Preloader logo

MENGURAI KONTROVERSI BENDERA NABI

Kegaduhan di kalangan umat pasca pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid tampaknya terus berlanjut pada kontroversi seputar eksistensi, fungsi, dan sifat fisikal bendera Nabi saw. Para pihak yang kontra dengan HTI berusaha menolak bendera (rayah dan liwa) tersebut sebagai bendera Islam, bendera Rasulullah saw. Cek di sini  dan di sini Sebaliknya, pihak yang pro berusaha mengukuhkan bahwa itu bendera Rasulullah saw. Cek di sini  dan di sini

Kedua belah pihak menguatkan argumentasi masing-masing dengan berpijak pada metodologi kritik otentisitas—atau paling tidak merujuk pada penilaian ulama pakar hadis—informasi   seputar bendera Nabi saw., meski pihak kontra melibatkan pula analisa maestro pembuat kaligrafi Arab di Indonesia dari aspek sejarah khat, untuk mendukung tesis mereka.

Di kalangan internal jam’iyyah Persis, kajian tentang bendera Nabi ini telah dilakukan oleh generasi muda Persis, jauh sebelum pembakaran bendera terjadi. Hasil kajiannya telah dipublikasi secara terbuka di media online dan telah dimuat pula dalam media offline: majalah Risalah No. 8 TH.56, November 2018, hlm. 74-81.

Setelah mencermati argumentasi berbagai pihak tampak terlihat adanya ketidaktepatan—untuk tidak menyebut kelemahan—SOP takhrij al-hadits dan metodologi al-Jarh wa at-Ta’dil yang digunakan, karena semua pihak hanya focus berkutat soal keabsahan pada satu-dua riwayat yang memperbincangkan sifat fisikal bendera, sehingga abai terhadap semua informasi bendera yang tersebar pada sekitar 250 riwayat secara kolektif, baik soal eksistensi, fungsi, maupun sifat fisikalnya, sebagai berikut:

A. Eksistensi dan Fungsi

Eksistensi dan fungsi Al-Liwaa’ dan Ar-Raayah adalah faktual (berdasarkan kenyataan; mengandung kebenaran) berdasarkan hadis shahih, antara lain riwayat Imam Al-Bukhari yang tercantum pada bab

باب مَا قِيلَ فِي لِوَاءِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab apa yang dikatakan tentang bendera Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Pada bab ini dicantumkan tiga hadis:

Pertama:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِكٍ الْقُرَظِيُّ أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ صَاحِبَ لِوَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ الْحَجَّ فَرَجَّلَ

“Said bin Abi Maryam telah bercerita kepada kami, ia berkata, ‘Al-Laits telah bercerita kepadaku, ia berkata, ‘’Uqail telah mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Sihab, ia berkata, ‘Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhiy telah mengabarkan kapadaku bahwa Qais bin Sa’ad Al-Anshariy Ra. adalah pembawa bendera Rasulullah saw, ketika ia hendak melaksanakan haji, lalu ia menyisir rambutnya.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III: 1086, No. 2811

Kedua:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَخَلَّفَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَيْبَرَ وَكَانَ بِهِ رَمَدٌ فَقَالَ أَنَا أَتَخَلَّفُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ عَلِيٌّ فَلَحِقَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ مَسَاءُ اللَّيْلَةِ الَّتِي فَتَحَهَا فِي صَبَاحِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ أَوْ قَالَ لَيَأْخُذَنَّ غَدًا رَجُلٌ يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَوْ قَالَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِذَا نَحْنُ بِعَلِيٍّ وَمَا نَرْجُوهُ فَقَالُوا هَذَا عَلِيٌّ فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Qutaibah bin Sa’ad telah bercerita kepada kami, Hatim bin Isma’il telah bercerita kepada kami, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al Akwa’ Ra., ia berkata, ‘Ali Ra. pernah tertinggal dari Nabi saw. dalam peperangan Khaibar karena dia menderita sakit mata. Ali berkata, ‘Aku tertinggal dari Rasulullah saw.’ Kemudian dia berangkat lalu bertemu dengan Nabi. Ketika malam hari yang keesokan paginya Khaibar ditaklukan, Rasulullah saw. Bersabda, ‘Sungguh pasti aku akan menyerahkan bendera perang ini.’ atau Beliau bersabda, ‘Sungguh (bendera ini) akan diambil besok pagi oleh orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.’ atau Beliau bersabda, ‘Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, di mana Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya.’ Maka ketika kami sedang bersama ‘Ali, dan kami tidak mengharapkannya, maka mereka berkata, ‘Inilah Ali.’ Maka Rasulullah saw. memberikan bendera itu kepadanya, kemudian Allah memenangkan peperangan Khaibar ini melalui tangannya’.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III: 1086, No. 2812

Ketiga:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ الْعَبَّاسَ يَقُولُ لِلْزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا هَا هُنَا أَمَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَرْكُزَ الرَّايَةَ

“Muhammad bin Al-‘Alaa’ telah bercerita kepada kami, Abu Usamah telah bercerita kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya, dari Nafi’ bin Jubair, ia berkata, ‘Aku mendengar Al-‘Abbas berkata kepada Az-Zubair Ra., ‘Disinikah Nabi saw. memerintahkan kamu untuk menancapkan bendera?’.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III: 1086, No. 2813

Penjelasan Kriteria Al-Liwaa’ dan Ar-Raayah

Pada hadis-hadis di atas terdapat dua istilah yang digunakan untuk menunjuk panji atau bendera pada masa Nabi saw., yaitu Al-Liwaa’ dan Ar-Raayah. Kriteria kedua bendera ini dijelaskan oleh para ulama, antara lain Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:

اللِّوَاءُ بِكَسْرِ اللَّامِ وَالْمَدِّ هِيَ الرَّايَةُ، وَيُسَمَّى أَيْضًا الْعَلَمَ، وَكَانَ الْأَصْل أَنْ يُمْسِكَهَا رَئِيسُ الْجَيْشِ ثُمَّ صَارَتْ تُحْمَلُ عَلَى رَأْسِهِ، وَقَالَ أَبُوْ بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيّ: اللِّوَاءُ غَيْرُ الرَّايَةِ، فَاللِّوَاءُ مَا يُعْقَدُ فِي طَرَفِ الرُّمْحِ وَيُلْوَى عَلَيْهِ، وَالرَّايَةُ مَا يُعْقَدُ فِيهِ وَيُتْرَكُ حَتَّى تَصْفِقَهُ الرِّيَاحُ. وَقِيلَ اللِّوَاءُ دُونَ الرَّايَةِ، وَقِيلَ اللِّوَاءُ الْعَلَمُ الضَّخْمُ. وَالْعَلَمُ عَلَامَةٌ لِمَحِلِّ الْأَمِيرِ يَدُورُ مَعَهُ حَيْثُ دَارَ، وَالرَّايَةُ يَتَوَلَّاهَا صَاحِبُ الْحَرْبِ

Al-Liwaa – dengan dikasrahkan huruf lam dan dipanjangkan (huruf wawu) – adalah ar-raayah, dan dinamakan juga al-‘alam. Pada asalnya al-liwaa itu dipegang oleh pemimpin pasukan kemudian menjadi dibawa di atas kepalanya. Abu Bakr bin al-‘Arabiy berkata, “al-liwaa itu bukan ar-raayah, karena al-liwaa itu adalah bendera yang diikat diujung tombak dan dinaikkan atasnya, sedangkan ar-raayah adalah bendera yang diikatkan pada tombak dan ditinggalkan (ditancapkan) hingga terkibarkan oleh angin”. Dan ada yang berpendapat, “Al-liwaa itu (ukurannya) di bawah ar-raayah.” Dan ada pula yang berpendapat, “al-liwaa itu adalah al-‘alam adl-dhakhm (bendera yang besar). Dan al-‘alam merupakan ciri tempat pemimpin pasukan yang menyesuaikan dengannya kemana pun ia bergerak. Sedangkan ar-raayah adalah bendera yang dikuasai oleh pasukan perang.”

