Preloader logo

MENGGAPAI FADHILAH SYABAN SESUAI SUNNAH

Bulan Rajab telah berlalu meninggalkan kita. Sya’ban telah datang menggantikannya. Sedangkan Ramadhan sudah berada di depan menunggu giliran. Maka sungguh beruntung orang yang mengisi hidupnya untuk beribadah terutama pada bulan-bulan agung, sambil terus bersiap diri  menyambut tibanya bulan penuh berkah dan pahala, bulan Ramadhan, dengan ibadah shaum dan aktivitas kebajikan lainnya.

Pengertian Sya’ban

Sya’ban merupakan nama bulan ke-8 dari 12 bulan dalam almanak Hijriyyah. Kata Sya’ban tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Kata itu kita peroleh hanya di dalam hadis Nabi saw. Lalu mengapa bulan ke-8 ini dinamakan dengan Sya’ban?

Nama Sya’ban diambil dari kata Sya’bun (شعب), artinya kelompok atau golongan. Namun dapat dimaknai pula cerai-berai  (tafarruq). Menurut Imam As-Sakhawiy, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa

شَعْبَانُ مِنْ تَشَعُّبِ الْقَبَائِلِ وَتَفَرُّقِهَا لِلْغَارَةِ وَيُجْمَعُ عَلَى شَعَابِيْنَ وَشَعْبَانَاتٍ

“Sya’ban diambil dari kata berpencar dan berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang, (tasya’ub al-qaaba’il wa tafarruquhaa). Dijamakkan dalam bentuk syaa’abin dan Sya’banaat.” [1]

Sejumlah pakar menjelaskan latar belakang penamaan bulan itu dengan Sya’ban, antara lain karena di bulan ini orang-orang Arab pagan (para penyembah berhala) dahulu berpencar dan berpisah untuk mencari air. Sementara pendapat menyebutkan, karena pada bulan tersebut orang-orang Arab berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan. Namun ada pula yang mengatakan “Sya’ban” juga berarti nampak atau lahir karena bulan ini nampak atau lahir di antara bulan Ramadhan dan Rajab. Sebagian pakar bahasa Arab klasik, sebagaimana dikutip oleh Tsa’lab, berpendapat:

إِنَّما سُمِّيَ شَعبَانُ شَعْبَاناً لِأَنَّه شَعَبَ أَيْ ظَهَرَ بَيْنَ شَهْرَيْ رَمَضَانَ وَرَجَبٍ

“Bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena bulan ini nampak atau lahir (Sya’aba) di antara bulan Ramadhan dan Rajab.” [2]

Menurut Ibnu Hajar:

وَسُمِّيَ شَعْبَانَ لِتَشَعُّبِهِمْ فِي طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِي الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبٍ الْحَرَامُ

Bulan ini dinamai Sya’ban karena mereka (kabilah Arab) berpisah-pisah atau berpencar dalam mencari air atau dapat dimaknai pula berpencar dalam penyerangan dan penyerbuan setelah berlalu bulan Rajab yang terhormat (diharamkan untuk berperang di dalamnya).” [3]

Imam Al-Munawi mengatakan:

فَكَانَ رَجَبٌ عِنْدَهُمْ مُحَرَّمًا يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ الْغَزْوِ فَإِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ تَشَعَّبُوْا أَيْ تَفَرَّقُوْا فِي جِهَاتِ الْغَارَاتِ

“Bulan Rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan terhormat, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan Sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” [4]

Penamaan bulan ini dengan Rajab karena latarbelakang kabilah Arab berpencar ke berbagai peperangan, dipandang lebih mendekati kebenaran oleh Ibnu Hajar daripada sebab lainnya. [5]

Petunjuk Menghidupkan Sya’ban

Dalam memuliakan Sya’ban selain dengan melaksanakan ketaatan dan amal ibadah sebagaimana umumnya, seperti Qiyamullail, shalat sunnah rawatib, dan bersedekah juga terdapat satu amal yang mendapat perhatian Nabi saw. secara khusus. Beliau menghidupkan Sya’ban dengan memperbanyak shaum, bahkan hampir satu bulan penuh, sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ، وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْته فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Dari Aisyah Ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bershaum hingga kami mengatakan, ‘Beliau tidak berbuka.’ Dan beliau berbuka (tidak bershaum) hingga kami mengatakan, ‘Beliau tidak bershaum.’ Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. bershaum sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau pada suatu bulan yang paling banyak bershaum kecuali pada bulan Sya’ban.” Muttafaq Alaih, dan redaksi di atas riwayat Muslim.

