di Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. Persis). Sementara ketiga penulis lainnya merupakan anggota di lembaga yang sama. Semula naskah buku ini merupakan hasil penelitian masing-masing tentang Persatuan Islam, yang diambil pokok-pokok pemikirannya untuk disatukan menjadi buku ini.

Bagian pertama  buku ini tentang perjalanan sejarah Persatuan Islam,  sejak awal bedirinya hingga awal abad ke-21, ditulis oleh Prof.Dr. Dadan Wildan.

Bagian kedua, mengenai tokoh-tokoh di balik gerakan dakwah Persatuan Islam, ditulis oleh M. Taufiq Rahman, MA., Ph.D, alumni Pesantren Persis Benda Tasikmalaya  yang menyelesaikan sarjana  di IAIN Bandung; master dari Universitas Leiden, Belanda; dan doktor dari  Universiti Malaya Kualalumpur, Malaysia.

Bagian ketiga, mengenai pemikiran keagamaan Persatuan Islam, ditulis oleh Dr. Badri Khaeruman, yang diambil dari tesisnya di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati, Bandung. Badri Khaeruman ini, alumni Pesantren Persis, dan melanjutkan sarjana hingga doktor di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung.

Di bagian akhir, disajikan mengenai sikap politik Persatuan Islam, yang ditulis oleh Latief Awaludin, sebagian diangkat dari tesisnya  di Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah   Jakarta. Latief Awaludin ini juga lulusan pascasarjana Ekonomi Islam UGM Yogyakarta 2010 dan saat ini sedang menyelesaikan doktor di bidang Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung.

Keempat tema dalam buku ini, dipandang dapat menggambarkan perjalanan dakwah Persatuan Islam, yakni tentang sejarah, peran tokoh dan pemikirannya, serta sikap politiknya dalam menghadapi perubahan sosial dan politik yang mengitarinya. Hadirnya buku ini, selain untuk menepis pandangan bahwa Persatuan Islam merupakan kepanjangan dari suatu madzhab dalam Islam atau ajaran tertentu seperti di atas, juga merupakan bentuk tanggungjawab para penulisnya kepada lembaga, baik lembaga Dewan Tafkir maupun Persis tempat mereka bernaung.

Diadaptasi oleh Amin Muchtar dari resume Prof. Dr. Dadan Wildan

Editor: Latief Awaludin, sigabah.com/beta

There is 1 comment
  1. Thanks for being on point and on tatrge!

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}