وَقِيلَ كَانَتْ لَهُ رَايَةٌ تُسَمَّى الْعِقَابَ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً، وَرَايَةٌ تُسَمَّى الرَّايَةَ الْبَيْضَاءَ، وَرُبَّمَا جُعِلَ فِيهَا شَيْءٌ أَسْوَدُ.

Dan ada yang berpendapat, “Nabi saw. memiliki sebuah raayah (bendera) yang dinamakan al-‘iqaab berwarna hitam dan berbentuk persegi empat, dan raayah dinamakan juga ar-raayah al-baidhaa’ (bendera putih), dan terkadang dibuatkan sedikit warna hitam padanya.” [1]

Hadis-hadis tentang Al-Liwaa’ dan Ar-Rayaah di atas ditempatkan pula oleh Imam Al-Bukhari pada berbagai judul bab lain. Selain itu, ia meriwayatkan pula hadis lain tentang kedua bendera itu, antara lain:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَذْرِفَانِ ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ

Dari Anas bin Malik Ra., ia berkata, “Nabi saw. Bersabda, “Bendera perang dipegang oleh Zaid lalu dia terbunuh, kemudian dipegang oleh Ja’far lalu dia terbunuh, kemudian dipegang oleh Abdullah bin Rawahah namun diapun terbunuh, dan nampak kedua mata Rasulullah saw. berlinang. Akhirnya bendera dipegang oleh Khalid bin Al Walid tanpa menunggu perintah, maka kemenangan diraihnya”. HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I: 420, No. 1189

Penggunaan Ar-Rayah dalam konteks ini pada perang Mu’tah (Jumadil Ula tahun 8 H/630 M) dekat kampung yang bernama Mu’tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al-Karak, antara pasukan kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang melawan tentara Kekaisaran Romawi Timur.

Dalam peristiwa itu, Ar-Raayah dipegang oleh empat orang secara bergantian setelah panglima perang sebelumnya mati syahid: (1) Zaid bin Haritsah, (2) Ja’far bin Abu Thalib, (3) Abdullah bin Rawaahah, dan terakhir oleh Khalid bin Walid tanpa menunggu komando dari Nabi saw. atas dasar pertimbangan kemaslahatan dan kekhawatiran pasukan muslim akan mengalami kekalahan, sehingga inisiatif khalid diridhai oleh Nabi saw. [2]

Bendera itu dipergunakan pula dalam peperangan lain pada masa beliau dan pada masa para shahabat, antara lain:

1. waktu perang Badar pada 17 Ramadan 2 H/13 Maret 624 M, dipegang oleh Ali bin Abu Thalib (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, III: 120, No. 4583; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, VI, 207, No. 11.945; Ath-Thabrani, Al-Mujam Al-Kabir, I: 106, No. 174)

2. Waktu perang Yamamah pada 11 H/Desember 632,  dipegang oleh Zaid bin Khathab (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, III: 252, No. 5006)

3. Waktu perang Al-Qadisiyyah  pada 15 H/ 636 M,  dipegang oleh Suwaid bin Muqarrin (HR. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, VI: 551, No. 33.747)

4. Insiden Shiffin 1 Shafar tahun 37 H/ Mei-Juli 657 M antara kubu Muawiyah bin Abu Sufyan dan kubu Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam), sebagaimana dinyatakna oleh Ammar: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh, saya telah berperang dengan bendera ini bersama dengan Rasulullah saw. sebanyak tiga kali peperangan, dan ini adalah keempat kalinya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 319, No. 18.903; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, XV: 555, No. 7080; Abu Dawud Ath-Thayalisiy, Musnad Ath-Thayalisiy, I:89, No. 642. Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dengan sanad dan matan berbeda (Al-Mustadrak, III: 445, No. 5687). Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah disebutkan pemegang Ar-Rayah Ali adalah Hasyim bin Uthbah, dan Ar-Rayah itu berlatar hitam (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, VII: 546, No. 37.837)

Penjelasan Fungsi Al-Liwaa’ dan Ar-Raayah

Judul bab dan berbagai hadis yang dicantumkan oleh Imam Al-Bukhari di atas, selain menjelaskan eksistensi bendera yang tidak dapat dinihilkan, juga menunjukkan fungsi utama (mayor) dan pelengkap (minor) penggunaan bendera. Fungsi ini dijelaskan pula oleh para ulama pensyarah kitab sebagai berikut:

Pada hadis I, disebutkan pembawa Al-Liwa adalah Qais bin Sa’ad Al-Anshari. Ia sebagai komandan perang dari kaum Anshar.

Hubungan hadis dengan judul bab, dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:

قَوْلُهُ : (وَكَانَ صَاحِبَ لِوَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) أَيْ الَّذِي يُخْتَصُّ بِالْخَزْرَجِ مِنَ الْأَنْصَارِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَغَازِيْهِ يَدْفَعُ إِلَى رَأْسِ كُلِّ قَبِيلَةٍ لِوَاءً يُقَاتِلُونَ تَحْتَهُ. وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ بِإِسْنَادٍ قَوِيٍّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ “أَنَّ رَايَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُونُ مَعَ عَلِيٍّ، وَرَايَةَ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ ابْنِ عُبَادَةَ” الْحَدِيث.

“Ucapannya (Tsa’labah bin Malik), “Dan Qais bin Sa’ad adalah pembawa bendera Rasulullah saw.” Yaitu pembawa bendera yang ditentukan untuk Bani Khazraj dari kaum Anshar. Dan pada setiap perang yang dipimpin Nabi saw., beliau senantiasa memberikan sebuah bendera pada setiap pemimpin masing-masing kabilah yang mereka berperang di bawah komando (pembawa) bendera itu, dan Imam Ahmad telah meriwayatkan dengan sanad yang kuat dari hadis Ibnu ‘Abbas, “Bahwa bendera Nabi saw. berada bersama ‘Ali dan bendera kaum Anshar berada bersama Sa’ad bin ‘Ubadah” (baca hadis itu selengkapnya).

وَاقْتَصَرَ الْبُخَارِيُّ عَلَى هَذَا الْقَدْرِ مِنَ الْحَدِيثِ لِأَنَّهُ مَوْقُوفٌ وَلَيْسَ مِنْ غَرَضِهِ فِي هَذَا الْبَابِ وَإِنَّمَا أَرَادَ مِنْهُ أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ كَانَ صَاحِبَ اللِّوَاءِ النَّبَوِيِّ وَلَا يَتَقَرَّرُ فِي ذَلِكَ إِلَّا بِإِذْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهَذَا الْقَدْرُ هُوَ الْمَرْفُوعُ مِنَ الْحَدِيثِ تَامًّا وَهُوَ الَّذِي يَحْتَاجُ إِلَيْهِ هُنَا

Dan Imam al-Bukhari membatasi diri atas ukuran (kutipan kalimat) ini dari hadis itu, karena hadis itu mauquf (khabar yang bersumber dari sahabat), dan penempatan hadis itu (secara lengkap) pada bab ini bukanlah tujuan utama, namun maksud beliau tiada lain (menampilkan hubungan hadis ini dengan bab) bahwa Qais bin Sa’ad adalah pembawa bendera Nabi dan ia tidak tetap menjadi pembawa bendera kecuali dengan izin dari Nabi saw. Maka kadar ini adalah marfu’ (khabar yang bersumber dari Nabi) secara sempurna, dan kadar itu yang menjadi kebutuhan pencantumannya pada bab ini.” [3]

Pada hadis II disebutkan Nabi menyerahkan Ar-Rayah kepada Ali bin Abu Thalib pada perang Khaibar (tahun 7 H/629 M) yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. sebagai panglima militer.