Hadis ini menunjukkan bahwa shaum Rasulullah saw. tidak dapat ditentukan pada suatu bulan tertentu, terkadang beliau shaum secara kontinu, namun terkadang pula tidak shaum secara kontinu. Hal itu boleh jadi disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Ketika beliau tidak memiliki kesibukan berat, beliau dapat shaum terus menerus, namun jika sebaliknya beliau terus menerus tidak shaum.

Hadis ini juga menunjukkan bahwa beliau mengkhususkan bulan Sya’ban untuk memperbanyak shaum dibandingkan bulan-bulan lainnya. Demikian Imam ash-Shan’ani menjelaskan. [6]

Dalam redaksi lain, Aisyah Ra.  mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi saw. tidak biasa shaum pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, karena beliau shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya.” HR. Al-Bukhari. [7]

Juga diriwayatkan dengan redaksi:

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Nabi saw. shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya, beliau shaum pada bulan Sya’ban kecuali sedikit hari saja (beliau tidak shaum).” HR. Muslim. [8]

Maksud Shaum Sepenuhnya

Para ulama memberikan komentar beragama tentang maksud ungkapan: “Nabi saw. shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya.” Kata “sepenuhnya” oleh sebagian ulama dimaknai dengan “pada umumnya (ghalib)” atau “sebagian besar (Aktsar)”, bukan berarti “seluruhnya”. Imam at-Tirmidzi mengutip penjelasan dari Ibnul Mubarak, bahwa melaksanakan shaum pada sebagian besar bulan akan dinyatakan dengan “shaum sebulan penuh” dalam ungkapan orang Arab. Menurut Imam at-Tirmidzi:

كَأَنَّ ابْنَ الْمُبَارَكِ جَمَعَ بَيْنَ الْحَدِيثَيْنِ بِذَلِكَ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْكُلِّ هُوَ الْأَكْثَرُ وَهُوَ مَجَازٌ قَلِيلُ الِاسْتِعْمَالِ

“Dengan itu, Ibnul Mubarak mengkompromi dua hadis, dan kesimpulannya bahwa yang dimaksud dengan sepenuhnya (kullu) adalah sebagian besar (aktsar). Kata kullu bermakna aktsar merupakan kiasan yang jarang dipergunakan.” [9]

Dalam menjelaskan maksud “sepenuhnya”, Imam an-Nawawi merujuk perkataan Aisyah sendiri yang menjelaskannya secara langsung, sebagaimana tersebut di atas, Menurut Imam an-Nawawi:

وَقَوْلُهَا : (كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا ) الثَّانِي تَفْسِيرٌ لِلْأَوَّلِ ، وَبَيَانٌ أَنَّ قَوْلَهَا كُلَّهُ أَيْ غَالِبُهُ

“Dan perkataan Aisyah, ‘Beliau shaum pada bulan Sya’ban sepenuhnya, beliau shaum pada bulan Sya’ban kecuali sedikit hari saja (beliau tidak shaum),’ Kalimat kedua merupakan penjelas kalimat pertama dan keterangan bahwa perkataannya: ‘Sepenuhnya’ berarti galibnya (umumnya).” [10]

Jadi, keterangan Nabi saw. shaum pada seluruh hari bulan Sya’ban maksudnya pada sebagian besar hari-hari di bulan itu. Adapun shaum yang dilaksanakan beliau bukanlah shaum khusus bulan Sya’ban melainkan berbagai shaum sunat yang biasa, seperti Senin-Kamis, ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 tiap bulan) dan shaum Dawud, namun lebih digemarkan pelaksanaanya di bulan ini.