Dalam riwayat lain disebutkan bendera yang diserahkan itu bukan hanya Ar-Raayah namun dengan Al-Liwaa. Ar-Raayah dan Al-Liwwa dalam perang itu dipegang oleh tiga orang secara bergantian: (1) semula oleh Abu Bakar, lalu (2) oleh Umar bin Khatab, selanjutnya (3) oleh Ali bin Abu Thalib. (HR. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, V: 179, No. 8601; Ahmad, Musnad Ahmad, V: 354, No. 23.043, Fadha’il Ash-Shahabah, II: 594, No. 1009; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Ash-Shagir, II: 65, No. 790)

Kedudukan penggunaan kedua bendera itu ditegaskan oleh Imam Ibnu Bathal:

و قَوْلُهُ: (لَأُعْطِيَّنَّ الرَّايَةَ) فَعَرَّفَهَا بِالأَلِف وَاللَّام يَدُلُّ أَنَّهَا كَانَتْ مِنْ سُنَّتِهِ صلى الله عليه وسلم فِي حُرُوْبِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَسَارَ بِسِيْرَتِهِ فِي ذلِكَ

“Dan sabdanya: ‘Sungguh pasti aku akan menyerahkan bendera…’ Maka beliau mendefinisikan Ar-Rayah dengan symbol ma’rifah (Alif lam definitif) yang menunjukkan bahwa penggunaan bendera pasukan bagian dari Sunnah Nabi dalam peperangan, maka pantas untuk diteladani siroh (tingkah laku) beliau dalam hal itu.” [4]

Adapun hubungan hadis dengan judul bab, dijelaskan oleh Imam Al-Qashthalani

وَالْغَرَضُ مِنْهُ قَوْلُهُ: “لَأُعْطِيَّنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّهُ اللهُ” فَإِنَّهُ يُشْعِرُ بِأَنَّ الرَّايَةَ لَمْ تَكُنْ خَاصَّةً بِشَخْصٍ بِعَيْنِهِ بَلْ كَانَ يُعْطِيْهَا فِي كُلِّ غَزْوَةٍ لِمَنْ يُرِيْدُ.

“Dan tujuan dari pencantuman hadis itu adalah sabda Nabi: ‘Sungguh pasti aku akan menyerahkan bendera itu besok pada orang yang dicintai oleh Allah” karena kalimat itu memberitahukan, bahwa bendera tidak dikhususkan bagi individu tertentu namun beliau akan memberikannya pada orang yang beliau kehendaki di setiap peperangan.” [5]

Pada hadis III, disebutkan lokasi ditancapkan Ar-Rayah sebagaimana diperintahkan oleh Nabi. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari lainnya disebutkan bahwa Nabi saw. memberi intruksi agar bendera kaum muslimin ditancapkan di Hajun, sebuah tempat yang dekat dengan pekuburan Mekah (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I: 1559, No. 4030, pada bab

أَيْنَ رَكَزَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- الرَّايَةَ يَوْمَ الْفَتْحِ؟

“di mana tempat pengibaran bendera saat penaklukan kota Mekah”?

Penggunaan Ar-Rayah dalam konteks ini terjadi pada perang Futuh Mekah (tahun 8 H/630 M), dengan panglima perang Sa’ad bin Ubadah.

Adapun hubungan hadis ini dengan judul bab dijelaskan oleh Imam Al-Qasthalani sebagai berikut:

الْحَدِيْثُ يَأْتِيْ مُطَوَّلاً فِي غَزْوَةِ الْفَتْحِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مَعَ مَبَاحِثِهِ وَفِيْهِ أَنَّ الرَّايَةَ لَا تُرْكَزُ إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ لِأَنَّهَا عَلَامَةٌ عَلَيْهِ وَعَلَى مَكَانِهِ فَلَا يَنْبَغِيْ أَنْ يُتَصَرَّفَ فِيْهَا إِلَّا بِأَمْرِهِ.

“Hadis ini akan ditampilkan mendatang secara panjang lebar dalam bab perang Futuh Mekah, In Syaa Allah, disertai berbagai pembahasannya. Dan pada hadis ini terdapat petunjuk bahwa bendera itu tidak boleh ditancapkan (di suatu tempat) kecuali atas izin pemimpin karena bendera itu merupakan ciri kedudukan dan tempat keberadaannya, maka tidak layak dipindahkan kecuali atas perintah pemimpin.” [6]

Fungsi penggunaan bendera berwarna hitam (Ar-Raayah) dan putih (Al-Liwaa), dijelaskan oleh Imam As-Sarkhasiy (w. 483 H) sebagai berikut:

وَاخْتَلَفَتِ الرِّوَايَاتُ فِي أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَتَى اتَّخَذَ الرَّايَاتِ فَذَكَرَ الزُّهْرِيُّ قَالَ : مَا كَانَتْ رَايَةٌ قَطُّ حَتَّى كَانَتْ يَوْمَ خَيْبَرَ إِنَّمَا كَانَتِ الْأَلْوِيَةَ وَذَكَرَ غَيْرُهُ أَنَّ رَايَةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ بَدْرٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ فَفِيْ هَذَا بَيَانٌ أَنَّ الرَّايَةَ كَانَتْ قَبْلَ خَيْبَرَ

“Terdapat perbedaan riwayat tentang kapan Nabi saw. mulai menetapkan berbagai bendera itu? Maka Az-Zuhri menerangkan, ia berkata, ‘Semula tidak terdapat Rayah sama sekali hingga bendera itu ada pada perang Khaibar, tiada lain bendera itu Al-Liwaa. Yang lainnya menerangkan bahwa Rayah Rasulullah saw. terdapat pada perang Badar berwarna hitam. Maka dalam hal ini terdapat keterangan bahwa Ar-Rayah itu sudah ada sebelum perang Khaibar.

وَإِنَّمَا اسْتُحِبَّ فِي الرَّايَاتِ السُّوْدُ لِأَنَّهُ عَلَمٌ لِأَصْحَابِ الْقِتَالِ وَكُلُّ قَوْمٍ يُقَاتِلُوْنَ عِنْدَ رَايَتِهِمْ وَإِذَا تَفَرَّقُوْا فِي حَالِ الْقِتَالِ يَتَمَكَّنُوْنَ مِنَ الرُّجُوْعِ إِلَى رَايَتِهِمْ وَالسَّوَادُ فِي ضَوْءِ النَّهَارِ أَبْيَنُ وَأَشْهَرُ مِنْ غَيْرِهِ خُصُوْصًا فِيْ الْغُبَارِ فَلِهَذَا اسْتُحِبَّ ذَلِكَ فَأَمَّا مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ فَلَا بَأْسَ بِأَنْ تُجْعَلَ الرَّايَاتُ بَيْضًا أَوْ صَفْرًا أَوْ حَمْرًا وَإِنَّمَا يُخْتَارُ الْأَبْيَضُ فِي اللِّوَاءِ لِقَوْلِهِ عليه السلام : “إِنَّ أَحَبَّ الثِّيَابِ عِنْدَ اللهِ تعالى الْبَيْضُ فَلْيَلْبَسْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ “

Disenangi bendera hitam tiada lain karena sebagai ciri untuk para pemimpin perang, dan setiap kaum berperang di bawah panji mereka. Maka apabila mereka berpencar ketika perang mereka punya pengaruh/memungkinkan untuk kembali kepada Rayah mereka, dan warna hitam pada cahaya siang lebih jelas dan lebih popular dibanding warna lain terkhusus dalam kedaan bersalut debu, karena itulah disenangi warna hitam. Sementara dari aspek syariat maka tidak apa-apa digunakan bendera berwarna putih, kuning atau merah. Adapun dipilih warna putih dalam Al-Liwaa berdasarkan sabdanya: ‘Sesungguhnya baju yang paling disukai Allah berwarna putih, maka hendaklah orang yang hidup di antara kamu menggunakannya dan kafani orang yang mati di antara kamu pada baju putih itu.’

وَاللِّوَاءُ لَا يَكُوْنُ إِلَّا وَاحِدٌ فِيْ كُلِّ جَيْشٍ وَرُجُوْعِهِمْ إِلَيْهِ عِنْدَ حَاجَتِهِمْ إِلَى رَفْعِ أُمُوْرِهِمْ إِلَى السُّلْطَانِ فَيُخْتَارُ الْأَبْيَضُ لِذَلِكَ لِيَكُوْنَ مُمَيَّزًا مِنَ الرَّايَاتِ السُّوْدِ الَّتِيْ هِيَ لِلْقُوَّادِ

Al-Liwa hanya satu pada setiap pasukan dan menjadikan rujukan ketika mereka membutuhkan pengajuan urusan mereka kepada sulthan, maka dipilih warna putih untuk keperluan itu agar dibedakan dari berbagai bendera warna hitam untuk para komandan pasukan.” [7]

Fungsi bendera sebagai symbol kedudukan dan tanda posisi seorang pemimpin perang disebutkan pula oleh para ulama lainnya, misalnya Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) menjelaskan

وَالْمُرَادُ بِهِ شُهْرَةُ مَكَانِ الرَّئِيْسِ وَعَلَامَةُ مَوْضِعِهِ

“Dan yang dimaksud dengan liwa adalah popularitas kedudukan pemimpin perang dan tanda tempat keberadaannya.” [8]

Dari berbagai hadis dan penjelasan para ulama tersebut ada sementara pihak berpendapat bahwa rayah identik dengan perang, yaitu digunakan untuk menakuti lawan dan sebagai membedakan pasukan dan lawan, sehingga menggunakannya di negara yang sedang damai, misalnya di Indonesia, adalah perbuatan yang kurang tepat. Bahkan, seorang Prof. dalam tulisannya mengatakan jika hal tersebut terjadi maka hal tersebut merupakan bagian dari makar. Pasalnya, jika pengibaran bendera merupakan klaim eksitensi sebuah negara, maka bagaimana bisa ada negara di dalam negara.

Tanggapan

Berbagai hadis dan penjelasan para ulama di atas menunjukkan nilai fungsional Ar-Rayah dan Al-Liwa bukan semata-mata symbol kedudukan dan tanda posisi pemimpin perang, apalagi hanya berfungsi untuk menakuti lawan dan sebagai pembeda pasukan dan lawan, melainkan sebagai symbol kedaulatan dan identitas serta jati diri umat Islam. Petunjuk nilai fungsional ini dapat terbaca secara jelas antara lain dalam peristiwa perang Mu’tah (Jumadil Ula tahun 8 H/630 M), di mana Ar-Raayah dipegang oleh empat orang secara bergantian setelah pemimpin perang sebelumnya mati syahid. Padahal, 3 pemimpin perang sebelumnya:  (1) Zaid bin Haritsah, (2) Ja’far bin Abu Thalib, (3) Abdullah bin Rawaahah, telah mendapatkan semacam SK (surat keputusan) Nabi sebagai pemegang bendera, sementara orang terakhir, Khalid bin Walid, mengambil alih bendera tanpa menunggu komando dari Nabi saw. atas dasar pertimbangan kemaslahatan, yaitu “mental” pasukan tidak turun sehingga soliditas pasukan tetap terjaga, dan di mata musuh terlihat bahwa kaum muslimin masih berdaulat.

Selain dengan panji dan bendera, Nabi saw. juga membuat semboyan agar dikenal oleh para sahabatnya ketika perang berkecamuk. Sehubungan dengan itu, Al-Hafizh Ibnul Qayyim menjelaskan:

وَكَانَ النّاسُ إذَا اشْتَدّ الْحَرْبُ اتّقَوْا بِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَكَانَ أَقْرَبَهُمْ إلَى الْعَدُوّ . وَكَانَ يَجْعَلُ لِأَصْحَابِهِ شِعَارًا فِي الْحَرْبِ يُعْرَفُونَ بِهِ إذَا تَكَلّمُوا وَكَانَ شِعَارُهُمْ مَرّةً أَمِتْ أَمِتْ وَمَرّةً يَا مَنْصُورُ وَمَرّةً حم لَا يُنْصَرُون.

“Ketika perang berkecamuk orang-orang merasa khawatir akan keselamatan diri Nabi saw. dan beliau di antara orang yang paling dekat dengan musuh, dan beliau membuat semboyan untuk para sahabatnya agar dikenal oleh mereka apabila berbicara di waktu perang, dan semboyan mereka pada suatu kesempatan adalah ‘Amit Amit’, pada kesempatan lain, ‘Yaa Manshur’, pada kesempatan lain ‘Haamim Laa Yunsharun’.” [9]

Selain digunakan dalam perang, Ar-Rayah digunakan pula dalam menegakan hokum had perzinahan, sebagaimana dalam riwayat berikut:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ – رواه النسائي

Dari Al Barra, ia berkata, “Saya berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya bertanya, ‘Engkau hendak pergi kemana? Ia menjawab, ‘Rasulullah saw. mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah kematiannya, agar saya penggal lehernya atau saya membunuhnya.” HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, VI: 109, No. 3331, Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 290, 15.580. Redaksi di atas riwayat An-Nasai

Sehubungan dengan itu, Imam Ath-Thahawi menyatakan:

وَفِي ذَلِكَ الْحَدِيْثِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَقَدَ لِأَبِيْ بُرْدَةَ الرَّايَةَ وَلَمْ تَكُنِ الرَّايَاتُ تُعْقَدُ إِلَّا لِمَنْ أُمِرَ بِالْمُحَارَبَةِ وَالْمَبْعُوْثِ عَلَى إِقَامَةِ حَدِّ الزِّنَا غَيْرِ مَأْمُوْرٍ بِالْمُحَارَبَةِ

“Dan pada hadis itu terdapat petunjuk bahwa Rasulullah saw. mengikatkan ar-Rayah untuk Abu Burdah, dan tidak ada rayah yang diikatkan kecuali bagi orang yang diperintah perang dan diutus untuk menegakkan had zina tanpa diperintah perang.” [10]

Ikhtilaf Sifat Fisik Bendera Nabi saw. dan Para Shahabat

Banyak riwayat menyebutkan beragam warna latar bendera Nabi dan kaum muslimin: Hitam, putih, kuning, dan merah. Riwayat yang popular menyebutkan Al-Liwaa’ berlatar putih dan Ar-Raayah berlatar hitam, dengan lafal tauhid: Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah. Namun kedudukan riwayat itu diikhtilafkan dari segi kesahihan dan kedaifannya, sebagai berikut:

Pertama, tentang warna

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَةْ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih.” HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah

Sebagian peneliti hadis menilai hadis ini dhaif dengan sebab kedaifan dua rawi: (1) Yazid bin Hayyan, dinilai munkar, (2) Hayyan atau Hibban bin Ubaidillah, terdapat idhtirab (kerancuan) baik dari segi sanad maupun matan.

Warna Ar-Rayah dan Al-Liwa diriwayatkan pula dari Jabir bin Abdullah

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ

Dari Jabir, bahwa Nabi saw. masuk ke Makkah (Fathu Makkah) dengan membawa bendera warna putih.” HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai

Sebagian peneliti hadis menilai hadis ini dhaif dengan sebab kedaifan rawi Syarik. (1) hadis ini diriwayatkan oleh Syarik setelah berubah hapalannya (mukhtalith). Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yahya bin Adam. (2) terdapat idhtirab (kerancuan) dan mukhaalafah (pertentangan) dengan para rawi lain yang sama-sama menerima dari Syarik.

Kedua, tentang Lafal Tauhid: Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih yang bertuliskan di atasnya Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.” HR. Ath-Thabrani

Sebagian peneliti hadis menilai hadis ini dhaif dengan sebab kedaifan dua rawi: (1) Hayyan bin Ubaidillah, sebagaimana dijelaskan di atas, (2) Ahmad bin Risydin, ia rawi muttaham bi al-kidzb (tertuduh dusta).

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Abu As-Syaikh dengan redaksi berikut:

عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ، قال:  كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوْبٌ فِيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih yang bertuliskan padanya Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.”

Sebagian peneliti hadis menilai hadis ini dhaif dengan sebab kedaifan rawi Muhammad bin Abu Humaid, ia rawi munkar al-Hadits.

Penjelasan lebih lengkap pihak yang mendaifkan hadis Ar-Rayah dan Al-Liwaa’ dapat dibaca di sini

Tanggapan

Menegasikan eksistensi warna bendera Nabi dengan sebab penilaian daif hanya pada perawi satuan hadis tertentu—seperti tiga hadis di atas—tanpa memperhatikan semua isnad dan kandungan riwayat (marwi) secara kolektif dapat dianggap sebagai sikap tidak bijaksana. Pasalnya, banyak hadis lain yang menunjukkan eksistensi yang tampaknya luput dari perhatian pihak yang mendaifkan. Namun sebelum menampilkan hadis-hadis lain sebagai penguat (syahid), perlu disampaikan pula beberapa catatan akan kelemahan standar dan metodologi al-Jarh wa at-Ta’dil yang digunakan pihak pendaif terhadap tiga hadis di atas, sebagai berikut:

Pertama, hadis tentang warna bendera

A. Hadis Ibnu Abbas

Paling tidak terdapat dua ulama ahli hadis, yaitu Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani[11], yang menilai hadis ini hasan, yaitu meski derajatnya di bawah hadis shahih namun dapat dipakai hujjah.