Selain itu, bulan Sya’ban dapat pula dimanfaatkan untuk melaksanakan shaum Qadha bagi yang tidak sempat melaksanakannya di bulan-bulan lain. Demikian itu sebagaimana dilaksanakan oleh Aisyah:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

Dari Abu Salamah, ia berkata, “Aku mendengar Aisyah Ra. berkata, ‘Aku berhutang shaum Ramadhan, maka aku tidak dapat mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban’.” HR. Al-Bukhari. [11]

Adapun pertimbangan Nabi saw. tidak shaum pada seluruh hari bulan Sya’ban tiada lain agar tidak disangka terdapat shaum selain shaum Ramadhan yang hukumnya wajib. Sehubungan dengan itu, Imam an-Nawawi menuturkan pernyataan sebagaian ulama:

وَإِنَّمَا لَمْ يَسْتَكْمِلْ غَيْرَ رَمَضَانَ لِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهُ

“Nabi saw. tidak menyempurnakan shaum sebulan penuh selain di bulan Ramadhan tiada agar tidak disangka shaum selain Ramadhan adalah wajib.” [12]

Sementara hikmah digemarkan pelaksanaan shaum sunat di bulan ini dapat dilihat dari berbagai aspek, namun yang terkuat guna mengingatkan bahwa bulan ini sebagai momen penting yang banyak dilalaikan orang. Hikmah ini merujuk kepada salah satu riwayat yang bersumber dari Usamah bin Zaid, ia berkata:

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau shaum dalam satu bulan sebagaimana shaum di bulan Sya’ban?’ Beliau menjawab, ‘Itulah bulan yang dilalaikan orang-orang, bulan yang berada di antara Rajab dan Ramadhan, dan dia adalah bulan diangkatnya berbagai amal kepada Rabb semesta alam. Maka aku ingin amalku diangkat ketika aku sedang shaum.” HR. An-Nasai, Ahmad, dan Ath-Thahawi. [13]

Hadis ini dinilai Shahih oleh Ibnu Hajar al-Asqalani[14]  dan dinilai hasan oleh Syekh al-Albani. [15]

Adapun pelaporan amal tahunan pada bulan Sya’ban ini tidak dikhususkan pada malam tertentu, misalnya malam pertengahan Sya’ban (nisfu Sya’ban), sebagaimana disangka oleh sementara kalangan, karena hadis-hadis tentang itu berkedudukan lemah, bahkan disinyalir palsu, sebagaimana dijelaskan pada tulisan terpisah.

Mari kita gapai kemuliaan Sya’ban dengan semestinya, dan kita tidak melalaikannya dengan cara menjalankan ragam ibadah kepada Allah Swt. sesuai putunjuk Sunnah. Khususnya bagi kita yang masih mempunyai hutang shaum di tahun lalu, hendaknya segera dilunasi hutang tersebut.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Tafsir al-Qur’aan al-Azhiim/Tafsir Ibnu Katsir, II: 432

[2] Lihat, Taj al-‘Arus min Jawaahir al-Qaamuus, III:142

[3] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:213

[4] Lihat, At-Tawqif a’laa Muhimmah at-Ta’arif, hlm. 431

[5] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:213

[6] Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:358

[7] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:695, No. 1869.

[8] Lihat, Shahih Muslim, II:811, No. 1156.

[9] Lihat, Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, III: 402.

[10]Lihat, Syarh Shahih Muslim, VII:142.

[11] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:689, No. 1849.

[12] Lihat, Syarh Shahih Muslim, IV:161.

[13] HR. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:120, No. 2666; Sunan An-Nasai, IV:201, No. 2357; Ahmad, Musnad Ahmad, V:201, No. 21.801; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:82.

[14] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, IV:215.

[15] Lihat, Shahih Sunan an-Nasai, No. 2221.

There is 1 comment
  1. Nasir

    Semoga bermanfaat ilmunya.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}