Imam At-Tirmidzi berkata:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ

“Hadis ini derajatnya hasan gharib melalui jalur ini, dari Ibnu Abbas.” (Lihat, Sunan At-Tirmidzi, IV: 198, No. 1681)

Ungkapan “hasan gharib” menunjukkan bahwa hadis ini hasan lidzatihi[12] menurut Imam At-Tirmidzi. [13]

Adapun tentang salah seorang perawinya bernama Yazid bin Hayyan, maka ia tidak tepat jika dinilai memiliki cacat yang sangat berat hanya karena Imam Al-Bukhari menilainya ‘Indahu Ghalath Katsir, atau penilaian Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Shaduq Yukhti’u”. Pasalnya, selain ia dinilai positif oleh Yahya bin Ma’ain dengan ungkapan Laisa bihi ba’ts (bermakna tsiqah[14]), penilaian Ibnu Hajar dengan kalimat itu bukan sebagai celaan (tajriih) melainkan sebagai pujian (ta’dil) di martabat V, yaitu rawi yang layak mendapatkan penguat sehingga hadisnya berpeluang naik derajat. Martabat kalimat demikian itu sederajat dengan ungkapan Shaduq Sayyi al-Hifzh, Shaduq lahu Awham, shaduq tagayyar bi Aakhirah. [15]

Begitu pula dengan Hayyan bin Ubaidillah, semata-mata terdapat idhtirab (kerancuan) pada sanad maupun matannya, tidak serta merta tertolak hadis yang diriwayatkannya (Marwi), karena cacat semacam ini tidak menutup peluang dirinya mendapatkan penguat sehingga hadisnya berpotensi naik derajat pada level dipakai hujjah. [16]

Sehubungan dengan rawi yang dinilai semacam itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan:

وَقَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ عِنْدَهُمْ ضَعِيفًا لِكَثْرَةِ الْغَلَطِ فِي حَدِيثِهِ وَيَكُونُ حَدِيثُهُ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الصِّحَّةُ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ بِهِ وَالِاعْتِضَادِ بِهِ؛ فَإِنَّ تَعَدُّدَ الطُّرُقِ وَكَثْرَتَهَا يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا حَتَّى قَدْ يَحْصُلُ الْعِلْمُ بِهَا …

“Terkadang seseorang keadaannya dhaif menurut mereka karena banyak keliru pada hadisnya, dan hadis dia pada umumnya shahih karena teranggap dan tertolong, maka berbilang dan banyak jalan satu sama lain saling menguatkan sehingga diperoleh ilmu dengannya…”[17]

B. Hadis Jabir

Paling tidak terdapat dua ulama ahli hadis, yaitu Syekh Al-Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth, yang menilai hadis ini dapat dipakai hujah, meski Syekh Al-Albani menilainya shahih dan Syekh Al-Arnauth menilainya hasan lighairihi. [18] Syekh Al-Albani berkata:

قُلْتُ: حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَان وَالْحَاكِمُ

“Saya berpendapat: ‘Hadis shahih, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hiban dan Al-Hakim’.”[19]

Sementara Syekh Al-Arnauth menyatakan:

حَدِيْثٌ حَسَنٌ بِشَاهِدَيْهِ

“Hadis hasan karena kedua syahidnya.”[20]

C. Periwayatan Shahabat Lain (Syahid)

Hadis Ibnu Abbas dan Jabir dapat digunakan sebagai hujjah, karena “naik kelas” ke level hasan lighairi disebabkan terdapat beberapa syahid (penguat) sebagai berikut:

Pertama, Anas bin Malik riwayat Imam An-Nasai, sebagaimana dinyatakan Syekh Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Aabadiy:

وَأَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ أَبِيْ مِجْلَزٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ وَفِي إِسْنَادِهِ يَزِيدُ بْنُ حِبَّانَ أَخُو مُقَاتِلِ بْنِ حِبَّانَ قَالَ الْبُخَارِيُّ عِنْدَهُ غَلَطٌ كَثِيرٌ وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ هَذَا الْحَدِيثَ فِي تَارِيخِهِ الْكَبِيرِ مِنْ رِوَايَةِ يَزِيدَ هَذَا مُخْتَصِرًا عَلَى الرَّايَةِ وَأَخْرَجَ النَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيثِ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ بْنَ مَكْتُومٍ كَانَتْ مَعَهُ رَايَةٌ سَوْدَاءُ فِي بَعْضِ مَشَاهِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ

“Hadisnya diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadis Abu Mijlaz, dari Ibnu Abas, ia berkata, ‘Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih’ dan padanya terdapat rawi Yazid bin Hibban, saudaranya Muqatil bin Hibban. Al-Bukhari berkata, ‘Ia punya kesalahan yang banyak’ dan Al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir dari riwayat Yazid ini secara ringkas pada Ar-Raayah, dan An-Nasai meriwayatkan dari hadis Qatadah, dari Anas bahwa Ibnu Ummi Maktum membawa bendera hitam pada sebagian perang yang disertai Nabi saw, dan hadis itu hasan.” [21]

Hadis Anas diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Musnad Ahmad, III: 132, No. 12.366, Ibnul Jarud, Al-Muntaqa, I: 86, No. 310, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, V: 422, No. 3110, V: 431, No. 3123, V: 438, No. 3138, Ibnu Amr Asy-Syaibani, Al-Aahaad wa Al-Matsaaniy, II: 121, No. 826 dan 827, II: 122, No. 831.

Status hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Beliau berkata:

إِسْنَادُهُ حَسَنٌ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ غَيْرَ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ

“Sanadnya hasan, para rawinya rawi Al-Bukhari-Muslim selain ‘Imran Al-Qathan.” [22]

Bahkan, Al-Hafizh Ibnu Al-Qathan Al-Fasiy (w. 628 H) menilai hadis ini shahih. Ia berkata:

ونقول الْآن : إِن هُنَاكَ إِسْنَادًا صَحِيحا بِهَذَا الْمَعْنى . قَالَ النَّسَائِيّ : أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ وَهُوَ ثِقَة حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَن قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ، كَانَتْ مَعَهُ رَايَةٌ سَوْدَاءُ فِي بَعْضِ مَشَاهِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم  [فَهَذِهِ بِلَا شكّ من رايات رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ]

“Sekarang kami akan mengatakan bahwa di sana terdapat sanad yang shahih dengan makna ini. An-Nasai berkata, ‘Ahmad bin Sulaiman—dan ia tsiqah—telah mengabarkan kepada kami, Affan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Yazid bin Zura’I telah menceritakan kepada kami, Sa’id telah menceritakan kepada kami, dari Qotadah, dari Anas bahwa Ibnu Ummi Maktum membawa bendera hitam pada sebagian perang yang disertai Nabi saw.’ Maka ini tidak diragukan lagi di antara Rayah Rasulullah saw.” [23]

Kedua, Al-Barra` bin ‘Azib

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللهِ مَا كَانَتْ ؟ قَالَ : كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ

Dari Al-Barra` bin ‘Azib bahwa ia ditanya mengenai bendera Rasulullah. Kemudian ia berkata, “Bendera beliau berwarna hitam persegi empat terbuat dari namirah.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV: 297, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III: 32, No. 2591, dan At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, IV: 196, No. 1680

Sehubungan dengan hadis di atas, Imam At-Tirmidzi berkomentar:

وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَالْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ ابْنِ أَبِي زَائِدَةَ وَأَبُو يَعْقُوبَ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَرَوَى عَنْهُ أَيْضًا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى

“Dalam bab ini juga terdapat hadis dari Ali, dari Al Harits bin Hassan dan Ibnu Abbas.” Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata, “Hadits ini derajatnya hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis Ibnu Abu Zaidah, dan Abu Ya’qub Ats Tsaqafi namanya adalah Ishaq bin Ibrahim. Ubaidullah bin Musa juga telah meriwayatkan darinya.” [24]

Kedudukan hadis itu ditegaskan pula oleh Imam Al-Munawi:

نَعَمْ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ فِي الْعِلَلِ عَنِ الْبَرَاءِ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرَ بِلَفْظِ : كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةَ، ثُمَّ قَالَ سَأَلْتُ عَنْهُ مُحَمَّدًا يَعْنِي الْبُخَارِيَّ فَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ اه‍ . وَرَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ بِاللَّفْظِ الْمَذْكُوْرِ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَزَادَ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

“benar, hadis itu diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitabnya Al-‘Ilal dari Al-Barra` melalui jalur lain, dengan redaksi: “Bendera beliau berwarna hitam persegi panjang terbuat dari namirah.” Kemudian ia bertanya kepada Muhammad, yakni Al-Bukhari tentang kedudukan hadis itu, maka ia (Imam Al-Bukhari) menjawab, “Hadisnya Hasan.” Dan diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dengan redaksi tersebut dari jalur ini dan terdapat tambahan redaksi: “Tertulis padanya (kalimat): ‘Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.” [25]

Selain soal warna hitam, keterangan Al-Bara bin ‘Azib ini menjelaskan pula soal format ukuran dan jenis kain Ar-Rayah, yaitu persegi empat dan berbahan Namirah.

Syekh Abdul Muhsin ‘Abbad menjelaskan:

وَالنَّمِرَةُ: هِيَ الثِّيَابُ الْمُخَطَّطَةُ الَّتِيْ فِيْهَا سَوَادٌ وَبَيَاضٌ، وَقِيْلَ لَهَا: سَوْدَاءُ لِأَنَّهَا تُرَى مِنْ بَعِيْدٍ، فَفِيْهَا خُطُوْطٌ، لَكِنَّهَا تُرَى مِنْ بَعِيْدٍ سَوْدَاءَ، فَذِكْرُ النَّمِرَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ سَوْدَاءَ خَالِصَةً، وَلَكِنَّهَا يَغْلِبُ عَلَيْهَا السَّوَادُ، وَكَذَلِكَ تُرَى مِنْ بَعِيْدٍ. فَهَذَا فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ رَايَةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَتْ سَوْدَاءَ، وَقَالَ هُنَا: إِنَّهَا مُرَبَّعَةٌ، وَمَعْنَاهُ: أَنَّهَا مُتَسَاوِيَةُ الْأَضْلَاعِ، يَعْنِيْ أَنَّ طُوْلَهَا وَعَرْضَهَا سَوَاءٌ، وَالْأَلْبَانِيُّ حَسَنُ الْحَدِيْثِ بِدُوْنِ ذِكْرِ كَوْنِهَا مُرَبَّعَةً

“Namirah adalah kain yang bergaris hitam dan putih, dan disebut Sawdaa’ (hitam pekat) karena dilihat dari kejauhan, padahal terdapat garis-garis namun dilihat dari kejauhan tampak hitam pekat. Maka penyebutan namiran menunjukkan bahwa bendera itu tidak hitam murni, namun didominasi oleh warna hitam dan begitu pula dilihat dari kejauhan. Maka ini menunjukkan bahwa bendera Rasullah saw. hitam pekat. Dan ia berkata di sini: ‘Bahwa bendera itu persegi empat, artinya Panjang dan lebarnya sama. Dan Al-Albaniy menilai hadis itu hasan tanpa menyebut ukuran persegi empat.” [26]

Ketiga, Al-Harits bin Hassan Al-Bakriy

وَعَنْ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانٍ الْبَكْرِيِّ قَالَ : قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلَالٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ

Dari Al-Harits bin Hassan Al-Bakri, ia berkata, “Kami datang ke Madinah, ketika itu ternyata Rasulullah saw. sedang di atas Mimbar dan Bilal berdiri di depan beliau dengan membawa pedang. Lalu datanglah bendera-bendera hitam, dan saya bertanya, ‘Apakah bendera-bendera hitam ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Itu adalah Amr bin Al-‘Ash yang datang dari perang’.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, III: 481, No. 15.994, III: 482, No. 15.995; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II: 941, No. 2816; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, V: 181, No. 860; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, V: 392, No. 3274, dengan sedikit perbedaan redaksi, dan redaksi di atas riwayat Ahmad.

Hadis ini dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth. Ia berkata:

إسناده حسن من أجل سلام أبي المنذر – وهو ابن سليمان النحوي القاريء – وعاصم بن أبي النجود وبقية رجاله ثقات رجال الشيخين

“Sanadnya hasan karena Salaam Abu Al-Mundzir, dia Ibnu Sulaiman An-Nahwiy Al-Qariy, dan Ashim bin Abu An-Najud, dan para rawi lainnya tsiqah, para rawi Al-Bukhari dan Muslim.” [27]

Al-Hafizh Ibnu Al-Qathan Al-Fasiy, setelah mengemukkan hadis Anas, ia mencantumkan hadis Al-Harits riwayat An-Nasai di atas. Selanjutnya, ia menyampaikan penilaian:

سَلَامٌ أَبُو الْمُنْذِرِ صَدُوقٌ صَالِحُ الْحَدِيْثِ، قَالَهُ أَبُوْ حَاتِمٍ، وَقَولُ ابْنِ مَعِينٍ: فِيهِ لَا شَيْءٌ، هُوَ لَفْظٌ يَقُوْلُ لِمَنْ يَقِلُّ حَدِيْثُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَأْسٌ.

“Salaam Abu Al-Mundzir Shaduq Shalih Al-Hadits, sebagaimana dinyatakan Abu Hatim, dan perkataan Ibnu Ma’in, ‘Fiihi Laa Sya’I adalah lafal yang diucapkannya untuk orang yang sedikit hadisnya, meskipun tidak keberatan untuknya.” [28]

Keempat, Abu Huraerah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قِطْعَةً قَطِيْفَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ لِعَائِشَةَ وَكَانَ لِوَاؤُهُ أَبْيَضَ، وَكَانَ يَحْمِلُهَا سَعْدُ بْنِ عُبَادَةَ ثُمَّ يَرْكُزُهَا فِي الْأَنْصَارِ فِي بَنِيْ عَبْدِ الْأَشْهَلِ وَهِيَ الرَّايَةُ الَّتِيْ دَخَلَ بِهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيْدِ ثَنِيَّةَ دِمَشْقَ وَكَانَ اسْمُ الرَّايَةِ الْعِقَابَ فَسُمِّيَتْ ثَنِيَّةَ الْعِقَابِ

“Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Rayah Nabi saw. adalah potongan dari kain kapas seperti beludru berwarna warna hitam milik Aisyah dan Liwaa beliau berwarna putih, yang dibawa oleh Sa’ad bin Ubadah, lalu ditancapkannya di Kalangan Anshar pada Bani Abdul Asyhal, yaitu Ar-Rayah yang dibawa oleh Khalid bin Walid ketika memasuki bukit Damaskus, dan nama Rayah itu Al-‘Iqab maka bukit itu dinamai bukit ‘Iqab.” HR. Ibnu ‘Addiy, Al-Kamil fii Dhu’afa Ar-Rijaal, III: 457, Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyqa, XXX: 216)

Warna hitam dan penamaan bendera itu dengan ‘Iqab dikukuhkan oleh Al-Hasan Al-Bishri (masa hidup 21-110 H/642-728 M), seorang Tabi’in yang hidup sezaman dengan para shahabat. Ia berkata:

كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعِقَابَ

raayah (bendera) Nabi saw. berwarna hitam dan dinamakan al-‘Iqaab.” HR. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, VI: 533

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan berbagai pendapat tentang penamaan bendera itu, sebagai berikut:

وَقِيلَ كَانَتْ لَهُ رَايَةٌ تُسَمَّى الْعِقَابَ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً، وَرَايَةٌ تُسَمَّى الرَّايَةَ الْبَيْضَاءَ، وَرُبَّمَا جُعِلَ فِيهَا شَيْءٌ أَسْوَدٌ.

“Dan ada yang berpendapat, ‘Nabi saw. Memiliki sebuah raayah (bendera) yang dinamakan al-‘iqaab berwarna hitam dan berbentuk persegi empat. Dan raayah dinamakan juga ar-raayah al-baidhaa (bendera putih), dan terkadang ditempatkan juga sedikit warna hitam padanya.” [29]

D. Riwayat Bendera berwarna merah dan Kuning

Selain berwarna hitam dan putih, terdapat sejumlah riwayat yang menjelaskan warna merah dan kuning sebagai berikut:

Bendera berwarna merah diriwayatkan dari Kurz bin Saamah sebagai berikut:

عَنْ كُرْزِ بْنِ سَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ

“Dari Kurz bin Saamah bahwa Nabi saw. mengikatkan bendera berwarna merah untuk Bani Sulaim.” HR. Abu Nu’aim, Ma’rifah Ash-Shahabah, V: 2411, Ahmad bin Amr Asy-Syaibahni, Al-Aahaad wa Al-Matsaaniy, III: 125, No. 1447

Adapun berwarna kunig diriwayatkan dari Mazidah Al-‘Abdiy sebagai berikut:

عَنْ هُودٍ الْعَصَرِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ جَدِّي مَزِيدَةَ الْعَبْدِيَّ، يَقُولُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،عَقَدَ رَايَاتِ الأَنْصَارِ فَجَعَلَهُنَّ صُفَرًا

“Dari Hud Al-Ashriy, ia berkata, ‘Saya mendengar kakek saya Mazidah Al-‘Abdiy berkata, ‘Sesungguhnya  Nabi saw. mengikatkan bendera-bendera kaum Anshar, maka beliau membuatnya berwarna merah.” HR. Abu Nu’aim, Ma’rifah Ash-Shahabah, 24: 29, Abdul Baqi bin Qani’, Mu’jam Ash-Shahabah, III: 86, No. 1047, Abu Ishaq Al-Harabiy, Gharib Al-Hadits, II: 425, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XX: 347, No. 814

Mengomentari riwayat Ath-Thabrani, Imam Al-Haitsami berkata:

وَفِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ اللَّيْثِ الْهَدَادِيُّ وَلَمْ أَعْرِفْهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ

“Dan padanya terdapat rawi Muhammad bin Al-Laits Al-Hadadiy, dan aku tidak mengenalnya, dan para rawi lainnya tsiqah.” [30]

Namun dalam riwayat lain, hadis itu tidak diriwayatkan melalui rawi bernama Muhammad bin Al-Laits.

Berkenaan dengan berbagai riwayat perbedaan warna latar bendera Nabi saw., Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan solusi kompromi (Thariqah al-Jam’i) sebagai berikut:

وَجَنَحَ التِّرْمِذِيُّ إِلَى التَّفْرِقَةِ فَتَرْجَمَ بِالْأَلْوِيَةِ وَأَوْرَدَ حَدِيثَ جَابِرٍ “أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ”

Imam at-Tirmidizi cenderung membedakan liwaa dan raayah. Maka ia membuat judul bab Alwiyah dan mengemukakan hadis Jabir, “Bahwa Rasulullah saw. masuk Mekah dan liwaa-nya (benderanya) itu berwarna putih.”

ثُمَّ تَرْجَمَ لِلرَّايَاتِ وَأَوْرَدَ حَدِيثَ الْبَرَاءِ “أَنَّ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةَ”

Kemudian ia membuat judul bab untuk ar-raayaat dan mengemukakan hadis al-Baraa, “Bahwa raayah (bendera) Rasulullah saw. Itu berwarna hitam berbentuk persegi empat dari Namirah.”

وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ “كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ” أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، وَأَخْرَجَ الْحَدِيثَ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ أَيْضًا، وَمِثْلُهُ لِابْنِ عَدِيٍّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلِأَبِي يَعْلَى مِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ،

Dan hadis Ibnu ‘Abbas, “Raayah-nya berwarna hitam dan liwaa-nya berwarna putih” diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dan hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dan an-Nasai, dan yang seperti ini pula dalam riwayat Ibnu ‘Adiy dari hadis Abu Hurairah, dan dalam riwayat Abu Ya’la dari hadis Buraidah.

وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ مِنْ طَرِيقِ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ “رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَفْرَاءَ” وَيُجْمَعُ بَيْنهَا بِاخْتِلَافِ الْأَوْقَاتِ

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari jalur Simak, dari seorang lelaki dari kaumnya, dari lelaki yang lain yang termasuk kaumnya juga, “Aku melihat raayah Rasulullah saw. Itu berwarna kuning” dan dapat dikompromi (thariqatul jam’i) antara berbagai hadis itu berdasarkan perbedaan waktu (event).” [31]

Solusi yang sama ditawarkan pula oleh Imam Al-‘Ainiy. Ia berkata:

فَإِنْ قُلْتَ: مَا وَجْهُ التَّوْفِيْقِ فِي اخْتِلَافِ هَذِه الرِّوَايَاتِ؟ قُلْتُ: وَجْهُ الِاخْتِلَافِ باخْتَلَافِ الْأَوْقَاتِ

“Jika Anda bertanya, ‘Apa aspek yang menyesuaikan dalam perbedaan berbagai riwayat ini?’ Saya jawab, ‘Aspek perbedaan disebabkan perbedaan waktu (event).” [32]

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Nabi saw. menggunakan warna bendera yang berbeda-beda, tergantung kebutuhan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi kemaslahatan di “medan tempur”, meski paling sering digunakan berwarna hitam dan putih.

Kedua, hadis tentang Lafal Tauhid

Menegasikan eksistensi kalimat tauhid pada bendera Nabi dengan sebab penilaian pada dua perawi tertentu— Ahmad bin Risydin dan Muhammad bin Abu Humaid—yang diasumsikan dhaif, denagn tanpa memperhatikan semua isnad dan kandungan riwayat (marwi) secara kolektif lagi-lagi dapat dianggap sebagai sikap tidak bijaksana. Apalagi penilaian itu bersumber dari kelemahan standar dan metodologi al-Jarh wa at-Ta’dil yang digunakan pihak pendaif. Misalnya dalam menilai hadis Ibnu Abbas sebagai berikut:

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

“Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih yang bertuliskan di atasnya Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.” HR. Ath-Thabrani

Pihak pendaif tampaknya tergesa-gesa menilai Ahmad bin Risydin, gurunya Imam Ath-Thabrani sebagai rawi tertuduh dusta (muttaham bi al-kidzb), dan serta merta menolak marwinya.

Padahal, penilaian dari pihak pencela (tajrih) dan pemuji (ta’dil) dapat dikompromikan manakala keduanya ditimbang secara proporsional, yaitu para pencela hanya menolak beberapa riwayat tertentu yang disebutkan oleh mereka, seperti hadis keutamaan Hasan dan Husen Ra., sementara riwayat tentang Rayah dan Liwa bertuliskan kalimat tauhid ini tidak ada satu pun di antara pencela Ibnu Risydin yang menolaknya (marwi).

Selain itu, Ibnu Risydin tidak sendirian dalam meriwayat hadis itu. Pasalnya, Abu Asy-Syekh dan Ibnu Addiy meriwayatkan hadis Ibnu Abbas itu melalui jalur periwayatan lain, dengan gambaran sanad dan matan sebagai berikut:

I. Sanad Ath-Thabrani:

Ahmad bin Risydin—Abdul Gafar bin Dawud Abu Shalih Al-Haraniy—Hayyan bin Ubaidullah—Abu Mijlaz Laahiq bin Humaid—Ibnu Abbas, dengan redaksi:

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

“Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih yang bertuliskan di atasnya Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.” (Lihat, Al-Mu’jam Al-Awsath, I: 77, No. 219)

II. Sanad Abu As-Syaikh (w. 369 H) dan Ibnu ‘Addiy:

Ahmad bin Zanjawaih Al-Muhrimiy (pada riwayat Ibnu Addiy tertulis: Ahmad bin Musa bin Zanjawaih)—Muhammad bin Abu As-Sariyy Al-Asqalaniy—Abbas bin Thaalib—Hayyan bin Ubaidullah—Abu Mijlaz Laahiq bin Humaid—Ibnu Abbas, dengan redaksi:

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوْبٌ فِيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

“Panji Nabi berwarna hitam dan benderanya berwarna putih yang bertuliskan padanya Laailaaha illallaah Muhammadur Rasulullaah.” (Akhlaaq An-Nabiyyi wa Aadaabuhu, hlm. 155, Al-Kaamil fii Dhu’afaa Ar-Rijaal, VI: 265)

Dari gambaran sanad dan matan di atas tampak jelas bahwa periwayatan Ibnu Risydin dapat dipakai hujjah. Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani memberikan penilaian shahih pada riwayat Risydin ketika ia tidak sendirian, misalnya :

فَإِنْ كَانَ ابْنُ رِشْدِيْنِ قَدْ تُوْبِعَ مِنْ ثِقَةٍ فَالسَّنَدُ صَحِيْحٌ

“Jika Ibnu Risydin telah diikuti oleh rawi tsiqah, maka sanadnya shahih.” [33]

Selain itu, pada riwayat Abu As-Syaikh dan Ibnu ‘Addiy di atas tidak terdapat rawi bernama Muhammad bin Abu Humaid. Karena itu, menolak riwayat kalimat tauhid pada bendera Nabi saw. dengan alasan kedhaifan rawi Muhammad bin Abu Humaid merupakan tindakan serampangan. Al-Hafizh Ibnu Hajar yang menilai hadis itu bersanad waahin pun tidak serta merta menolak keberadaan riwayat kalimat tauhid pada bendera Nabi itu.

Berbagai periwayatan soal bendera beserta penjelasan para ulama terhadapnya menunjukkan bahwa bendera Nabi saw., baik Al-Liwaa’ berlatar putih dan Ar-Raayah berlatar hitam dengan tulisan kalimat tauhid padanya dapat dipastikan kebenarannya, karena kedudukan hadis-hadisnya dapat dipakai hujjah. Sekiranya tidak mencapai derajat shahih, dapat dipastikan berderajat hasan lidzatihi atau hasan lighairihi karena banyak jalan dan kedhaifannya tidak berat.

Metodologi demikian sesuai dengan Rumusan Dewan Hisbah Persis dalam ber-istidlaal dengan Al-Sunnah, yang menyebutkan: (point b) Menerima kaidah:

الأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّى بَعْضُهَا بَعْضًا

“hadis-hadis dha‘if satu sama lain adalah saling menguatkan”.

Dengan catatan apabila sebab dha‘if-nya dari segi dhabth (karena su’ul hifzi dan mukhtalit) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis lain yang shahih. Adapun jika sebab dha‘if-nya itu dari segi ‘adalah seperti kadzdzab (pendusta), yadha‘u al-hadits (memasulkan hadis), fisqu al-raawi, atau matruuk (tertuduh dusta), begitu juga dari segi dhabth-nya sangat parah, seperti katsirul galat/khatha’, katsirul gaflah, maka kaidah tersebut tidak dipakai. [34]

Kesimpulan

1. Ar-Rayah dan Al-Liwaaadalah salah satu dari sekian banyak variasi bendera dan panji dalam Nilai kemuliaannya bukan semata-mata pada sifat fisiknya: warna, kain, dan jenis font (khatnya),  namun terletak pada nilai fungsionalnya sebagai symbol kedaulatan Islam dan identitas serta jati diri umat Islam.

2. Penggunaan warna panji dan bendera cukup fleksibel sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak dikategorikan sebagai bid’ah sekiranya menggunakan warna bendera yang berbeda dengan warna bendera Nabi saw.

3. Bendera dan panji dalam Islam wajib dipelihara untuk menjaga marwah dan wibawanya, apalagi jika tercantum kalimat tauhid: Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasuulullah.

Bandung, 05 Rabi’ul Awwal 1440 H/13 November 2018

Penulis, para santri Ibnu Hajar Kelas ‘Ulum Al-Hadits

Editor: Amin Muchtar, Anggota Dewan Hisbah PP Persis

artikel ini telah diunggah di laman persis.or.id

[1]Lihat, Fath al-Baarii Syarh Shahih Al-Bukhari, IX: 160

[2]Lihat, Irsyad As-Saari, II: 379

[3]Ibid.

[4]Lihat, Syarh Shahih Al-Bukhari, V: 141

[5]Lihat, Irsyaad as-Saarii, V: 127

[6]Lihat, Irsyaad as-Saarii, V: 129

[7]Lihat, Syarah As-Siyar Al-Kabiir, II: 55

[8]Lihat, Masyaariq Al-Anwar ‘Ala Shihah Al-Aatsar, I: 366

[9]Lihat, Zaad Al-Ma’aad fii Hady Khayr Al-‘Ibaad, III: 86

[10]Lihat, Syarh Ma’aaniy Al-Atsar, III: 149

[11]Lihat, Shahih wa Dha’if Sunan At-Tirmidzi, IV: 181

[12]Hasan lidzatihi adalah predikat bagi hadis yang tidak memenuhi salah satu unsur persyaratan hadis shahih dari segi dhabth-nya. Dalam hadis shahih disyaratkan tamm adh-dhabth (sempurna hafalannya), sedangkan dalam hadis hasan Khafiif adh-dhabth (kurang sempurna hafalannya). (Lihat, Thuruq Al-Istinbath Dewan Hisbah Persis, hlm. 23)

[13]Lihat, penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menjelaskan rawi Abdullah bin Ubaid Ad-Diiliy (Ta’jil Al-Manfa’ah bi Zawaa’id Rijaal Al-Aimmah Al-Arba’ah, I: 191). Selanjutnya, perhatikan keterangan Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, II: 185. Kemudian keterangan DR. Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd fii ‘Ulum Al-Hadits, hlm. 272.

[14]Lihat, Taisir Mushthalah Al-Hadits, hlm. 189

[15]Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:8. Bandingkan dengan keterangan Ali bin Nayif Asy-Syuhud dalam Al-Haafizh Ibnu Hajar wa Manhajuh fii Taqrib At-Tahdzib, hlm. 9

[16]Lihat, Taisir Mushthalah Al-Hadits, hlm. 191

[17]Dikutip oleh Ali bin Nayif Asy-Syuhud dalam Al-Khulaashah fii Ahkaam Al-Hadits Ad-Dha’iif, hlm. 10

[18]Hasan lighairi atau laa lidzatihi adalah predikat bagi hadis yang asalnya dhaif dengan kedhaifan yang ringan dan terdapat dukungan hadis lain yang sederajat (adanya muttabi’ atau syahid). Sebab kedhaifan ringan ada yang berkenaan dengan dhabth, misalnya rawi buruk hafalan (Su’ al-Hifzh), mukhtalith. Ada yang berkenaan ‘adalah seperti rawi majhul (tidak dikenal) dan ada pula yang berkenaan dengan sanad, seperti munqathi (putus) sanadnya. (Lihat, Thuruq Al-Istinbath Dewan Hisbah Persis, hlm. 24)

[19]Lihat, Shahih Abu Dawud, VII: 343

[20]Lihat, Tahqiq ‘Ala Shahih Ibnu Hiban bi Tartib Ibnu Bulban, XI: 47

[21]Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, 24: 80

[22]Lihat, Musnad Al-Imam Ahmad bi Ahkaam Al-Arnauth, III: 132

[23]Lihat, Bayaan Al-Wahm wa Al-‘Iham fii Kitab Al-Ahkaam, V: 427-428

[24]Lihat, Sunan At-Tirmidzi, IV: 196

[25]Lihat, Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jaami’ Ash-Shagir, I: 418

[26]Lihat, Syarh Sunan Abu Dawud, I:2

[27]Lihat, Musnad Al-Imam Ahmad bi Ahkaam Al-Arnauth, XI: 214

[28]Lihat, Bayaan Al-Wahm wa Al-‘Iham fii Kitab Al-Ahkaam, V: 428

[29]Lihat, Fath al-Baarii, IX: 160

[30]Lihat, Majma’ Az-Zawa’id, V: 386

[31]Lihat, Fath al-Baarii, IX: 160

[32]Lihat, Umdah Al-Qaari, XXII: 497

[33]Lihat, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’at, XII: 879

[34]Lihat, Thuruq Al-Istinbath Dewan Hisbah Persis, hlm. 137

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}